Antara Proyek IKN dan Edy Mulyadi

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021
Konten dari Pengguna
30 Januari 2022 15:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Injustice  (Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Injustice (Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Edy Mulyadi, seorang aktivis yang juga sebagai seorang wartawan senior, melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap semena-mena. Kritikan itu disampaikan pada sebuah diskusi dengan tema “Tolak Pindah Ibukota Negara, Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat”, yang digelar oleh Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU) yang telah menggegerkan media sosial.
Jika dilihat dari sudut pandang aktivis, kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap kebijakan pemeritnah yang dianggap absurd dan irasional. Bahwa proyek pembangunan Ibu Kota Negara baru, dianggap tidak menjawab kebutuhan serta tidak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia. Sebaliknya, proyek tersebut justru menjadi beban besar bagi negara.
Persoalan menjadi semakin menarik setelahditemukan berbagai permasalahan lingkungan yang sangat mengkhawatirkan. Yaitu kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah koorporasi, dan oknum-oknum yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Kiranya itulah poin yang paling penting dari diskusi yang melibatkan Edy Mulyadi pada tanggal 22 Januari 2022 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan video yang beredar, Edy Mulyadi terlihat sedang menyampaikan informasi berkaitan dengan skema pembiayaan Ibu Kota Negara Baru, sebagaimana telah banyak diberitakan berbagai media massa. Dalam menyikapi skema yang tidak masuk akal tersebut, Edy Mulyadi menjelaskan pendapatnya, dengan menggunakan ungkapan metafora yaitu “tempat jin buang anak”. Ungkapan itu digunakan untuk menunjukkan keberadaan sebuah tempat yang jauh dan sepi, tanpa menyebutkan nama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selanjutnya, Edy Mulyadi juga menguraikan logika pasar dari kacamata pebisnis dengan menggunakan kalimat “kalau pasarnya kuntil anak, gendruwo ngapain gue bangun disana?”. Sejatinya kalimat itu adalah gambaran dari ketiadaan atau sepinya pembeli.
Meskipun begitu, tampaknya tindakan lapor-melapor memang telah menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan. Banyak orang mudah tersinggung dan merasa terhina dengan orang lain yang sedang berdialektika. Tetapi mereka tidak merasa dirugikan oleh tindakan-tindakan pemerintah atau elit politik, yang merusak ruang dimana suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) itu eksis dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Hukum memang harus ditegakkan, tetapi bukan untuk alasan yang absurd dan irasional. Seandainya lebih dari setengah penduduk negeri ini melaporkan tindakan seseorang yang tidak cukup bukti melanggar hukum, maka hukum harus tetap tegak. Hukum harus berpihak kepada yang benar, bukan berpihak kepada yang banyak.
Penegakan hukum sejatinya tidak terjadi di peradilan saja, melainkan harus dimulai dari semua tahapan. Tahap pertama adalah pada saat perkara dilaporkan. Sebagai penegak hukum, Polisi tidak dibenarkan menolak laporan dari masyarakat, tetapi polisi memiliki hak untuk menilai apakah sebuah aduan itu layak dibuatkan laporan atau tidak. Pengaturan itu terdapat di dalam Pasal 3 ayat (3) huruf (b), Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menugaskan penyidik, untuk melakukan kajian awal guna menilai layak atau tidaknya sebuah aduan dibuatkan laporan polisi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari bagaimana Polisi melakukan kajian awal terhadap pelaporan yang melibatkan Edy Mulyadi, yang pasti di luar sana publik bertanya-tanya, mengapa kasus ini langsung ditindak dengan cepat, sementara banyak kasus lainnya seperti pelaporan terhadap Ade Armando, Denny Siregar, Permadi Arya, Victor Laiskodat mandek tanpa ada kejelasan dan tindak lanjut.
Pada akhirnya, fakta tersebut melahirkan persepsi bahwa hukum semakin tajam ke kiri, tetapi tumpul ke kanan, dalam arti bahwa hukum hanya berlaku untuk orang, atau kelompok orang yang kritis terhadap pemerintah. Proses penegakan hukum yang seperti itu, tentu tidak akan menjadikan hukum semakin tegak, sebaliknya hukum akan semakin runtuh.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tampaknya telah menjadi bagian dari titik balik dalam relasi antara negara dan warganya. Sebuah pengaturan yang lahir dari hilangnya kepercayaan aparat terhadap rakyat yang diurusnya. Pengawasan yang lekat, dan kehendak menindak dikedepankan, daripada mengutamakan pelayanan yang memuaskan, serta upaya-upaya untuk merajut persatuan.
ADVERTISEMENT
Maka, dalam kondisi yang demikian sesungguhnya juga terselip peringatan bagi kita yang banyak, bahwa kealpaan yang spontan maupun yang terencana di ruang publik, hanya akan melahirkan aturan baru yang membelenggu. Semua itu menandakan bahwa tidak semua Undang-Undang dapat digunakan untuk melindungi rakyat, sebaliknya justru menjadi tameng bagi penguasa, untuk berlindung dari sesuatu yang lahir dari rakyatnya.