Memahami Sengketa Ligitan-Sipadan

Gulardi Nurbintoro
Pengamat Hukum Internasional
Konten dari Pengguna
12 Maret 2019 22:57 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gulardi Nurbintoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah 16 tahun berlalu, sejak Mahkamah Internasional memutus sengketa antara Indonesia dan Malaysia perihal kedaulatan atas kedua pulau kecil di Laut Sulawesi, Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Namun hingga hari ini, masih banyak yang belum memahami ataupun juga tidak mau memahami duduk perkara dari sengketa tersebut sehingga kesalahpahaman mengenai kasus Ligitan-Sipadan tidak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran singkat tentang kasus tersebut yang diperoleh dari Putusan Mahkamah Internasional yang dapat diakses di situs resminya.
Persidangan di Mahkamah Internasional dalam perkara Qatar v. PEA (27 - 29 Juni 2018) Sumber: Mahkamah Internasional

Awal Sengketa

Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berada di Laut Sulawesi, terletak di timur laut dari Pulau Kalimantan. Jarak antara kedua pulau tersebut berkisar sekitar 15,5 mil laut. Koordinat dari Pulau Ligitan terletak pada 4˚09’ Lintang Utara dan 118˚ 53’ Bujur Timur, sementara koordinat Pulau Sipadan terletak pada 4˚06’ Lintang Utara dan 118˚ 37’ Bujur Timur. Pulau Sipadan memiliki luas yang sedikit lebih besar daripada Pulau Ligitan.
Indonesia dan Malaysia memberikan izin eksplorasi minyak di perairan di sebelah timur Pulau Kalimantan pada era 1960-an. Izin pertama yang diberikan Indonesia kepada perusahaan asing dikeluarkan pada 6 Oktober 1966 antara P.N. Pertambangan Minjak Nasional (Permina) dan Japan Petroleum Exploration Company Limited (Japex). Sementara itu, Malaysia memberikan izin eksplorasi kepada Sabah Teiseki Oil Company pada tahun 1968.
ADVERTISEMENT
Sengketa kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan mencuat pada tahun 1969 ketika kedua negara mendiskusikan delimitasi landas kontinen kedua negara. Di tahun yang sama, Indonesia dan Malaysia berhasil menyelesaikan perundingan batas landas kontinen, meskipun tidak meliputi wilayah di sebelah timur Pulau Kalimantan.
Pada tahun 1991, Indonesia dan Malaysia membentuk Kelompok Kerja Bersama untuk mempelajari situasi kedua pulau tersebut. Sayangnya, kedua pihak tidak bisa mencapai persetujuan sehingga merekomendasikan untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional.
Perjanjian Khusus RI - Malaysia. Sumber: Mahkamah Internasional

Perjanjian Khusus Indonesia – Malaysia

Kesepakatan Indonesia dan Malaysia untuk membawa permasalahan Ligitan-Sipadan ke Mahkamah Internasional dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Kedua negara kemudian menyampaikan notifikasi bersama kepada Mahkamah Internasional tertanggal 2 November 1998 yang pada pokoknya meminta mahkamah untuk memutus kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan traktat, perjanjian, dan bukti-bukti lain yang disampaikan oleh para pihak.
ADVERTISEMENT
Guna menghadapi Malaysia, Indonesia menyusun tim yang terdiri dari pakar hukum internasional yang reputasinya diakui dunia. Tidak hanya itu, Indonesia juga menyusun tim dari lintas instansi nasional. Berdasarkan data yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Internasional, Indonesia diwakili oleh pejabat-pejabat dari Departemen Luar Negeri (termasuk KBRI Den Haag), Departemen Pertambangan dan Energi, Tentara Nasional Indonesia, Departemen Pertahanan, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Klaim Indonesia

Dalam rangka meyakinkan para hakim Mahkamah Internasional, Indonesia mengajukan tiga argumentasi. Dua argumentasi disampaikan secara tertulis, dan satu argumentasi alternatif diajukan ketika oral pleadings.
Pertama, bahwa kedaulatan Indonesia atas kedua pulau tersebut diperoleh berdasarkan Konvensi 20 Juni 1891 antara Inggris dan Belanda. Konvensi 1891 ini mengatur penetapan batas di Pulau Kalimantan antara Belanda dan negara-negara di Pulau Kalimantan yang berada di bawah protektorat Inggris Raya.
ADVERTISEMENT
Indonesia berargumentasi bahwa ketentuan dalam Konvensi 1891 yang menyatakan garis 4˚10’ LU yang membagi Pulau Sebatik tidak berhenti di ujung Pulau Sebatik, melainkan harus diteruskan ke arah Timur sebagai suatu allocation line yang membuat pulau-pulau di sisi utara garis menjadi milik Inggris dan pulau-pulau di sisi selatan garis menjadi milik Belanda. Dengan demikian, Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang berada di sisi selatan garis menjadi milik Belanda.
Kedua, sekiranya mahkamah menolak klaim pertama Indonesia, maka Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut atas dasar Indonesia sebagai pewaris dari Sultan Bulungan yang memiliki kekuasaan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.
Ketiga, Indonesia mengajukan bukti-bukti effective occupation yang ditunjukkan oleh Belanda dan Indonesia sebagai dasar untuk membuktikan adanya kekuasaan Indonesia (atau Belanda) terhadap Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Bentuk-bentuk effective occupation yang diajukan sebagai bukti oleh Indonesia adalah patroli Angkatan Laut Belanda pada tahun 1921 dan juga TNI Angkatan Laut sesudah Indonesia merdeka. Indonesia juga merujuk pada aktivitas nelayan di perairan sekitar Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan sebagai bukti adanya effective occupation.
ADVERTISEMENT

Klaim Malaysia

Malaysia mengajukan dua pokok klaim dalam persidangan. Pertama, Malaysia berpendapat bahwa kedaulatan diperoleh berdasarkan original title oleh Sultan Sulu yang kemudian secara berkelanjutan diteruskan kepada Spanyol, Amerika Serikta, Inggris (Negara Borneo Utara), Inggris Raya, hingga akhirnya ke Malaysia.
Kedua, Malaysia juga mengajukan klaim atas dasar effective occupation. Bukti-bukti yang diajukan Malaysia berupa penguasaan dan pengelolaan penyu dan pengambilan telur penyu oleh Inggris, pembentukan wilayah suaka burung di Sipadan pada 1933, dan pembangunan mercusuar di kedua pulau oleh otoritas kolonial British North Borneo pada tahun 1960-an yang kemudian dirawat secara berkala oleh Pemerintah Malaysia.

Pendapat Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional menolak argumentasi pertama Indonesia mengenai Konvensi 1891. Dalam pandangan mahkamah, Konvensi 1891 tidak dimaksudkan untuk mendelimitasi batas di wilayah perairan sebelah timur pulau Kalimantan dan Sebatik atau menetapkan kedaulatan atas pulau-pulau lainnya. Dengan demikian, argumentasi Indonesia bahwa garis 4˚ 10’LU adalah suatu allocation line ditolak.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Internasional juga menolak kedua klaim succession Indonesia dan Malaysia. Kedua negara dianggap tidak bisa memberikan bukti kuat bahwa Sultan Bulungan ataupun Sultan Sulu menguasai kedua pulau tersebut. Dengan demikian, sekalipun Indonesia dan Malaysia dianggap sebagai penerus dari kedua kesultanan tersebut, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak termasuk wilayah yang kemudian diwariskan kepada Indonesia dan Malaysia.
Pada akhirnya, Mahkamah Internasional menggunakan analisis terhadap klaim effective occupation dan berkesimpulan bahwa klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang diajukan oleh Indonesia. Secara khusus ditegaskan bahwa effective occupation harus memiliki karakteristik legislatif dan pengaturan.
Dalam hal ini, Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan Belanda atau Indonesia yang memenuhi kriteria tersebut, terlebih lagi Indonesia tidak memasukkan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke dalam Perppu Nomor 4 Tahun 1960.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Mahkamah Internasional, tindakan Malaysia “both in its own name and as successor State of Great Britain, are modest in number but diverse in character and include legislative, administrative and quasi-judicial acts”.
Pemberitaan media nasional tentang putusan Ligitan - Sipadan. Sumber: Tempo, diakses secara daring pada https://nasional.tempo.co/read/35037/indonesia-kehilangan-pulau-sipadan-ligitan

Arti dari Putusan Ligitan-Sipadan

Semenjak adanya putusan ini, terdapat kesan bahwa effective occupation menjadi penentu utama dan satu-satunya dasar dalam memutus kepemilikan suatu wilayah. Padahal tidak demikian! Putusan Ligitan-Sipadan justru menunjukkan bahwa effective occupation merupakan metode lapis ketiga (atau paling tidak bukan yang utama) dalam menentukan kedaulatan. Hal pertama yang ditilik oleh Mahkamah Internasional adalah dokumen perjanjian internasional.
Putusan mahkamah dapat dianalogikan seperti menentukan kepemilikan sebuah mobil. Tentunya, faktor utama adalah dengan merujuk pada Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), bukan dengan melihat siapa yang menguasai mobil tersebut. Apabila BPKB tidak ditemukan, maka ahli waris dari orang yang dianggap pernah menguasai mobil tersebut lah yang berhak untuk memiliki.
ADVERTISEMENT
Apabila cara kedua pun tidak memberikan hasil yang memuaskan, baru lah kepemilikan ditentukan oleh siapa yang memenuhi aspek effective occupation (misalnya dengan merawat mobil secara rutin tanpa protes dari siapapun).
Oleh sebab itu, kekhawatiran yang berlebihan bahwa Indonesia di masa depan akan “kehilangan pulau” menjadi kurang beralasan lagi karena pemerintah telah mendata 17.504 pulau dan diserahkan kepada PBB. Satu-satunya potensi kehilangan pulau yang nyata adalah sebagai dampak dari perubahan iklim.
Ilustrasi pulau Foto: Bagas Putra Riyadhana
Sebagai penutup, riwayat Indonesia di Mahkamah Internasional ini adalah bentuk pengejawantahan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia dan juga menjadi kontribusi nyata Indonesia bagi perkembangan hukum internasional, khususnya dengan semakin jelasnya pengaturan mengenai interpretation of treaties, the rule of succession, dan effective occupation. Indonesia senantiasa mengedepankan langkah damai dalam menuntaskan permasalahannya dengan negara sahabat.
ADVERTISEMENT