Project Arwana

Sorotan KPI ke YouTube dan Netflix

Haris Firmansyah
Penulis buku 'Petualangan Seperempat Abad'.
19 Agustus 2019 16:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sorotan KPI. Foto: Dok: Bintan Insani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sorotan KPI. Foto: Dok: Bintan Insani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mencuat rumor bahwa NET TV hendak mem-PHK massal karyawan, lantaran mereka merasa tak mampu bersaing di udara dengan stasiun televisi swasta lainnya. Di media sosial, kabar tak menyenangkan ini lumayan heboh dan bikin netizen (bukan sebutan penonton NET) menjadi prihatin.
ADVERTISEMENT
Namun, netizen hanya bisa prihatin. Aslinya, mereka yang prihatin juga kayaknya enggak nonton NET di TV, deh.
Setelah dikonfirmasi, ternyata pihak NET TV tidak berniat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara paksa dengan para karyawan. Yang ada, NET TV meminta kepada karyawan untuk bantu meringankan beban perusahaan dengan cara mengundurkan diri secara sukarela.
Jadi, nantinya NET enggak perlu mem-PHK dan memberikan pesangon. Namun, katanya sih, NET bakalan kasih benefit yang menarik kepada karyawan yang resign. Enggak tahu deh, benefit-nya apa. Mungkin berbentuk paklaring untuk bekal mencairkan dana BPJS Ketenagakerjaan?
Padahal, NET TV sebagai stasiun televisi termuda di Tanah Air sudah dikenal jempolan dengan deretan program yang berkualitas. Ditambah Wishnutama yang sudah membawa Trans TV menuju kejayaan pun sempat memegang kendali NET TV.
ADVERTISEMENT
Namun, kok penontonnya sedikit? Menurut rating AC Nielsen, NET TV menempati posisi buncit. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Awak media NET biasa menyapa pemirsanya dengan sebutan "Good People". Ke mana para penontonnya yang "Good People" itu sampai kalah jumlah dengan penonton channel sebelah? Apakah memang zaman sekarang populasi orang baik sudah mulai langka?
Bisa jadi orang-orang lebih memilih jadi orang pintar daripada sekadar baik. Maka, mereka memutuskan nonton channel YouTube Deddy Corbuzier, lalu berevolusi jadi "Smart People".
Di era informatika seperti saat ini, saingan stasiun televisi memang bukan hanya stasiun televisi lain. Stasiun televisi juga harus bersaing dengan ribuan channel di YouTube dan aplikasi berlangganan penyedia layanan media streaming digital seperti Netflix.
ADVERTISEMENT
Mungkin untuk sekarang, daripada bikin channel di televisi, lebih menguntungkan bikin channel di YouTube. Dengan modal santai, konten kreator di YouTube bisa dapat pemasukan dari adsense dan duit sponsor pun melimpah.
Sementara stasiun televisi seperti NET TV harus menggaji banyak karyawan setiap bulannya. Terus, dituntut membaca selera penonton di rumah. Di sisi lain, harus komitmen dengan standar kualitas yang telah ditetapkan para pendirinya.
Sisi baiknya, NET TV tetap setia pada nilai, bukan nominal. NET TV memilih jalan pahit dengan efisiensi biaya, bukan ikutan jadi gila kayak stasiun televisi lainnya demi cuan. Kalau NET TV sampai meninggalkan mutu untuk mengikuti pasar, sudah pasti program-programnya bakalan rusak.
Misal, 'Tetangga Masa Gitu?' jadi kayak sinetron kacangan dan berubah judul jadi 'Seyeng Masa Gitu?'. Program 'The Comment' jadi acara gosip dengan judul baru: 'The Comel'. Terakhir, 'Ini Talkshow' diformat ulang jadi talkshow semi sinetron religi, judulnya: 'Ini Azab'.
ADVERTISEMENT
Industri pertelevisian di Tanah Air masih berpatokan pada kuantitas rating dan sharing, bukan kualitas program. Hal ini diamini oleh para pengiklan yang bersedia menggelontorkan banyak dananya untuk program dan stasiun televisi yang merajai rating.
Dari situlah, stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan tontonan yang disukai oleh para pemirsa yang budiman. Terlepas kualitas tayangannya mencerahkan atau tidak, itu bukan tanggung jawab stasiun televisi. Urusan moral biar KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang urus.
Jika AC Nielsen tidak bisa membuat industrialis televisi tergugah dan bergairah memberikan tontonan yang berkualitas, maka harapannya tinggal di tangan para komisioner KPI. Sebagai wasit di ranah penyiaran, KPI punya peran untuk mengatur kualitas tayangan televisi.
Masyarakat butuh KPI yang tidak hanya fokus bikin blur bikini seekor tupai di kartun 'Spongebob', melainkan KPI yang bisa menentukan standar kualitas sebuah tontonan dengan jelas. Lalu standar itu wajib diikuti oleh pelaku industri televisi. Jika masih ada stasiun televisi yang nakal, surati dengan teguran. Jangan tebang pilih.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, pihak TV punya tuntutan untuk mempersembahkan sebuah tontonan. Sehingga, pemirsa mendapatkan tontonan yang bisa jadi tuntunan.
Namun, ketika di ranah pertelevisian masih banyak PR begitu, KPI malah sibuk dengan rencana ingin mengawasi konten YouTube dan Netflix. Iya sih, saat ini YouTube dan Netflix sedang digandrungi anak muda. Keduanya tidak melewati lembaga sensor sebelum ditayangkan. Ketika ditayangkan pun tidak dimonitor oleh sebuah badan pengawasan yang resmi.
Namun, Netflix sendiri sudah menjaring dan menyaring penontonnya dengan syarat berlangganan yang eksklusif. Jadi, penonton Netflix harusnya sudah dewasa (18+) karena memiliki kartu kredit yang otomatis sudah punya KTP. (Enggak tahu deh kalau penonton Netflix versi bajakan). Kalau YouTube, bukankah selama ini sudah jadi jatahnya KPAI? Soalnya penonton YouTube kebanyakan masih anak-anak.
ADVERTISEMENT
Jika adu kualitas, NET TV bisa jadi lawan yang tangguh untuk stasiun televisi lain yang jadi kompetitor. Kalau semua channel berlomba-lomba menyajikan tayangan yang edukatif dan inspiratif, penonton tidak punya pilihan lain. Penonton akan ikut dicerdaskan bersama tayangan yang mendidik.
Nah, kalau tayangan TV sudah bagus, baru deh KPI boleh merambah untuk mengawasi konten YouTube dan Netflix. Jadi, untuk sekarang, KPI fokus menyelamatkan stasiun televisi berkualitas dari perang program 'sampah' dan sinetron yang penuh azab.
Di sisi lain, milenial yang jadi target penonton NET TV nyatanya lebih suka menonton YouTube daripada TV. Kalangan masyarakat menengah yang uangnya berlebih, memilih berlangganan Netflix. Kalaupun nonton program NET TV seperti '86' dan 'Tonight Show,' itu nontonnya di YouTube.
ADVERTISEMENT
Menurut lagu Young Lex, YouTube lebih dari TV. Namun, Young Lex meralat di lagu terbarunya: TV lebih dari YouTube, kalau YouTubers di TV.
Jangan-jangan setelah banyak karyawan cabut, NET TV berniat rekrut banyak YouTubers sebagai talent, nih. Wah wah wah. Biar bisa bersaing dengan YouTube merebut hati kawula muda. Boleh aja sih, asal bukan Young Lex, ya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten