May yang Penuh Luka

Grathia Pitaloka
Girl Behind The Show
Konten dari Pengguna
2 Mei 2019 10:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: IMDb
zoom-in-whitePerbesar
sumber: IMDb
ADVERTISEMENT
Saya berkali- kali menutup mata menyaksikan May (Raihanun) menyilet pergelangan tangannya. Trauma tergurat jelas di wajahnya. Sewindu berlalu, namun luka batin akibat pemerkosaan itu masih menganga. Pemerkosaan tidak hanya mengoyak selaput dara, tapi juga masa depannya.
ADVERTISEMENT
Sejak malam jahanam itu May bukan lagi manusia yang sama. Ia memilih hidup dalam kesunyian. Kesehariannya diisi rutinitas dengan yang sama, mulai dari bangun tidur, menyetrika baju sampai licin dengan sangat teliti, membantu ayahnya menghias boneka, menyantap makanan hambar, lompat tali dalam kamar hingga lelah lalu tidur. Sedikit saja ada yang berubah dari rangkaian kegiatan itu, May akan “tantrum” dan menyilet pergelangan tangannya.
Luka tak hanya menganga di rongga dada May, tapi juga sang ayah (Lukman Sardi). Delapan tahun ia tenggelam dalam perasaan bersalah, gagal melindungi putri semata wayangnya. Hidup Ayah May tak kalah muram.
Bila May mengekspresikan lukanya dengan membaret nadi, sang ayah mencoba menghapus perasaan bersalah dengan menyakiti dirinya sendiri, menjadi petarung bebas di gelanggang. Bukan kemenangan yang ia cari, melainkan pelampiasan kemarahan atas kegagalan hidupnya. Setiap luka dan memar akibat hantaman lawan seolah menjadi penyeimbang bagi luka jiwanya.
ADVERTISEMENT
Namun, tak ada manusia yang dapat menolak keajaiban. Seperti May yang tak mampu menolak pesona Pesulap (Aryo Bayu) yang tiba-tiba muncul dari balik tembok kamarnya. Bak sihir, kehadiran Pesulap tersebut perlahan mengembalikan warna dalam hidup May (dan tentu ayahnya). Dengan tertatih, May berupaya keluar dari lubang hitam trauma.
Sosok May dalam film "27 Steps of May" karya Ravi Bhawarni mungkin dapat bangkit dari keterpurukannya, namun bagaimana dengan "May" lain di luar sana? Apakah ia harus menanti sihir dari seorang pesulap untuk menghapus luka akibat kekerasan seksual yang dialaminya? Apakah kita cukup menonton sambil berpangku tangan?
Tak hanya sekali, korban kekerasan seksual harus menghadapi trauma bertubi-tubi. Setelah otoritas tubuhnya direnggut secara paksa oleh pelaku, ia harus berhadapan dengan cibiran sosial yang kembali melukai harga dirinya. Korban kerap dipersalahkan karena dianggap memancing atau berlaku asusila. Tentu Anda akrab dengan komentar, "Pantas dilecehkan bajunya minim begitu atau ngapain perempuan keluar malam-malam sendirian, pasti perempuan nakal".
ADVERTISEMENT
Belum lagi, terkadang proses hukum yang berlangsung tidak bersahabat pada korban. Korban harus berhadapan dengan pasal di KUHP yang mengandung asumsi-asumsi yang bias gender, hingga aparat penegak hukum yang gagal paham terhadap relasi kuasa dalam sistem budaya patriarki.
Oleh sebab itu untuk menghindari kekerasan berseri, banyak korban memilih untuk bungkam. Jalan “damai”, baik dengan cara mengawinkan pelaku dengan korban atau sekadar permintaan maaf kerap dianggap alternatif terbaik. Penegakan hukum dianggap hanya menyebabkan aib. Lagi-lagi, Integritas tubuh dan jiwa korban menjadi sesuatu sekunder dibandingkan nama baik dan rasa kesusilaan publik.
"27 Steps of May" merupakan film yang membuat mental lelah, namun menurut saya wajib untuk ditonton karena semua orang berpotensi menjadi May, berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Trauma kelam korban kekerasan seksual memang bukan sesuatu yang nyaman untuk dipertontonkan, namun kita semua dapat belajar untuk tidak menjadi pemerkosa.
ADVERTISEMENT