5 Kesalahpahaman Orang Indonesia tentang Perdagangan Bebas

Indra Sanada Sipayung
Suami dan Ayah, Abdi Negara, Good Samaritans & Bedroom Musician.
Konten dari Pengguna
3 Maret 2019 23:51 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Sanada Sipayung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Neraca Perdagangan Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Neraca Perdagangan Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Saat ini banyak orang Indonesia menganggap bahwa perdagangan bebas yang neoliberal itu jahat dan merugikan rakyat. Keanggotaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) dinilai tidak memberikan manfaat apapun bagi perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bahkan beberapa pengamat ekonomi dan pejabat pemerintah juga menuntut penundaan implementasi beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA) serta pembatalan perjanjian perlindungan penanaman modal (P4M).
Lalu apakah benar liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menghancurkan Indonesia? Setelah dalam tulisan sebelumnya saya mencoba menjawab keraguan akan perdagangan bebas lewat sejarah, kali ini saya akan menyoroti beberapa persepsi negatif orang Indonesia terhadap perdagangan bebas yang terlanjur dipercaya, meskipun ternyata salah kaprah atau tidak sepenuhnya benar. Yuk, simak pembahasannya.
Faktanya, Indonesia menerima banyak keuntungan dari keanggotaan WTO. Indonesia berhak untuk mendapatkan konsesi tarif yang sama dari negara anggota lain berdasarkan prinsip most favoured nation (MFN).
Jadi ketika Kolombia menerapkan tarif MFN rata-rata sebesar 4,5% untuk produk non-pertanian, maka Indonesia dan negara anggota WTO lainnya berhak untuk menikmati konsensi tarif yang sama tanpa diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Iran atau Aljazair yang bukan merupakan anggota WTO dapat didiskriminasi. Konsensi tarif berdasarkan MFN melalui WTO jelas mempermudah upaya perluasan akses pasar Indonesia.
Bayangkan apabila Indonesia tidak menjadi anggota dan harus merundingkan konsensi tarif dengan 164 negara anggota WTO satu persatu. Selain tarif MFN, WTO juga memberikan preferensi khusus bagi negara berkembang yang dikenal sebagai Generalized System of Preferences (GSP).
GSP mendorong negara maju untuk memberikan preferensi tarif khusus bagi negara-negara berkembang meskipun kenyataannya melanggar prinsip MFN. Indonesia saat ini banyak diuntungkan dari preferensi tarif berdasarkan GSP WTO yang diberikan antara lain oleh Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa.
WTO juga memberikan aturan main perdagangan bebas yang jelas dan transparan, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga negara dapat lebih leluasa menjalankan kegiatan perdagangan dengan hambatan yang minimal.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, WTO jelas memberikan manfaat besar bagi Indonesia sehingga tidak mengherankan apabila Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat lebih dari 90 persen sejak bergabung dengan WTO pada tahun 2001.
Perbandingan PDB Indonesia Tahun 2001 dan 2017. Terlihat kenaikan melebihi 90% dari USD 160 milyar menjadi USD 1 trilyun selama Indonesia menjadi anggota WTO. Sumber: google.com
Klaim ini jelas tidak berdasar. Tidak ada satu pun negara yang melakukan liberalisasi atas seluruh sektor perdagangan dan investasi tanpa tarif dan hambatan. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia masih menerapkan tarif MFN rata-rata sebesar 8,1 persen untuk perdagangan barang.
Amerika Serikat yang merupakan negara kapitalis sekalipun masih menerapkan tarif MFN sebesar 3,4 persen. Bahkan perjanjian Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership (CP-TPP) yang dianggap paling liberal sekalipun masih menyisakan hambatan perdagangan sebesar 2 persen.
ADVERTISEMENT
Hambatan sektor jasa bahkan lebih restriktif. Dalam indikator services trade restrictiveness index (STRI) yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia termasuk negara yang paling restriktif menutup sektor jasa dengan rata-rata indeks pembatasan sebesar 0,54.
Sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara OECD lainnya yang telah di bawah 0,2. Hal yang sama juga terjadi di sektor penanaman modal asing. Indonesia masih memberlakukan pembatasan kepemilikan asing pada banyak sektor penanaman modal berdasarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) dan peraturan-peraturan terkait lainnya.
Dengan demikian, pasar bebas masih memberikan fleksibilitas bagi negara secara selektif meliberalisasikan/menutup sektor perdagangan dan investasi untuk asing.
Namun muncul pertanyaan besar, apakah kebijakan proteksionis yang seperti itu menguntungkan Indonesia pada akhirnya? Pada kenyataannya, kebijakan proteksionis justru merugikan Indonesia sebagaimana akan diulas di bawah.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2012, Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan atau yang disebut current account deficit (CAD). Beberapa kalangan berpandangan bahwa defisit terjadi akibat Indonesia menganut sistem pasar bebas. Ini tidak sepenuhnya benar.
Secara umum, Indonesia menikmati peningkatan surplus perdagangan barang untuk sektor non-migas. Namun demikian, peningkatan tersebut tidak sebanding dengan tingginya impor migas yang didorong oleh konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri sehingga terjadi defisit. Tingginya konsumsi BBM disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan juga kebijakan populis yang tidak mau menaikkan harga BBM meskipun harga minyak dunia telah naik.
Sedangkan kita mengetahui bahwa pengenaan tarif produk migas pada dasarnya telah rendah dengan atau tanpa perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu, impor BBM terjadi bukan karena adanya perdagangan bebas melainkan lonjakan permintaan konsumsi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, defisit juga disebabkan kenaikan defisit neraca jasa transportasi akibat pelaksanaan kegiatan ibadah haji. Lalu bagaimana caranya memperbaiki neraca transaksi berjalan kita?
Secara teori, hal tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi impor migas dan impor barang konsumsi yang selektif serta meningkatkan ekspor barang non-migas. Di tingkat nasional, Pemerintah telah mencoba menghambat laju kenaikan impor barang konsumsi dengan mengeluarkan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) untuk 1.146 barang impor.
Selain itu, Pemerintah juga telah tepat menaikkan harga BBM guna mengurangi defisit transaksi berjalan. Namun demikian, kebijakan menghambat impor barang konsumsi juga seperti pisau bermata dua karena dapat mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang pada akhirnya berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, solusi terbaik adalah Indonesia perlu untuk meningkatkan ekspor antara lain melalui perluasan pasar dengan membuat lebih banyak FTA dengan negara-negara dan tentunya dengan peningkatan daya saing dan diversifikasi ekspor Indonesia.
Neraca Pembayaran Indonesia. Terlihat dalam kolom 1, ekspor barang Indonesia hampir selalu mengalami surplus. Namun disisi lain, impor migas dan jasa melonjak drastis sehingga mengakibatkan defisit. Sumber: uob.com.sg
Dibandingkan rata-rata kontribusi FDI dalam PDB negara-negara ASEAN yang sudah menyentuh 66%, penguasaan asing di dalam perekonomian Indonesia adalah termasuk yang terendah.
Meskipun demikian, hal tersebut telah memberikan sentimen negatif masyarakat Indonesia terhadap investasi asing dan bahkan menjadi salah satu jargon kampanye kelompok populis untuk menyerang kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sentimen tersebut sebenarnya dapat dipahami jika melihat tipe FDI yang masuk ke Indonesia umumnya hanya mengincar pasar domestik dan bersaing dengan kompetitor lokal (domestic market seeking investment) serta tidak berorientasi ekspor melainkan banyak yang hanya mengeruk sumber daya alam Indonesia (natural resources seeking investment).
FDI tipe ini memang lebih banyak menimbulkan banyak pro dan kontra ketimbang manfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun bagaimana jika perusahaan Apple memutuskan untuk memindahkan pabrik manufakturnya dari Cina ke Indonesia?
Membawa modal triliunan rupiah, menyerap banyak tenaga kerja Indonesia, menumbuhkan geliat industri lokal melalui permintaan bahan baku serta meningkatkan ekspor produk smartphone Apple yang ‘made in Indonesia’.
Apakah masyarakat Indonesia masih mengecam keberadaan FDI yang dikenal dengan nama efficiency seeking investment ini? Tentu tidak! Negara-negara justru berlomba untuk mendapatkan FDI jenis ini dan bahkan bersedia membayar melalui kebijakan insentif perpajakan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, FDI jenis ini tidak akan mau datang ke negara yang iklim perdagangan dan investasinya masih belum mendukung meskipun insentifnya besar.
Mengapa? Bayangkan jika pemilik Apple berencana membangun pabrik manufaktur di Indonesia dan langsung diwajibkan untuk membeli bahan baku dari industri lokal guna memenuhi aturan lokal content atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 30 persen.
Nyatanya, kewajiban TKDN dapat menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal karena harga bahan baku lokal lebih mahal daripada bahan baku impor.
Akibatnya, harga produk smartphone yang diproduksi di Indonesia menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif untuk diekspor karena harganya kalah bersaing dengan smartphone yang diproduksi di China.
Kemudian ketika ingin memasarkan produk smartphone, Apple membutuhkan akses pasar ke seluruh dunia. Hal tersebut juga sulit didapat karena Indonesia belum memiliki banyak perjanjian perdagangan bebas yang dapat mengurangi tarif bea masuk impor produk smartphone.
ADVERTISEMENT
Indonesia membutuhkan investasi asing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta daya saing industri. Namun untuk dapat menarik investasi jenis tersebut, Indonesia wajib untuk terlebih dahulu membuka diri bagi investor asing, khususnya yang berorientasi ekspor, melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan investasi.
Mapping tipe FDI di Indonesia yang kebanyakan berjenis market seeking (warna oranye) dan natural resources seeking (warna abu-abu). Sebaliknya, jenis FDI yang berorientasi ekspor (warna biru) masih kecil. Sumber: COMTRADE dan World Bank
Pandangan ini juga keliru. Pasar bebas seharusnya dimaknai sebagai peluang bukan ancaman. Seluruh negara berlomba-lomba untuk dapat bergabung dengan WTO.
Rusia bahkan sampai rela mengantri selama 19 tahun untuk menjadi anggota WTO demi mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi dalam pasar bebas.
ADVERTISEMENT
Dalam analogi ringan sepakbola, bayangkan anda sebagai pemilik klub sepak bola lokal ‘Dermayu FC’ mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan kompetisi bergengsi Liga Premier Inggris.
Apakah anda akan menolak bergabung karena takut kalah berkompetisi dan terdegradasi? Lalu kehilangan potensi pendapatan hak siar eksklusif (MFN), penjualan merchandise (ekspor) yang bernilai ratusan juta dolar dan lebih memilih berkompetisi di liga domestik yang tidak menguntungkan dan dipenuhi oleh mafia pemburu rente (rent-seekers)? Saya yakin kita semua tidak senaif itu.
Lalu bagaimana caranya agar Dermayu FC dapat bersaing dengan klub-klub besar seperti Liverpool, Chelsea, dan Manchester City? Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengundang pelatih dan pemain asing yang kompeten (investor asing) yang dapat membantu Dermayu FC agar lebih kompetitif dalam Liga Inggris.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kita dapat mengharapkan pemain asing tersebut dapat 'menularkan'' skill-nya kepada pemain lokal kita sehingga dapat berkembang dan lebih profesional.
Pada kenyataannya, Indonesia terlalu kecil untuk dianalogikan sebagai ‘Dermayu FC’. PDB Indonesia saat ini telah melebihi USD 1 triliun dan menjadi anggota G-20. Pada tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan menjadi ekonomi terbesar keempat dunia mengalahkan Turki, Jepang, dan Jerman.
Indonesia memiliki banyak kelebihan untuk dapat bersaing dalam pasar bebas seperti kondisi politik yang stabil, kebijakan makroekonomi yang baik, sistem demokrasi yang mendukung, bonus demografi serta tingginya tingkat kepercayaan negara-negara terhadap pertumbuhan positif ekonomi Indonesia sebagaimana terdapat dalam Survei Ekonomi OECD 2018.
ADVERTISEMENT
Apabila kebijakan ekonomi terus diperbaiki agar dapat mendukung kegiatan perdagangan dan investasi yang lebih terbuka dan kompetitif, bukan tidak mungkin kita akan menyalip Amerika Serikat dan India. Lalu mengapa masih takut menghadapi pasar bebas?