news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Gus Yahya dan Peran Humanitarian Islam dalam Konflik Israel-Palestina

Mohamad Guntur Romli
Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI), penulis, aktivis
Konten dari Pengguna
13 Juni 2018 1:35 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Guntur Romli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gus Yahya, Humanitarian Islam dan Konflik Israel-Palestina
ADVERTISEMENT
Kunjungan Gus Yahya Cholil Staquf ke Israel atas undangan ICFR (Israel Council on Foreign Relations) memantik kontoversi di dalam negeri. Bagi kelompok oposisi dari parpol Gerindra, PAN dan PKS Gus Yahya hanyalah sasaran antara sebagai serangan mereka terhadap Jokowi. Karena Gus Yahya menjadi anggota Watimpres. Meskipun Gus Yahya sudah menekankan kehadirannya atasnama pribadi, bukan atasnama Watimpres dan PBNU, di mana beliau menjabat sebagai Katib Aam PBNU.
Sejak awal, kunjungan Gus Yahya ke Israel sudah digoreng oleh kelompok pembenci Jokowi dengan menyebarkan fitnah kalau Gus Yahya ke Israel untuk membuka hubungan diplomatik dan memfitnah NU akan melakukan kerjasama dengan Israel.
Tapi bagi saya, serangan gerombolan ini tak perlu ditanggapi serius, karena isu kunjungan Gus Yahya yang baru saja dilantik sebagai Watimpres hanyalah pengalihan isu dari lancarnya mudik dan berhasilnya program pembangunan infrastruktur khususnya jalan raya dan jalan tol yang dilakukan pemerintah Jokowi. Maka, gerombolan ini pun mencari-cari celah isu lain yang bisa menyerang Jokowi dengan menggoreng isu kunjungan Gus Yahya ke Israel, lengkap dengan bumbu-bumbu fitnahnya.
ADVERTISEMENT
Gerombolan ini pun terbukti menggunakan standar ganda, seperti yang dilakukan HAMAS yang mengecam kunjungan Gus Yahya ke Israel, karena saat Erdogan dan Turki melakukan normalisasi hubungan secara total dengan Israel dan Netanyahu, normalisasi hubungan diplomatik, politik, ekonomi dan perdagangan, tak ada kecaman baik dari HAMAS dan para pendukungnya di Indonesia yang didominasi oleh politisi PKS.
Sekarang bandingkan saja kunjungan Gus Yahya ke Israel yang "hanya" akan bicara isu perdamaian dengan normalisasi politik, diplomatik dan ekonomi oleh Erdogan dan Turki dengan Israel.
Selain itu gerombolan ini juga tak mengecam saat Pak Dien Syamsuddin yang pada tahun 2013 masih menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah yang berbicara di World Jewish Congress (WJC) di Budapest, Hongaria, sementara Gus Yahya baru berbicara di "level" American Jewish Committee (AJC). Komentar saya ada yang menanggapi, Pak Dien di Hongaria sedangkan Gus Yahya langsung di Israel. Saya balik tanya: kalau kunjungan Sandiaga Uno ke Israel yang diam-diam dan kini dibongkar oleh WikiLeaks kok tidak dikecam? Demikian juga tak sedikit orang Indonesia yang datang ke Masjidil Aqsha meskipun berniat ziarah tapi faktanya harus "membeli" visa Israel. Saya teringat pernyataan almaghfurlah Syaikh Muhammad Sayyid Thantahwi Syaikhul Azhar yang menegaskan ingin sekali ziarah ke Masjidil Aqsha tapi dengan visa Palestina bukan dengan visa Israel (hal yang sulit dilakukan, karena Masjidil Aqsha dijajah Israel), hingga beliau wafat, keinginan ini tak terpenuhi. Inilah contoh konsistensi!
ADVERTISEMENT
Namun berbeda dengan gerombolan ini yang selalu menggunakan standar ganda, kalau dilakukan oleh gerombolannya, mereka bela, tapi apabila kelompok lain yang melakukannya, mereka kecam, serang dan fitnah habis-habisan. Munafik 100%!
Bagi siapapun dan kelompok apapun yang masih memandang kunjungan Gus Yahya ke Israel dengan perspektif kepentingan politik dan masih terjebak dalam jeratan konflik tidak akan bisa memahami pesan dan perannya.
Apalagi yang masih menganggap agama khususnya Islam hanya identik dengan identitas politik yang lebih gawat lagi sebagai amunisi konflik akan sulit bahkan gagal memahami kunjungan Gus Yahya sebagai tokoh agama Islam ke Israel yang selalu dilihat sebagai Negara Yahudi yang sangat memusuhi Islam dan umat Islam.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, saya ingin mengajak anda untuk memahami pesan dan posisi Gus Yahya yang datang ke Israel sebagai langkah dari Humanitarian Islam. Istilah Humanitarian Islam dicetuskan oleh Gus Yahya dan sudah dideklarasikan oleh Gerakan Pemuda Ansor Mei 2017. Humanitarian Islam adalah Islam untuk Kemanusiaan.
Humanitarian Islam adalah gerakan global yang didedikasikan untuk kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, perdamaian dunia dan harmoni peradaban yang terinspirasi oleh "Islam rahmatan lil-'alamin" yang dimanifestasikan dengan merekontekstualisasi ajaran Islam sesuai dengan realitas kekinian. 
"Humanitarian Islam tidak akan berusaha menjadi ideologi supremasis yang akan menaklukkan siapa pun, juga tidak datang untuk menghancurkan, dan oleh karenanya mencegah penyalahgunaan agama untuk mempromosikan kebencian, supremasi dan kekerasan sektarian."
ADVERTISEMENT
Istilah humanitarian Islam tidak terlalu akrab. Yang mungkin rada sering didengar humanitarian sebagai bantuan kemanusiaan, yang biasa dilakukan misalnya oleh Palang Merah Internasional atau Bulan Sabit Internasional. Bagi saya, humanitarian Islam juga memiliki posisi yang sama dengan gerakan humanitarian ini yang memiliki posisi yang independen, netral dan mengedepankan sisi kemanusiaan di tengah konflik sekalipun. Posisi humanitarian tidak berpihak pada salah satu yang berkonflik, ia harus netral dan independen.
Dalam salah kutipan pidato Gus Yahya di AJC yang menekankan konsep RAHMAH, kasih sayang yang bersumber dari Allah Swt yang Rahman, Maha Pengasih tak pilih kasih dan Rahim, Maha Penyayang tak bedakan rasa sayang.
Sebagai tokoh humanitarian Islam, Gus Yahya bisa dianalogikan paramedis yang terjun ke medan perang, ia berkewajiban membantu pihak manapun, tidak ada istilah kawan dan lawan, selama manusia yang membutuhkan, maka ia harus menolong dan mengulurkan bantuan.
ADVERTISEMENT
Maka kedatangan Gus Yahya tidak membawa embel-embel politik, ia datang sebagai seorang diri yang independen, individu yang netral, meski merasakan penderitaan rakyat Palestina yang sebenarnya akan berimbas pada penderitaan rakyat Israel juga.
Dalam bait-bait pidato Gus Yahya dituliskan:
"Senyatanya, saya datang kesini bukan atas nama Indonesia, negeri asal saya, bukan pula atas nama Nahdlatul Ulama, organisasi tempat saya mengabdi. Saya datang atas nama kegelisahan dan kesedihan saya pribadi. Kegelisahan dan kesedihan yang tumbuh diatas kesaksian saya akan penderitaan orang-orang Palestina. Karena penderitaan mereka bukanlah milik mereka sendiri saja. Penderitaan mereka adalah juga kekalutan Bangsa-bangsa Arab dan kegalauan Dunia Islam. Dan pada saat yang sama, laksana gambaran di seberang cermin, penderitaan Palestina adalah juga keresahan Israel dan kegamangan Dunia Barat. Dan kini, setelah berpuluh-puluh tahun, semua itu hampir-hampir mengarah pada keputusasaan umat manusia."
ADVERTISEMENT
Gus Yahya pun mengakui kedatangannya ke Israel dengan unsur baru, bukan unsur politik apalagi militer, seperti yang dilakukan oleh Gus Dur:
"Guru saya, Kyai Haji Abdurrahman Wahid, enam belas tahun yang lalu menceritakan pandangan seseorang tentang upaya penyelesaian masalah Israel-Palestina, yang menurut guru saya sangat menarik (compelling). Menurut orang itu, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini hanya mempertimbangkan aspek-aspek politik dan militer, melibatkan hanya pemimpin-pemimpin politik dan militer, dan terbukti gagal. Maka patut dicoba untuk menambahkan unsur baru dalam upaya-upaya itu, yaitu unsur agama, dengan memberdayakan inspirasi-inspirasi agama dan melibatkan pemimpin-pemimpin agama."
Gus Yahya memandang konflik Israel Palestina bukan soal keadilan dan soal menuntut tapi hilangnya kasih sayang dan memberi, maka tak ada cara kecuali menghentikan permusuhan. Dan menghentikan permusuhan adalah soal pilihan.
ADVERTISEMENT
"Ijinkanlah saya mengatakan sesuatu yang semua orang sudah tahu tapi entah kenapa enggan mengingatnya, apalagi melaksanakannya. Bahwa keadilan bukan hanya soal menuntut, tapi juga soal memberi. Maka keadilan tak mungkin terwujud tanpa kasih-sayang. Orang yang tidak bersedia memberikan kasih-sayang tidak mungkin mau mempersembahkan keadilan. Ini adalah ruh agama. Inilah ruh iman.
Tidakkah Anda melihat kini, bahwa akar konflik ini bukan lagi ketidakadilan, tapi permusuhan. Kebencian kepada pihak lain akan senantiasa mendorong Anda untuk berbuat tidak adil kepada mereka dan menyakiti mereka.
Apakah hilangnya permusuhan tergantung pada kepuasan semua pihak akan keadilan? Bagaimana mungkin? Sedangkan masing-masing punya perhitungan yang berbeda tentang keadilan dan bersikukuh dengan keinginan untuk saling menghancurkan?
ADVERTISEMENT
Tidak. Hilangnya permusuhan adalah soal pilihan. Apakah kita memilih dendam atau memaafkan? Apakah kita memilih kebencian atau kasih-sayang? Apakah kita memilih bertarung hingga musnah atau berdamai dan bekerja sama?
Jelas bahwa pilihan-pilihan yang menjadi syarat bagi perdamaian bukanlah pilihan-pilihan yang mudah. Tapi selama kita tidak mengubah pilihan dari yang selama ini kita jalani, tidak akan ada jalan keluar sama sekali."
https://m.kumparan.com/guntur-romli/isi-pidato-gus-yahya-cholil-staquf-di-israel-tentang-perdamaian-israel-palestina
Pesan dan posisi Gus Yahya sangat jelas yang merupakan implementasi dari Humanitarian Islam. Sekali lagi, bagi anda yang masih terjebak konflik, ingin berada di salah satu pihak yang berkonflik, apalagi masih memandang Islam sebagai identitas politik, lebih-lebih sebagai amunisi konflik tidak akan bisa memahami pesan dan posisi humanitarian Islam.
ADVERTISEMENT
Mungkin akan ada yang bertanya, apakah misi Gus Yahya dengan humanitarian Islam akan berhasil? Tidakkah pendekatan politik dan konfrontasi militer selama ini mengalami kegagalan? Dari KTT ke KTT, sidang umum PBB, Sidang DK PBB, sampai dibentuk pula Kuartet Perdamaian, dari Pihak PBB, UN, AS dan Rusia untuk menyelesaikan konflik Israel Palestina. Keadaan justru semakin memburuk.
Pesimistis adalah rasa yang biasa, tapi tak adil bila kegagalan dari usaha sebelumnya ditimpakan pada usaha setelahnya untuk menghidupkan kembali nyala optimisme. Karena dengan putus asa berarti kita sama saja dengan takluk dan tunduk pada konflik. Perdamaian tak kan menang bila menyerah pada konflik. Sedangkan bagi yang memiliki RAHMAH dan mengimani RAHMAH ALLAH tidak akan pernah putus asa:
ADVERTISEMENT
وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ
..janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. (QS Yusuf: 87)
Firman Allah Swt ini adalah perintah yang tegas larangan putus asa dari rahmat Allah, karena kasih sayang Allah Swt bisa jadi diperoleh dari usaha yang sangat sulit dan sukar, dari perjuangan dan kerja keras, bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya.
Dan apa yang diperjuangkan oleh Gus Yahya saat ini merupakan usaha untuk memperjuangkan dan meraih kasih sayang Allah Swt.
Wallahu A'lam bis Showab
Mohamad Guntur Romli, kader NU, kader Ansor