Arah Diplomasi untuk Palestina: dari Idealis ke Taktis

hafidz arfandi
Penulis merupakan founder dan peneliti di Sustainability Learning Center (SLC) yang berfokus pada bisnis berkelanjutan. Memiliki minat dalam hal politik, ekonomi, sastra, dan budaya. Hobby-nya pada koleksi buku, jalan-jalan dan kulineran
Konten dari Pengguna
13 April 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hafidz arfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengungsi Palestina mengumpulkan makanan yang disumbangkan oleh sebuah badan amal sebelum berbuka puasa, pada hari pertama bulan suci Ramadhan, di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 11 Maret 2024. Foto: Mohammed Abed / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Palestina mengumpulkan makanan yang disumbangkan oleh sebuah badan amal sebelum berbuka puasa, pada hari pertama bulan suci Ramadhan, di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 11 Maret 2024. Foto: Mohammed Abed / AFP

Memahami akar Masalah Palestina

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persoalan Palestina memang merupakan borok peradaban pasca perang dunia, dimana pola kolonialisme primitif masih terjadi di tengah semangat nasionalisme bangsa-bangsa di dunia. Bahkan gegap gempita kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia-Afrika tak juga mempengaruhi derap kemerdekaan Palestina hingga kini.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, pembacaan masalah Palestina seringkali bias terhadap sejarah, dimana negara-negara barat yang pro Israel akan melihat sejarah Palestina dari sudut pandang sejarah modern yang menunjukan bahwa eksistensi Israel yang didengungkan 14 Mei 1948 merupakan penanda penting lahirnya sebuah bangsa merdeka yang berdaulat penuh di wilayahnya.
Sedangkan dari sudut pandang dunia arab dan negara-negara muslim yang pro Palestina selalu melihat sebaliknya dimana Palestina tidak lain adalah warisan masa lalu yang sah dan berhak untuk mendapatkan kemerdekaannya yang diakui penuh, meski secara de facto tidak lagi menguasai 85% wilayahnya.
Pangkal masalah eksistensi konflik Palestina adalah adanya resolusi PBB 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian; untuk arab dan yahudi, tetapi resolusi ini tidak mendapat kata sepakat. Hingga akhirnya Israel secara sepihak memerdekakan diri, membentuk negaranya dan melawan Inggris, hingga berlanjut ke perang arab yang lebih banyak menguntungkannya.
ADVERTISEMENT
Sehingga melihat Israel saat ini bukan semata produk kolonialisme barat, melainkan lahir dari superioritas nasionalnya di wilayah arab yang berhasil mengalahkan negara-negara penentangnya dan mendirikan negara yang tangguh di kawasan.
Maka bagi rakyat Palestina, sejatinya sejarah kelamnya bermula dari tiga kekalahan perang sejak perang dunia. Pertama, Turki Ustmani kalah dan runtuh. Kedua, kekalahan pasukan pendudukan inggris oleh Israel. Ketiga, kekalahan perang arab yang membuat Yordania kehilangan kontrol efektif atas wilayah Palestina.

Landscape Diplomasi Palestina

Maka tanpa mengesampingkan hak-hak kemanusiaan di tanah Palestina, serta hiruk pikuk kekerasan yang telah berumur hampir seabad lamanya. Hingga saat ini hukum internasional seakan-akan tidak dapat ditegakan di Palestina terlebih Palestina belum diakui sebagai negara merdeka di dalam forum-forum internasional termasuk PBB.
ADVERTISEMENT
Proposal palestina untuk menjadi anggota penuh PBB ditolak di 2012 dan kini sedang berupaya masuk kembali pada awal 2024 lalu. Hal ini langsung dibalas Knesset (parlemen) Israel mengajukan mosi untuk menolak klaim sepihak Palestina di PBB.
Israel sendiri tidak pernah mau untuk berunding dengan Palestina secara langsung, dengan alasan sangat sederhana, mereka ingin berunding dengan negara yang sah dan setara, maka berulangkali perundingan dengan Palestina selalu diperantarai Mesir atau Yordania dengan hasil-hasil yang turun naik tetapi seringkali sulit mengikat.
Kelemahan perjanjian Israel-Palestina diantaranya; Pertama, Palestina tidak memiliki struktur sistem politik kenegaraan yang kuat, terutama sejak perpecahan PLO, dimana PLO sebagai wakil sah Palestina yang diakui internasional secara de facto hanya mampu mengontrol sebagian wilayah Tepi Barat. Sisanya dikuasai kelompok-kelompok politik dan militer lainnya, termasuk Hamas di Gaza. Alhasil perjanjian apapun yang dihasilkan otoritas palestina belum tentu mengikat ke internal kelompok-kelompok politik dan militer disana.
ADVERTISEMENT
Kedua,Israel juga masih dikuasai kelompok ultra nasionalis (likud, kadima, dll) yang relatif memiliki pandangan rasialistik (anti arab) dan menolak rekonsiliasi dengan palestina, upaya pengakuan dua negara semasa era partai buruh berkuasa bertolak belakang dengan pilihan partai-partai ultra nasionalis selalu memilih jalan non kompromi dengan kekerasan dan juga pengusiran penduduk Palestina dari garis demarkasi yang terus ditarik maju dari sisi Israel.
Ketiga, Dunia arab yang terpecah sejak revolusi Iran, dimana konflik intra negara-negara teluk terus berlangsung untuk adu pengaruh antara berbagai negara. Di tengah situasi itu landsacape politik timur tengah cukup dinamis, dimana sebelumnya Israel berhadapan dengan nasionalis arab yang juga didukung Raja Faisal dari Saudi di era 60-an, bergeser dengan perpecahan nasionalis arab Irak-Mesir-Suriah dengan pilihan sikap yang berbeda-beda terhadap Israel, sedangkan Iran pasca revoluasi menjadi musuh baru bagi Israel yang turut terlibat dalam membuat proxy perlawanan bersenjata yang juga memiliki kontak resmi yang tak dapat diabaikan dengan negara-negara sekitar seperti Suriah, Lebanon dan Irak.
ADVERTISEMENT
Selain Iran, pendukung utama gerakan Hamas yang bersendikan jaringan Ikhwanul Muslimin adalah Qatar yang sangat erat dengan jejaring elit gerakan tersebut. Di luar itu level diplomasi palestina, lebih pada pendekatan humanis, non politis yang berorientasi pada kemanusiaan, penghentian perang dan kekerasan, pembangunan sosial dan ekonomi.
Belakangan, diplomasi Israel dengan negara-negara teluk semakin efektif, terutama dengan Saudi dan Uni Emirate yang berusaha untuk menjalin normalisasi hubungan diplomatik meski tertunda akibat perang yang berlangsung pasca 7 Oktober 2023 lalu.
Dalam diplomasinya, Israel memanfaatkan ghairah kemajuan bangsa-bangsa arab, seperti visi saudi 2030 untuk turut berkontribusi positif di dunia arab khususnya dalam pengembangan investasi teknologi di kawasan. Selain itu, Israel memiliki track diplomasi yang efektif terutama pasca perjanjian campd david (1979) dan perjanjian damai dengan yordania (1994).
ADVERTISEMENT
Israel tidak menunjukan dirinya menjadi bahaya bagi negara-negara di kawasan, kecuali bagi negara yang secara aktif memusuhinya seperti Iran, Suriah dan Lebanon yang dianggapnya sebagai respon defensif untuk mengeliminasi kekuatan musuh. Bahkan meski tanpa hubungan diplomatik resmi seringkali mendorong kerjasama ekonomi (perdagangan dan investaasi) serta keamanan dengan kesediaan berbagi informasi intelejen terkait upaya kontra terorisme di negara-negara kawasan.
Pemahaman dinamis tentang konflik Palestina-Israel tentu penting untuk menentukan positioning diplomacy kedepan, dimana misi paling penting dalam diplomasi tersebut adalah "menyelamatkan kemanusiaan dengan penghentian perang dan kekerasan secara permanen baik di wilayah palestina, israel dan negara-negara kawasan serta memastikan bahwa Palestina menjadi negara berdaulat yang memiliki hak penuh atas wilayahnya dan hukum-hukum internasional dapat ditegakan di wilayahnya."
ADVERTISEMENT
Tentunya, konsep ini memaksa untuk mengubah kacamata kuda pola diplomasi yang selama ini menggunakan basis idealis dibandingkan tujuan praksis. Dalam prakteknya meski dukungan terhadap palestina semakin meningkat dimana setidaknya 140 dari 196 negara anggota PBB telah mengakui palestina hingga awal tahun ini.
Tapi tak bisa dipungkiri 163 di dalamnya telah mengakui Israel, artinya mayoritas negara saling beririsan mengakui palestina tanpa menegasikan israel, meski beberapa negara mungkin memiliki posisi unik untuk hanya mengakui satu dari keduanya, sebagaimana Indonesia.
Indonesia sejak era Bung Karno, memilih positioning tunggal untuk hanya mengakui Palestina, dan menolak eksistensi Israel. Status quo diplomasi ini terus dipertahankan dikarenakan kuatnya desakan umat islam yang melihat israel dari sudut pandang historis, sehingga ada dogma diplomasi bahwa "Indonesia tidak akan mengakui Israel sebelum Israel memberikan kemerdekaan penuh pada Palestina",
ADVERTISEMENT
Dogma ini pada praktiknya sulit diterjemahkan mengingat masalah internal Palestina, belum ada platform resmi tentang upaya diplomasi dua negara yang solid di internal palestina, kelompok hamas yang berkuasa di Gaza sebelum perang dan beberapa kelompok politik-militer lainnya menolak eksistensi Israel, sedang PLO masih berpegangan pada resolusi 1947 meski secara de facto landscape teritorialnya sudah jauh berbeda, maka Israel tentu punya bargaining besar untuk menolak proposal PLO terlebih secara de facto Israel jauh lebih superior baik secara militer, ekonomi hingga diplomasi.
Melihat situasi ini, maka satu-satunya solusi adalah mengajak Israel berunding untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan intervensi militer di wilayah Palestina, sembari terus membangun kesepahaman antara Israel dan Palestina untuk menjalin kerjasama untuk menjaga situasi kondusif.
ADVERTISEMENT
Proposal gencatatan senjata harus dibarengi langkah kongkrit penarikan mundur pasukan militer ke garis demarkasi awal serta penempatan pasukan penjaga perdamaian sebagaimana terjadi di Lebanon antara Israel dan Hizbullah. Hal ini penting mengingat resolusi DK PBB hanya menyerukan gencatan senjata selama bulan Ramadhan yang artinya sudah berakhir.
Proposal damai ini tentu akan dapat diterima dan berjalan bila ada jaminan bahwa negosiatornya diterima oleh kedua belah pihak, baik Israel ataupun Palestina yang secara de facto perlu menjembatani PLO dan Hamas sebagai dua kekuatan terbesar, tentu ditambah dengan faksi-faksi lain.
Indonesia sangat mungkin untuk menjadi jembatan keduanya. Dedikasi Indonesia pada Palestina tidak diragukan lagi, sebaliknya meski tidak ada hubungan diplomatik resmi tapi Israel, namun Israel tentu punya keinginan besar untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan indonesia yang sudah diupayakan bahkan sejak awal kemerdekaanya. Israel juga ingin mengubah persepsi publik di Indonesia yang masih sangat bias memandang eksistensinya.
ADVERTISEMENT

Kerja Kolektif di bawah OKI

Namun, Indonesia tak mungkin bisa melakukannya sendiri, dukungan dari negara-negara OKI dan anggota tetap DK PBB mutlak diperlukan. Jembatan negosiasi bisa dibangun Indonesia bersama komite khusus yang dibentuk di bawah OKI yang mempertemukan Saudi, Uni Emirat, Qatar, Iran, Mesir, Suriah, Jordania untuk duduk bersama menjadi perantara dialog mewakili Palestina. Komite ini tentu punya beberapa PR besar;
Pertama, Berdialog dengan internal Palestina dan menyusun roadmap diplomasi yang diinginkan Palestina secara taktis untuk mencapai kemerdekaan dan pengakuan penuh di PBB, Kedua, berdialog dengan internal negara-negara OKI khususnya kubu Saudi-Iran dan tetangga Yordania, Mesir, Suriah dan Lebanon untuk menyepakati roadmap negosiasi bersama Israel yang berpengaruh dengan peta keamanan di kawasan, Ketiga, berdialog secara konstruktif dengan Israel untuk menyepakati resolusi perdamaian permanen dan pembentukan Palestina Merdeka dan code of conduct diantara keduanya.
ADVERTISEMENT
Keempat, Melakukan lobby dan negosiasi dengan anggota DK PBB untuk berada di pihak netral dan mengutamakan perdamaian dibanding dukungan sepihak pada salah satu pihak. Untuk tugas terakhir ini, adu eksistensi hak veto China-Rusia dan Inggris-AS soal urusan Palestina dan Israel perlu ditengahi, sedangkan Perancis relatif sering abstain, hal ini penting mengingat DK PBB adalah kunci dari resolusi PBB dapat dijalankan sebagai kerangka mekanisme hukum internasional yang sah untuk mengikat diantara para pihak yang berkepentingan.
Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah, tapi bukan sesuatu yang mustahil, terlebih untuk menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tentu akan dapat dilanjutkan di masa kepresidenaannya, misi diplomasi ini bisa berjalan pararel dengan diplomasi ekonomi Indonesia dengan mitra-mitra kawasan timur tengah, termasuk Israel.
ADVERTISEMENT
Prabowo punya reputasi sebagai penasehat militer kerjaan Yordania dan sangat paham dengan dinamika kawasan tersebut, beliau juga meneruskan kiprah diplomasi Presiden Jokowi yang memiliki hubungan sangat baik dengan China dan Uni Emirate yang akan menjadi pintu masuk diplomasi dengan negara anggota DK PBB dan OKI.
Prabowo juga memiliki track record diplomasi perdamaian dengan menawarkan resolusi damai Rusia-Ukraina di Shangri-la Dialog meski ditolak dengan situasi politik yang belum kondusif di kawasan, tapi reputasinya diplomasinya cukup bagus untuk dapat berkomunikasi langsung dengan negara-negara anggota tetap DK PBB.
Sejatinya, meski jauh dari wilayah Indonesia, namun situasi konflik di Palestina-Israel akan terus menjadi ancaman, terutama bila terjadinya perluasan konflik terbuka dengan keterlibatan Iran dan negara-negara sekitar ke dalam peta konflik. Selama krisis yang berlangsung lebih dari 6 bulan ini, konflik ini telah memicu beragam spekulasi yang mempengaruhi gonjang ganjing jalur perdagangan komoditas global utamanya di area laut merah.
ADVERTISEMENT
Dan bila eskalasinya meningkat sudah pasti akan mengerek naik harga komoditas minyak dan pangan, serta menciptakan instabilitas global yang luas sehingga akan berpengaruh signifikan terhadap kondusifitas pembangunan nasional di Indonesia, maka keterlibatan Indonesia sejatinya juga penting dalam rangka preventif untuk mengelola rencana menuju Indonesia Emas, sekaligus menunjukan peran diplomasi aktif yang nantinya membuat kepercayaan dunia makin tinggi terhadap Indonesia.