Masa Depan Rohingya Usai Putusan International Court of Justice

Hani Adhani
PhD Candidate, Faculty of Law, International Islamic University Malaysia (IIUM) - Alumni The Hague University. Alumni FH UI dan FH UMY.
Konten dari Pengguna
27 Januari 2020 14:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hani Adhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rohingya Foto: Reuters/Mukesh Gupta
zoom-in-whitePerbesar
Rohingya Foto: Reuters/Mukesh Gupta
ADVERTISEMENT
Tanggal 11 November 2019, menjadi hari bersejarah bagi penyelesaian kasus Rohingya. Gambia mengajukan gugatan terkait isu pembantaian Rohingya ke International Court of Justice (ICJ).
ADVERTISEMENT
Meskipun kita paham bahwa ICJ adalah pengadilan yang memang dibentuk dan di bawah naungan oleh PBB, namun kewenangan yang dimiliki oleh ICJ lebih fokus ke arah sengketa wilayah antar negara. Misalnya seperti kasus Pulau Sepadan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Namun, terkait isu genocide banyak pengamat internasional yang menganggap bahwa isu genocide di Rohingya ini bukanlah menjadi ranah kewenangan ICJ.
Lambang ICJ - Sumber website ICJ
Namun faktanya, apa yang dikhawatirkan itu ternyata tidak terjadi. Panitera ICJ tetap menerima permohonan atau gugatan yang diajukan oleh Negara Gambia yang ditujukan kepada Negara Myanmar tersebut. Permohonan yang berjumlah 46 halaman tersebut menguraikan berbagai fakta yang terjadi terkait dengan peristiwa genocide yang menimpa etnis Muslim Rohingya.
Satu demi satu peristiwa genocide itu diceritakan dengan lugas oleh Abubacarr Marie Tambadou (Menteri Hukum Negara Gambia) dalam permohonannya, yang disertai dengan bukti-bukti cukup otentik dan bukan hanya hasil dari identifikasi berbagai NGO hak asasi manusia dan media internasional. Namun temuan yang akurat dari komisi khusus pencari fakta yang dibuat khusus oleh PBB untuk melakukan investigasi secara khusus dan intens terkait dengan peristiwa genocide etnis Rohingya tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan tim pencari fakta PBB terkait genosida Rohingya yang dipimpin oleh Marzuki Darusman tersebut, tergambarkan cukup jelas bahwa memang benar telah terjadi peristiwa genocide yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya yang berlangsung sejak 2016. Hasil investigasi tim pencari fakta ini menjadi “kunci” pembuktian dalam gugatan yang diajukan ke ICJ.
Selain itu, berbagai bukti lainnya seperti laporan dari Adama Dieng (Penasehat Khusus PBB Bidang Genocide), berbagai pemberitaan dari media internasional seperti The Guardian, New York Time, dan berbagai penelitian yang dimuat di jurnal internasional yang menggambarkan adanya peristiwa pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan oleh Militer Myanmar memang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif yang bukan hanya melibatkan militer Myanmar, namun melibatkan semua stakeholders di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Terkait permohonan Gambia tersebut, banyak pendapat dari akademisi, ahli dan aktifis hak asasi manusia yang memprediksi bahwa permohonan tersebut akan kandas di tengah jalan dan mereka justru memberikan solusi agar masalah genocide Rohingya ini dibawa ke International Criminal Court (ICC) dan bukan dibawa ke International Court of Justice (ICJ).
Suasana Persidangan ICC - Sumber: website ICC
Penyelidikan oleh ICC
Apabila dilihat dari kewenangannya, maka dapat kita simpulkan bahwa memang ICC yang paling realistis dapat menerima perkara genocide Rohingya ini. Namun yang menjadi masalah adalah Negara Myanmar bukanlah anggota ICC, sehingga sulit bagi ICC untuk menyeret tokoh di balik genosida Rohingya ini ke ICC.
Selain itu, ICC juga tidak berada dalam naungan PBB secara langsung, sehingga secara kasat mata sulit bagi ICC untuk membawa kasus Rohingya ini ke meja persidangan ICC. Meskipun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa dapat saja kasus Rohingya ini dibawa ke ICC, yang menjadi penggugat atau yang mengajukan perkara adalah Negara Bangladesh oleh karena Bangladesh termasuk negara anggota ICC yang menandatangani statuta Roma dan juga negara yang kena imbas akibat terjadinya pembantaian etnis Rohingya oleh tentara Myanmar tersebut. Atau dapat juga direkomendasikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk membawa kasus Rohingya ini ke pengadilan ICC. Namun, sepertinya hal tersebut juga sulit untuk diwujudkan
ADVERTISEMENT
Meskipun memang pada April 2018, sempat ada informasi bahwa ada seorang jaksa di ICC yang telah meminta kepada ICC untuk memerintahkan dilakukan penyelidikan terhadap terjadinya peristiwa pembantaian di Rakhine tersebut. Namun, apabila kita melihat hukum acara terkait penyelidikan yang akan dilakukan oleh ICC, sepertinya tidak akan dapat terlaksana secara maksimal. Terlebih lagi, fokus utama ICC adalah terhadap “orang” ataupun “sutradara” yang memerintahkan aksi pembantaian tersebut yang tentunya membutuhkan waktu khusus untuk membawa tokoh ataupun orang yang memang menjadi sutradara dalam perintah pembantaian di Rakhine tersebut.
Putusan Sela ICJ
Salah satu poin penting yang menjadi perhatian utama dalam permohonan yang diajukan oleh Gambia adalah kutipan Pasal IX Konvensi Genosida berbunyi: “Perselisihan antara para pihak terkait dengan interpretasi, penerapan atau pemenuhan konvensi ini, termasuk yang terkait dengan tanggung jawab suatu negara untuk genosida atau tindakan lain apa pun yang disebutkan dalam pasal III, harus diajukan ke ICJ atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa”. Gambia dan juga Myanmar menjadi negara yang menandatangani konvensi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, ICJ secara sistematis menjawab semua isu yang menjadi bagian penting dalam permohonan yang diajukan oleh Gambia dan juga hal penting yang ditemukan pada saat proses persidangan berlangsung.
Menurut ICJ, terkait dengan kewenangan mengadili yang juga menjadi isu utama, ICJ berkesimpulan bahwa ICJ memiliki kewenangan untuk mengadili perkara tersebut dengan mendasarkan pada Pasal IX Konvensi Genosida. Selain itu, terkait dengan legal standing Gambia, ICJ menyimpulkan bahwa Gambia secara prima facie memiliki legal standing untuk mengajukan perselisihan dengan Myanmar berdasarkan dugaan adanya pelanggaran dan juga berdasarkan kewajiban yang diperintahkan dalam Konvensi Genosida.
Sementara itu, terkait dengan isu pokok genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar, ICJ menjadikan temuan rinci dari tim Pencari Fakta PBB yang dipimpin oleh Marzuki Darusman sebagai bahan rujukan utama telah terjadinya pelanggaran Konvensi Genosida.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta tersebut, ICJ dalam pertimbanganya juga menyimpulkan bahwa sangat rasional apabila etnis Rohingya akan menghadapi risiko serius genosida sehingga dengan mengingat ketentuan Pasal I Konvensi Genosida, maka negara-negara pihak yang ikut menandatangani konvensi tersebut seharusnya dapat secara tegas dan menegaskan kesediaannya untuk menganggap genosida sebagai kejahatan internasional sehingga harus dicegah.
Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya, ICJ juga memerintahkan kepada Myanmar untuk memastikan militernya untuk tidak lagi melakukan tindakan genosida atau konspirasi untuk melakukan genosida, ataupun hasutan langsung kepada publik untuk melakukan genosida, atau upaya melakukan genosida, atau keterlibatan dalam genosida. Lebih lanjut, ICJ juga memerintahkan kepada Myanmar untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah terjadinya genosida tersebut.
Akhirnya, dalam pertimbangan akhirnya, ICJ juga memerintahkan kepada Myanmar untuk menyerahkan laporan kepada ICJ terkait langkah-langkah yang diambil dalam upaya mencegah terjadinya genosida, dimana laporan tersebut harus diserahkan dalam jangka waktu empat bulan setelah putusan tersebut. Selain itu, ICJ juga memerintahkan kepada Myanmar untuk membuat laporan setiap enam bulan kepada ICJ sampai keputusan akhir tentang kasus ini diputus oleh ICJ.
ADVERTISEMENT
Menutup Ruang Genocide
Putusan ICJ ini menjadi penting bagi kita umat manusia oleh karena sejak peristiwa pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan oleh tentara Myanmar yang terjadi sejak tahun 2016, seolah-olah kita sebagai warga dunia yang tergabung dalam PBB tidak dapat berbuat apa-apa.
Bagaimana mungkin di era penegakan hak asasi manusia yang hampir seluruh negara di dunia berupaya untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun kita masih dihadapkan dengan peristiwa genocide yang terpublikasikan secara utuh dan kita sebagai warga dunia yang berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan pembantaian tersebut.
Semoga putusan sela ICJ ini benar-benar dapat menjadi pemutus mata rantai terjadinya genosida terhadap etnis Rohingya, sehingga kita sebagai warga dunia dapat sedikit bernapas lega dan berharap nantinya dalam putusan akhir ICJ, ada solusi konkrit untuk menyelesaikan kasus genosida etnis Rohingya ini sehingga dari putusan tersebut bukan hanya dapat memberikan rasa keadilan untuk warga Rohingya dan warga masyarakat dunia, namun lebih jauh lagi dapat menutup ruang bagi kekuasaan otoriter di negara manapun untuk melakukan pembantaian etnis (genocide) terhadap etnis tertentu.
ADVERTISEMENT
*****