Pancasila Belum Final (Membaca Tulisan Frans Magnis dan Hendropriyono)

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021
Konten dari Pengguna
2 Februari 2022 18:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Debat (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Debat (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pancasila dikatakan sebagai sesuatu yang telah final, tetapi faktanya sampai dengan saat ini masih terus diperdebatkan. Perdebatan yang terjadi tidak hanya soal penerapan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi masih seputar kedudukan Pancasila itu sendiri, sebagai ideologi atau sebagai falsafah. Tulisan Frans Magnis Suseno berjudul “Tantangan Pancasila Pasca-Orde Baru”, dan tulisan Hendro Priyono berjudul “Pancasila Bukan Ideologi”, adalah bukti bahwa Pancasila masih belum final dan hal itu menggelitik saya untuk menanggapinya.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan pandangan antara Frans, dengan Hendro Priyono. Persamaannya adalah bahwa keduanya menyatakan bahwa Pancasila bukanlah Ideologi. Tetapi dalam proses penalarannya, Hendropriyono mengatakan bahwa pemahaman Pancasila sebagai ideologi itu sudah terjadi sejak kelahirannya. Sementara Frans menyatakan bahwa Orde Baru adalah pihak yang membuat Pancasila itu sebagai ideologi. Tetapi Frans tidak secara tegas menyatakan Pancasila sebagai falsafah, Frans menamainya sebagai kebersamaan nilai-nilai yang mendasari persatuan bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, terdapat banyak sekali sebutan untuk Pancasila, mulai dari falsafah, ideologi, pandangan hidup bangsa, dasar negara, jiwa bangsa, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber hukum dan sebagainya. Ironisnya, jarang sekali ada orang yang merasa aneh dengan berbagai perbedaan itu. Padahal, setiap sebutan itu memiliki makna dan konsekuensi yang berbeda-beda, khususnya pada saat Pancasila diterapkan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Soeprapto (1996), falsafah diartikan sebagai suatu perenungan, atau pemikiran secara mendalam, atau refleksi terhadap keanekaragaman pengalaman manusia. Adapun ideologi menurut Destutt de Tracy adalah ilmu tentang ide (science of ideas), ide-ide tersusun sedemikian rupa, sehingga menjadi suatu mahzab tersendiri untuk membangun masyarakat.
Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa ideologi sebenarnya bersumber pada suatu sistem falsafah, dan merupakan pelaksanaan sistem falsafah. Seperti halnya komunisme yang bersumber pada materialisme, dan kemudian melahirkan banyak paham. Demikian pula dengan ideologi-ideologi lain di dunia. Tampaknya hanya ada di Indonesia, sebuah sistem falsafah juga dapat berperan dan berfungsi sebagai ideologi, demikian pula sebaliknya.
Selanjutnya, dari uraian di atas juga dapat ditemukan adanya perbedaan antara falsafah dengan ideologi. Falsafah memiliki sifat tetap dan harus diyakini kebenarannya yang tidak boleh diganggu gugat, sementara ideologi mengandung nilai-nilai yang masih bisa digali dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, atau memiliki sifat yang terbuka. Ironisnya, dalam tulisan Hendropriyono, justru karena sifatnya yang terbuka itulah Pancasila dianggap sebagai falsafah.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan pemikiran Frans tentang Pancasila yang hanya sebagai kebersamaan nilai-nilai yang mendasari persatuan bangsa?. Jawaban atas pertanyaan ini biar dijawab oleh Frans sendiri. Tulisan ini hanya akan berfokus apakah Pancasila sebagai falsafah atau sebagai ideologi.

UUD 1945 Adalah Ideologi

Secara historis, Bangsa Indonesia terlahir dari kearifan budaya nusantara dalam rangka untuk menemukan persamaan ditengah-tengah banyaknya perbedaanlewat momentum Sumpah Pemuda. Momentum itu bukan hanya sebatas perkumpulan, tetapi memiliki tujuan dan roadmaps yang dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwan setelahnya.
Tujuannya adalah untuk membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
ADVERTISEMENT
Kedudukan Pancasila di dalam susunan Preambule UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, adalah sebagai ukuran dari pencapaian negara yang berkedaulatan rakyat. Mulai dari sila pertama sampai berakhir pada sila kelima yaitu tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tataran ini, Pancasila adalah merupakan hasil dari objektifitasi dari kumpulan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Nilai yang terangkum dalam konsep religiusitas, humanitas dan juga souverenitas itu sejatinya telah lama sekali berkembang di semua suku-suku budaya bangsa, seperti adanya keyakinan terhadap Tuhan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai-nilai musyawarah dan keadailan sosial. Hal itulah yang menjadi dasar kalimat bahwa Pancasila merupakan kristalisasi budaya bangsa. Kemudian, agar nilai-nilai itu tidak menjadi asing bagi bangsa Indonesia, maka dilakukan proses diobjektifikasi yang pada gilirannya menjadi sebuah pemikiran falsafah.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah dilakukan proses objektifikasi, Pancasila akan tetap menjadi asing bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari kumpulan suku-suku bangsa. Untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian dari subjektifitas bangsa Indonesia, maka Pancasila harus melewati tahap internalisasi.
Maka Undang-Undang Dasar Negara Tahun1945 adalah hasil dari proses internalisasi tersebut. Maka UUD 1945 dapat dikatakan sebagai ideologi bagi Bangsa Indonesia, dan merupakan penjelasan rasional tentang “sejarah” dan mampu menumbuhkan imajinasi yang masuk akal tentang masa depan.
Keberadaan UUD 1945 membawa telah menjadikan Pancasila lebih praksis, dapat menjelaskan dan menjawab persoalan yang dihadapi bangsa. Dengan kata lain, UUD adalah merupakan perekat agar Pancasila tidak terputus dari kehidupan berbangsa dan bernegara serta agar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak kehilangan arah. Maka, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 adalah pelaksanaan daripada falsafah Pancasila.
ADVERTISEMENT

BPIP Mengerdilkan Pancasila

Terlepas dari berbagai pemikiran soal Pancasila, Pemerintah Indonesia saat ini telah memperlakukan Pancasila layaknya Orde baru, yaitu dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi, bahkan berupaya untuk melembagakan melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Pemerintah telah menjadikan Pancasila sebagai apologia pro vita sua, sebuah pembelaan atau pembenaran tertulis untuk keyakinan atau perilaku seseorang yang telah memakan banyak korban.
Setiap bentuk Gerakan yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah, dianggap sebagai gerakan yang menentang dan berlawanan dengan Pancasila. Kenyataan itu bertentangan dengan yang dikatakan oleh Frans, bahwa Pancasila sejatinya adalah payung di bawahnya segala macam ideologi, dan juga berbeda dengan pendapat Hendropriyono yang secara tegas mengatakan Pancasila bukan ideologi.
Upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi makin jelas ketika pemerintah Bersama DPR-RI memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Setelah menjadi Undang-Undang, pengaturan itu akan dijadikan dasar untuk membentuk suatu badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila. Badan tersebut kemudian melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Apa yang dilakukan oleh pemerintah itu justru sangat membahayakan keragaman dan toleransi antar masyarakat, serta membahayakan interaksi yang seimbang antara rakyat dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tampaknya semua itu dilakukan hanya untuk makin menguatkan Pancasila sebagai apologia pro vita sua. Terlepas dari itu semua, adanya perbedaan pendapat ini adalah bukti, bahwa Pancasila belum final. Hal ini adalah tugas paling berat bagi Bangsa Indonesia ke depan.