Redemption Song dan Pembebasan

harsa permata
Alumni Filsafat UGM, pernah mengajar sebagai guru bahasa Indonesia, bahasa Arab, Agama Islam di Sekolah Jubilee, Jakarta. Sekarang menjadi Dosen Tetap di Universitas, Universal, Batam
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2021 15:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari harsa permata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Redemption Song dan Pembebasan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bebaskanlah dirimu dari mental budak, begitu kira-kira kata Bung Bob Marley, puluhan tahun yang lalu sebelum beliau wafat. Sebuah lagu yang menggugah, baik dari segi nada maupun lirik. Saya merasakannya ketika pertama kali mendengarkannya, sesaat setelah Soeharto tumbang. Di sebuah kota, yang saya tinggalkan 16 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Maknanya sebenarnya cukup dalam, berkaitan dengan penindasan manusia atas manusia di muka bumi ini. Hal yang telah dilawan habis-habisan oleh para pendiri republik ini. Dari mulai Bung Karno sampai Tan Malaka.
Kalau mau membebaskan diri dari jerat penindasan manusia atas manusia, maka yang pertama kali harus dibebaskan adalah pikiran atau jiwa kita sendiri. Untuk itu, kata Bung Bob Marley, hanya kita sendirilah yang bisa membebaskan pikiran kita.
Pada masa sekarang ini, pesan Bung Bob sebenarnya sangat relevan. Terutama untuk Indonesia, yang sampai saat sekarang ini masih belum bebas dari cengkeraman imperialis.
Contoh terakhir adalah persoalan Freeport, yang masih hangat. Lucunya sekarang, malah berkembang jadi persoalan pencatutan nama, yang mempersalahkan dua tokoh berinisial SN dan MR. Yang melaporkan ke MKD adalah SS, yang merekam percakapan, yang katanya berisi pencatutan nama itu, adalah petinggi Freeport yang berinisial MS.
ADVERTISEMENT
Padahal persoalan utamanya, adalah penguasaan atas sumber daya alam, yang dalam hal ini adalah tambang emas bernama Freeport. Logikanya, jika kita mau bebas dari penjajahan, maka seharusnya tambang emas, yang berharga jutaan trilyun rupiah itu kita miliki sendiri, keuntungannya kita nikmati sendiri, hasil dari kita olah sendiri. Ini yang dinamakan nasionalisasi.
Kenyataannya, tambang emas jutaan trilyun itu, yang mengelola dan menikmati keuntungannya adalah PT. Freeport Indonesia, yang berafiliasi pada perusahaan Amerika yang bernama Freeport-McMoran.
Yang bikin tambah lucu, adalah jika kemudian nasionalisasi Freeport hanyalah sebuah khayalan dalam bentuk wacana dengan isi mimpi-mimpi indah bersemangat nasionalisme.
Kembali pada Bung Bob Marley, pembebasan memang diawali dari pikiran kita, tetapi bukan berarti hanya terhenti dalam pikiran, tanpa tindakan nyata.
ADVERTISEMENT
Saya salut luar biasa, jika Presiden Jokowi benar-benar berani, sebagaimana diistilahkan SN dan MR sebagai "Koppig", atau keras kepala, dengan tindakan kongkrit menolak perpanjangan kontrak Freeport untuk mengelola tambang emas jutaan trilyunan rupiah itu.
Jika itu benar-benar terjadi, maka trisakti dan nawa cita, yang dikoar-koarkan pada waktu kampanye pilpres dulu bukanlah ilusi. Terlebih lagi, kalau itu juga diberlakukan untuk seluruh kekayaan alam Indonesia. Dalam artian, nasionalisasi terhadap seluruh tambang di wilayah Indonesia. Kita olah sendiri, dan hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagai perwujudan sila kelima Pancasila, yang sampai sekarang masih berupa mimpi Indah.
Masalahnya sekarang apakah Presiden Jokowi berani untuk "koppig" pada imperialis? Jangan sampai kemudian yang terjadi adalah kita rakyat Indonesia mengilusi diri kita sendiri bahwa kita sekarang dipimpin oleh presiden yang tegas dan keras terhadap imperialis, sementara dalam kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, jika seperti ini, maka kita masih belumlah "bebas dari mental budak", sebagaimana seruan Bung Bob Marley puluhan tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
(Bob Marley - Redemption Song)
Suatu malam di sebuah tempat