Makna Kekerasan dan Kejahatan dalam Polemik RUU PKS

Halimah
Saya seorang mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konten dari Pengguna
18 Desember 2020 14:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Halimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by CQF-Avocat from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by CQF-Avocat from Pexels

Diksi kekerasan dan kejahatan sempat menjadi polemik dalam pengesahan RUU PKS

ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, saking panjangnya perjalanan RUU yang satu ini untuk disahkan. Hingga sampai tulisan ini ditulispun, RUU-PKS masih berstatus sebagai rancangan. Meski sudah puluhan demo digelar, ratusan fakta disajikan, dan ribuan kasus kekerasan berbicara, belum ada hilal positif akan disahkannya RUU ini.
ADVERTISEMENT
Ketika RUU-PKS dikeluarkan dari prolegnas Prioritas 2020, alasan yang dilayangkan adalah karena 'sulit'nya pembahasan RUU ini. Faktor yang mendasari hal ini salah satunya adalah adanya kelompok yang 'kontra' atau menentang adanya RUU ini. Banyak argumen dikeluarkan untuk menguatkan pendapat mereka, menguliti RUU-PKS dengan perspektif mereka. Salah satu polemik dari RUU ini adalah penggunaan kata "kekerasan" dan "kejahatan" dalam RUU-PKS.
Dr. Henri Shalahudin (Peneliti Senior INSISTS) dan Fajri M. Muhammadin (Dosen Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum UGM) berpendapat bahwa diksi "kekerasan" dalam RUU-PKS tidak tepat. Menurut Henri, istilah kekerasan memiliki makna yang manipulatif. Fajri menambahkan, dengan diubahnya "kekerasan" menjadi "kejahatan", maka RUU-PKS harus menginkorporasi nilai agama dan moral sesuai dengan amanah yang tercantum dalam Pancasila.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebenarnya, bagaimana perbedaan makna kedua kata ini jika dikaji dengan salah satu bidang linguistik yang mengkaji makna bahasa, yaitu semantik?
Oiya, mari berkenalan dengan semantik terlebih dahulu. Menengok dari buku Semantik karya Makyun Subuki, M. Hum, semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantics dalam bahasa Inggris. Kata ini dalam bahasa Perancis berasal dari kata sema (nomina dalam bahasa Yunani) yang berarti 'tanda' atau 'lambang', atau dapat juga berasal dari semaino (verba dalam bahasa Yunani) yang berarti ‘menandai' atau ‘melambangkan’. Sedangkan secara terminologis atau istilah, semantik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa.
Dalam semantik, sebuah kata dapat dianalisis artinya berdasarkan dua kategori arti; yaitu arti leksikal dan arti gramatikal. Arti Leksikal adalah arti tetap sebuah kata, atau arti yang menempel pada kata tersebut, dan mudahnya kita katakan sebagai arti dalam kamus. Misalnya kata "hapus" yang berarti tidak terdapat atau terlihat lagi, hilang; musnah, lenyap; diampuni.
ADVERTISEMENT
Lalu, arti gramatikal adalah kebalikan dari arti leksikal. Arti gramatikal adalah arti yang dibentuk oleh susunan gramatikal kalimat, arti ini berubah-ubah sesuai dengan susunan gramatikal (pengimbuhan, pengulangan, dsb.) kata tersebut. Misalnya kata "menghapus" yang berarti membersihkan; menghilangkan; mensucikan berbeda artinya dengan kata "penghapus" yang berarti alat untuk menghapus. Perbedaan gramatikal pada kata dasar yang sama yaitu hapus menciptakan perbedaan makna.
Kembali pada persoalan makna kekerasan dan kejahatan, mari kita analisis arti leksikalnya.
berdasarkan KBBI daring, kata kekerasan memiliki arti:
ADVERTISEMENT
sedangkan kata kejahatan berarti:
perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.
Melihat arti leksikal kedua kata tersebut, meski keduanya berkonotasi negatif dan merugikan orang lain namun keduanya berbeda. Perbedaan mendasar berada pada adanya "norma" yang terikat pada kata kejahatan. Seseorang melakukan kejahatan apabila melakukan tindakan yang bertentangan dengan "norma" yang berlaku. Norma sendiri adalah aturan dan nilai yang berada pada masyarakat, bergantung pada konvensi masyarakat.
Sayangnya salah satu bentuk pelecehan yang paling marak terjadi— catcalling—masih dianggap hal yang biasa, dan dianggap sesuatu yang lumrah menimpa perempuan. Catcalling bisa saja tidak dikategorikan kejahatan seksual karena tidak ada "norma" yang dilanggar di dalamnya dan selalu dinormalisasi. Sekalipun catcalling dapat diperkarakan, sebuah penelitian yang dilakukan Tauratiya, tentang perspektif hukum positif pada catcalling, membuktikan bahwa hingga saat ini belum ada kejelasan dan kepastian hukum atas perbuatan catcalling.
ADVERTISEMENT
Selain catcalling, bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual namun tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan seksual adalah pemaksaan perkawinan. Beragamnya suku dan budaya di Indonesia memberikan warna dalam nilai dan norma. Dalam beberapa budaya, pemaksaan perkawinan sudah menjadi hal biasa, lumrah bahkan menjadi bagian dari nilai sosial mereka. Jika menyasar pada pengertian dari kejahatan, maka pemaksaan perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan seksual, karena bisa saja tidak bertentangan dengan norma yang dianut masyarakat.
Sedangkan jika menggunakan kata "kekerasan" pemaksaan perkawinan ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual, karena terdapat unsur pemaksaan di dalamnya. Bagaimanapun, pemaksaan perkawinan bukanlah hal yang dapat dinormalisasi karena dampaknya sangat besar bagi kehidupan korban. Dampaknya bukan hanya secara fisik tapi juga secara psikis. Perkawinan merupakan salah satu pintu memasuki kehidupan yang sesungguhnya, berdampak besar bagi kehidupan sesorang, sehingga pemaksaan dalam perkawinan bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Maka, dari contoh bentuk kasus di atas, terlihat perbedaan makna antara kekerasan seksual dan kejahatan seksual. Secara leksikal, kekerasan seksual berarti segala bentuk perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik; paksaan secara seksual. Sedangkan kejahatan seksual dapat diartikan secara leksikal sebagai perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai dan norma.
Saya memang tidak memahami hukum, namun secara kacamata analisis sederhana saya, kata kekerasan seksual lebih mewakili segala bentuk perilaku yang melecehkan, merendahkan, merugikan secara seksual. Dibandingkan kata kejahatan seksual yang mungkin hanya bisa merepresentasikan pelanggaran akan norma yang ada di Indonesia—yang beberapa dinormalisasi.
Miranda Olga, dalam artikelnya, berpendapat bahwa kekerasan bukan merupakan suatu kejahatan karena penelaahannya perlu disikapi bukan hanya secara etik tapi juga emik. Penanggulangannya juga seharusnya tidak melulu dengan pemidanaan (mediasi, konseling, dll.) sedangkan kata kejahatan terlihat lebih konkret sebagai tindak pidana karena telah diatur dalam KUHP.
ADVERTISEMENT
Sumber bacaan:
Haryanti Puspa Sari, "16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas, Salah Satunya RUU PKS", Kompas.com, diakses pada 17 Desember 2020.
Haryanti Puspa Sari, "Baleg DPR Sebut Seluruh Fraksi Sepakat RUU-PKS Masuk Prolegnas Prioritas 2021", Kompas.com, diakses pada 17 Desember 2021.
Miranda Olga, "Pro Kontra RUU-PKS: Ke Mana Kita Perlu Memihak?", Geotimes, diakses pada 17 Desember 2020.
Subuki, Makyun. 2011. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka.
ADVERTISEMENT
Tauratiya. 2020. Perbuatan Catcalling dalam Perspektif Hukum Positif. EKSPOSE Vol. 19 (1). hlm. 1019-1025.