Sepenggal Kisah Pendakian Semeru Medio 1830-1930 (Bagian 3)

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kawasan Ranu Kumbolo dari puncak yang kini dinamakan tanjakan cinta. Foto; Harley Sastha (2013)
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan Ranu Kumbolo dari puncak yang kini dinamakan tanjakan cinta. Foto; Harley Sastha (2013)
ADVERTISEMENT
Orang Eropa lainnya yang pernah mencapai puncak Semeru di masa lalu adalah Mr. C.W. Wormer. Mengikuti jejak Junghuhn–orang yang dikaguminya– antara 1910-1925, ia pun mendaki 30 gunung dengan ketinggian di atas 2.000 mdpl di Jawa.
ADVERTISEMENT
Kemudian, catatan perjalanan pendakiannya, ia bukukan dengan tulisan-tulisannya yang indah dan diterbitkan di Belanda untuk pertama kalinya pada 1928.
Telaga birunya terbentang tanpa gerakan. Sesekali seekor itik liar mengusik permukaan airnya yang licin, kala dia menyelam dalam-dalam dan menghilang. Sampai jauh malam, saya melihatnya berenang di danau dan sesekali terdengar suaranya mengalun di atas permukaan air.
Di seberang sana, batang-batang kayu besar telah roboh dan terendam sebagian di dalam air. Entah, sudah berapa tahun batang-batang kayu tersebut membusuk di sana. Diantara dedaunan yang hijau yang lebat dari pepohonan yang tumbuh tinggi, yang menutupi lereng-lereng gunung di sekitar sini, suara angin malam terdengar berdesis.
Sang Rembulan muncul. Setelah sinar matahari, yang dengan tajam menampakkan bentuk-bentuk dari hutan dan telaganya, sinar rembulan mengaburkan semua keadaan.Sekarang puncak-puncak pepohonan tidak bergerak dan nampak samar-samar dilangit yang cerah. Di atas punggung-punggung gunung kelap-kelip bintang bergelantungan. Di muka air telaga Sang Rembulan mulai memainkan sinar peraknya, menerangi bivak kami. Suatu malam tropik yang tenang mengendap diatas telaga gunung, yang sudah berabad-abad terlindung oleh dinding-dinding gunung, dan jarang sekali terganggu ketenangan tidurnya oleh kegaduhan manusia.
ADVERTISEMENT
Demikian tulis Womser dalam bukunya, tentang suasana di sekitar Danau Ranu Kumbolo. Terdengar sangat tenang dan sunyi.
Sebenarnya, suasana tenang dan sunyi di Ranu Kumbolo, seperti yang dideskripsikan oleh Wormser, hingga akhir 1990-an masih dapat dirasakan. Beberapa kali melakukan pendakian di masa itu, saya masih dapat melihat sekelompok Belibis berenang-renang dan bermain-main di permukaan air danau. Kesunyian tersebut masih sangat terasa. Hawa dingin terasa hingga menusuk tulang. Sewaktu-waktu, suara lengkingan menjangan masih dapat terdengar.
Kawasan Ranu Kumbolo yang terlihat asri dan menenangkan. Foto: Harley Sastha (2013
Gambaran Ranu Kumbolo pada 1995. Foto: Harley Sastha
Gambaran Ranu Kumbolo pada 1900-an. Foto: Koleksi Tropen Museum Belanda.
Berbeda dengan saat ini, hampir tidak mungkin untuk dapat kembali merasakan suasana seperti itu. Setiap akhir pekan dan libur panjang, Semeru selalu dipenuhi pelancong. Hari-hari biasa pun demikian, walaupun tidak sebanyak hari libur. Sepertinya, suasana yang mendekati, baru dapat dirasakan ketika, kawasan ini ditutup sementara untuk pendakian oleh pengelola Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
ADVERTISEMENT
Perjalanana Mr. Wormser di Semeru
Wilayah Tosari, Pasuruan, menjadi titik awal perjalanan Wormser menuju puncak Mahameru. Ia bermalam di Hotel Karia, Tosari. Di sana dirinya bertemu dengan Neuman, juara ski eropa, pelukis sekaligus pendaki gunung berkebangsaan Jerman.
Kemudian, Wormser & Neuman berangkat bersama menuju Desa Ranu Pani, dengan waktu tempuh saat itu sekitar 6 jam, menggunakan kuda. Lalu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo denga didampingi beberapa teanga porter.
Dari Gunung Ider (±2500 mdpl), kemudian rombongan Wormser melewati Gunung Ayeg-Ayeg (±2800 mdpl), sebelum akhirnya tiba di Ranu Kumbolo.
Mereka memulai pendakian melalui belakang peternakan di Desa Ranu Pani. Medan yang dilaluinya langsung menanjak terjal melewati Ayeg-Ayeg. Menurut Wormser, mereka mendaki sekitar 1,5 jam dengan jarak 700 meter dari Ranu Pani menuju Ayeg-Ayeg, sebelum turun 500 meter, menuju Ranu Kumbolo.
Savana Oro-Oro Ombo yang memikat. Foto: Harley Sastha (2013)
Saat melalui lembah tinggi sempit yang dipenuhi Edelweis, rombongan sempat melihat kawanan kijang dikejar anjing liar. Selain itu, lembah dikatakannya sebagai tempat Harimau berburu celeng liar di Gunung Semeru. Tidak heran, jika di sana banyak sekali ditemukan kerangka-kerangka celeng & satwa lain.
ADVERTISEMENT
Tiba di Ranu Kumbulo, Wormser mendirikan camp untuk bermalam sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak Mahameru.
Udara malam itu sangat dingin, Wormser mengatakan, dirinya mengenakan jaket, sweater & rompi rajut untuk melawannya. Kain kanvas dan selimut sebagai alas tidur, serta dua selimut tambahan untuk melindungi tubuh.
Mereka tidur di dalam bivak, di sisi Ranu Kumbolo. Hal yang menarik, sampai jauh malam, Wormser bisa melihat belibis bermain-main di air Ranu Kumbulo.
Saat itu pendakian dilakukan ketika bulan purnama, di mana sinarnya memantul di atas Ranu Kumbolo. Hal ini membuat Wormser benar-benar berada di antara kemewahan gunung-gunung. Ia merasakan bagaimana bukit hutan yang hitam seperti menyimpan rahasia alam Semeru yang luar biasa. Di atas tanah rerumputan di Ranu Kumbolo, cahaya bulan melukiskan bentuk pohon, daun & cabang di tepian ketenangan air danau.
ADVERTISEMENT
Tiba tengah malam, Wormser dan rombongannya, meninggalkan arel Ranu Kumbolo, melalui tanjakan, yang kini dikenal tanjakan cinta. Sesekali terdengar lengkingan burung hantu, menambah cekamnya kesunyian hutan rimba.
Kemudian melalui Oro-oro Ombo rombongan sesekali istirahat untuk melepas lelah, lalu melanjutkan perjalanan melalui Kalimati, menanjak menuju hutan Raja Pada (Arca Pada)–terdapat dua arca Hindu kembar. Arca kembar ini dipercaya masyarakat Hindu Tengger telah menjaga kerucut abu Gunung Semeru sejak berabad lalu.
Pasir di puncak Semeru memang menjadi tantangan berat para pendaki sejak masa lampau hingga kini. Satu langkah naik, setengah langkah mundur atau dua langkah turun. Itulah yang dirasakan rombongan Wormser saat ke puncak Semeru. Sebagaimana juga dirasakan oleh Junghuhn, seperti diungkapkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa jam berjuang mendaki melalui pasir lereng puncak Semeru akhirnya Wormser tiba di titik tertinggi Pulau Jawa, 3676 meter.
Sebagian landkap alam Semeru terlihat dari lereng berpasir menuju puncak Mahameru. Foto: Harley Sastha (2013).
Itulah sekilas cerita tentang Semeru antara 1830 – 1930. Kondisinya tentu jauh berbeda dengan sekarang. Saat ini sangat sulit bertemu dengan hewan liar seperti belibis dan kijang. Meningkatnya aktivitas manusia di kawasan Semeru, turut berkontribusi terhadap semakin jarangnya satwa liar terlihat di kawasan Semeru.
Yuk kita jaga bersama Semeru agar tetap terus terjaga kelestariannya dengan melakukan aktivitas di dalamnya secara cerdas dan bijaksana.