Hak Asasi Manusia atas Lingkungan Hidup di Kawasan Hutan: PP No. 23 Tahun 2021

Hanif Ardiningrum Khansa
Mahasiswa Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2021 12:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanif Ardiningrum Khansa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertambangan Batu Bara di Kalimantan Selatan, Indonesia | Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Pertambangan Batu Bara di Kalimantan Selatan, Indonesia | Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
Sebagai manifestasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja), Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021) yang membawa perubahan substansial terhadap kerangka hukum sektor kehutanan. Rupanya tidak semua pihak memberikan respons positif dalam menanggapi pengaturan baru oleh PP 23/2021, terutama mengenai ketentuan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai pengecualian kegiatan pertambangan di hutan lindung. PP 23/2021 dikritik lebih mengutamakan nilai ekonomis dibandingkan kelestarian hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk tanggapan adalah digelarnya Webinar Nasional Menyikapi Polemik terkait PP 23/2021 pada 14 September 2021 oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam webinar itu, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga, mengungkapkan kelestarian hutan dan aspek penegakan HAM seharusnya menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut merupakan urgensi mengingat penetapan dan pengelolaan Kawasan Hutan sendiri sudah memiliki riwayat kurang baik dengan pengabaian hak asasi manusia (HAM) masyarakat Indonesia dari segi individu maupun komunal.
Pertanyaan yang muncul kemudian yakni apakah masyarakat secara individu maupun komunal memiliki HAM atas kelestarian hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup menurut hukum yang berlaku? Untuk menjawabnya perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hukum internasional serta nasional mengatur HAM dalam konteks kelestarian hutan.
ADVERTISEMENT

Dasar Hukum HAM atas Lingkungan Hidup

Pengakuan atas HAM terkait lingkungan hidup pertama kali tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang pada intinya menjamin hak seseorang akan taraf hidup memadai baik kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri maupun keluarganya. Penjaminan ini juga diatur pada Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) di mana kewajiban negara untuk melakukan “perbaikan seluruh aspek kesehatan lingkungan dan industri” sebagai pelaksanaannya pun diatur di ayat (2).
Secara spesifik, penghormatan dan perlindungan HAM atas lingkungan hidup di lingkup internasional baru tercantum dalam Deklarasi Stockholm melalui ke-26 prinsipnya. Prinsip 11 menyatakan kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan di masa sekarang serta masa depan. Lebih lanjut, Prinsip 21 memperbolehkan negara dengan kedaulatannya memanfaatkan sumber daya yang ada sesuai kebijakan, tetapi diikuti kewajiban memastikan bahwa kegiatan pemanfaatan tersebut tidak membahayakan lingkungan atau negara lain.
ADVERTISEMENT
Dalam level nasional, Indonesia mencantumkan pengaturan hak atas lingkungan hidup pada konstitusi dan peraturan lainnya. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjamin hak penguasaan negara atas sumber daya krusial negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak individu akan lingkungan hidup yang baik dinyatakan di Pasal 28H (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) beserta perubahannya menurut UU Cipta Kerja menguatkan kembali perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup agar masyarakat dapat berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya
Hal tersebut menunjukkan bahwa hak atas lingkungan hidup telah diakui sebagai HAM tidak hanya berdasarkan hukum internasional, namun juga kerangka hukum positif Indonesia. Meskipun demikian, yang menjadi masalah adalah apakah kebijakan dan peraturan pelaksana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, dalam konteks ini Kawasan Hutan, telah sesuai dengan konsep perlindungan HAM. Oleh karenanya, pembahasan berlanjut ke pertanyaan kedua yaitu jika masyarakat memang memiliki hak tertentu, lalu bagaimana perubahan pengaturan sektor kehutanan di PP 23/2021 berdampak pada penghormatan sekaligus penegakan HAM tersebut?
ADVERTISEMENT

Dampak PP 23/2021 terhadap Penegakan HAM atas Lingkungan Hidup di Kawasan Hutan

Penulis akan berangkat dari isu pertama yaitu perubahan terhadap ketentuan PNBP. Bentuk PNBP berupa pungutan oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah, serta dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pembayaran PNBP diwajibkan bagi kegiatan penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Lingkup kegiatannya menurut Pasal 91 ayat (2) PP 23/2021 meliputi kegiatan religi, pertambangan, instalasi listrik serta teknologi energi, dsb.
Terkait kegiatan tersebut, peraturan pelaksana PP 23/2021 yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 (Permen LHK 7/2021) membagi PNBP menjadi 2. PNBP Penggunaan Kawasan Hutan berlaku pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan, PNBP Kompensasi diperuntukkan bagi provinsi yang sama dengan atau kurang Kecukupan Luas Kawasan Hutannya serta berlaku pada KLHK dan dibayarkan sekali.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya adalah perubahan ketentuan PNBP tersebut meniadakan kewajiban terdahulu pelaku usaha dalam menyediakan lahan kompensasi. Lahan kompensasi diserahkan pelaku usaha pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam wujud clear and clean dan sudah direboisasi. Kalau dimaknai, kesan yang timbul adalah lahan kompensasi tersebut dapat ditukar sejumlah uang tertentu melalui setoran PNBP. Padahal, lahan kompensasi memiliki peran penting menggantikan fungsi lingkungan hidup yang hilang akibat dari penggunaan Kawasan Hutan. Bahkan, fungsi lingkungan hidup inilah yang menjadi kunci kelestarian dari hutan itu sendiri.
Kemudian, isu kedua ialah pengecualian kegiatan pertambangan di hutan lindung sebagaimana diatur Pasal 91 PP 23/2021. Kegiatan pertambangan di hutan lindung semestinya hanya diperbolehkan bagi pertambangan dengan pola bawah tanah dengan larangan mengakibatkan turunnya permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok Kawasan Hutan secara permanen, dan/ atau terjadinya kerusakan akuifer air tanah. Namun, diberikan pengecualian kepada pertambangan yang dalam dokumen lingkungannya telah dikaji bahwa akan berdampak pada penurunan permukaan tanah, perubahan fungsi pokok Kawasan Hutan secara permanen, atau gangguan akuifer air tanah yang dilengkapi dengan upaya untuk meminimalisasi dampak dimaksud.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menimbulkan kebingungan karena jika disimpulkan, Pasal 91 berarti membuka kesempatan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan pertambangan terbuka di hutan lindung selama ia memiliki dokumen lingkungan yang diperlukan. Perlu diingat kembali bahwa kegiatan pertambangan terbuka melibatkan aktivitas-aktivitas yang dapat mengubah fungsi ekosistem hutan secara permanen. Sehingga, apalah esensi menetapkan suatu kawasan sebagai hutan lindung kalau pada akhirnya akan berujung pada kerusakan kelestariannya sendiri?
Atas pertimbangan perubahan-perubahan oleh PP 23/2021, apabila pengaturannya dibiarkan begitu saja maka implementasinya akan berpotensi besar menciptakan deforestasi, sedimentasi, sampai lubang-lubang besar bekas proyek yang berdampak berbahaya terhadap lingkungan hidup bahkan masyarakat setempat. Ancaman bagi lingkungan dapat berupa timbulnya tanah longsor, penurunan kualitas air, maupun degradasi kesuburan lahan. Lebih lanjut, masyarakat setempat adalah aktor paling rentan karena merekalah yang paling merasakan dampak dari kerusakannya. Sumber mata pencaharian, kesehatan, hingga nyawa mereka pun menjadi taruhan dalam situasi ini.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, apakah dapat dikatakan bahwa ketentuan PP 23/2021 mengarah kepada pelanggaran HAM atas lingkungan hidup di Kawasan Hutan terutama bagi masyarakat setempat? Penulis berargumen hal tersebut mungkin terjadi apabila tidak dilakukan evaluasi pada PP 23/2021. Hak setiap individu atas taraf hidup layak dari aspek lingkungan yang ia tempati seakan-akan terbengkalai begitu saja, apalagi hak masyarakat adat sebagai masyarakat setempat yang biasanya memiliki posisi tawar rendah dan seringkali tidak dilibatkan dalam proses perumusan peraturan atau kebijakan.
Memang, Pemerintah berhak mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada di wilayah kedaulatannya. Kendati demikian, pengelolaan dan pemanfaatan itu harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta kepentingan masyarakat umum. Jangan sampai, pendapatan maksimum malah menjadi tujuan utama mengalahkan kedua aspek sebelumnya. Pemerintah sebagai pihak pemegang tanggung jawab tertinggi atas HAM warganya seharusnya dapat menjamin penghormatan dan penegakkannya. Namun tampaknya mereka masih mengedepankan pemasukan negara serta percepatan ekonomi dibandingkan memenuhi tanggung jawab tersebut.
ADVERTISEMENT