Mrs Celine dan Asrama Misterius (Part 1)

Hasna Ulfa
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim
Konten dari Pengguna
19 Juli 2021 10:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasna Ulfa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bangunan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bangunan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mrs Celine dan Asrama Misterius (Part 1)
Sudah seminggu aku tinggal di kota J, suhu kota hari ini hanya 9 derajat celsius. Pantas saja kaki ini terasa linu. Ah usia tua memang begitu, seharusnya aku tidak perlu heran. Lagi pula dokter selalu mewanti-wanti agar aku selalu minum obat, makan sehat, dan memberiku jadwal istimewa untuk sekadar terapi dan konsultasi.
ADVERTISEMENT
Kuambil ponsel pemberian anakku, aku akan memintanya untuk mengantarku mengunjungi makam Kei. Semoga saja dia tidak ada kerjaan pagi ini. Seharusnya tidak, dia sudah berjanji akan membawaku menemuinya. Dia anak yang baik, selalu menjadikanku prioritas utama. Semoga Tuhan mendatangkan jodoh terbaik untuk Sam, putraku yang terakhir.
“Ma, mobil sudah siap!” Gayanya bak artis Hollywood, dengan kaca mata hitam bertepi perak, Sam melambaikan tangan memintaku segera naik. Dari dulu dia tidak berubah, masih saja suka berteriak, suaranya yang nyaring kerap membuatku rindu. Aku tersenyum oleh tingkahnya. Di mataku, Sam masih putra kecilku yang tak kunjung dewasa, meski kini ia sudah menjadi seorang pengacara kondang di mana-mana.
***
PEMAKAMAN BOUGENVILE
Suasananya damai sekali. Kicauan burung seolah menjadi tanda bahwa pertemuan kita direstui. Langit masih saja cerah. Bunga-bunga makam mekar merekah, meski suhu dinginnya tak berubah.
ADVERTISEMENT
“Apa kabar, Kei? Apa kau masih mengingatku? Ah, orang sepertimu, mana mungkin lupa dengan sahabatnya,” aku tersenyum memandangi pusaranya sembari meletakkan setangkai lili kesukaannya. “Kau tahu, Kei? Sam, anakku, selalu penasaran dengan petualangan kita di asrama berhantu lima puluh tahun lalu,”
Berkali-kali dia mendesakku untuk bercerita. Kali ini, saat aku kembali ke kota J, aku sudah berniat mengunjungimu sekaligus meminta restumu untuk menceritakan semuanya pada Sam. Dia seorang pengacara dan penulis. Aku harap kisah kita bisa memberi pelajaran untuk semua orang yang membaca. Semoga saja.
***
Gelak tawa diiringi suara sendok-garpu para siswi meramaikan suasana sarapan. Kebisingannya menambah semangat para koki untuk menyiapkan makanan terbaik, demikian juga pelayan yang terlihat sibuk ke sana kemari. Ruangan dengan luas 20 meter persegi memang jadi tempat favorit untuk sekadar melepas lapar sambil kadang-kadang bercerita. Entah apa yang mereka ceritakan, fakta atau dusta aku tidak peduli. Di pikiranku sekarang, hanya berbaris antre untuk memesan seporsi hidangan.
ADVERTISEMENT
Nyaris pelayan salah menyajikan pesananku. Untung saja aku cepat meneriaki, kalau tidak, aku akan sarapan roti kering dengan kuah kari yang dicampur keju. Membayangkan saja, aku sudah tidak nafsu makan.
Dengan nampan yang sudah kuperoleh dari pelayan, aku berjalan mencari tempat yang mungkin saja tidak ada pemiliknya. Ah, di ujung sana, terlihat kursi yang tidak diduduki siapa pun. Aku menempel stiker nama di balik punggung kursi sebagai bukti kalau ada yang mengambilnya tiba-tiba.
“Selamat pagi, Alice, bisakah kau berbagi tempat denganku?” perempuan tinggi bermata sipit dengan alis tebal dan lesung pipi menyapa. Keadaannya sama sepertiku beberapa menit yang lalu; memegang nampan berisi makanan.
“Pagi, Kei, kemarilah! Kita makan bersama,” sekadar basa-basi ringan untuk Kei. Kuharap dia merasa senang.
ADVERTISEMENT
Kei, kakak kelas sekaligus tetangga kamarku. Dia orang paling ramah yang pernah aku kenal. Membantuku membawa barang-barang saat pertama kali aku bergabung di sekolah ini. Bagiku, tindakannya sangat menyenangkan untuk siswi baru sepertiku. Kuharap ia akan terus menjadi Kei yang aku kenal. Selamanya.
“Mrs. Celine memberiku tugas menjaga asrama saat malam perayaan ulang tahun sekolah,” aku membuka percakapan. Semoga setelah ini, suasana tidak lagi canggung. Kei menghentikan gerak sendoknya, juga indra pengecapnya. Ia tampak terkejut dengan ucapanku. Apa Kei tidak setuju? Aku menahan diri menunggu responsnya.
“Lalu, setelah itu, apa yang dikatakan Mrs. Celine?
“Aku harus terjaga, membersihkan setiap kamar kosong, mengecek lorong-lorong, mematikan lampu basecamp, auditorium, dan berkeliling memastikan semuanya aman,”
ADVERTISEMENT
“Ada lagi, Alice?” Dari raut wajahnya, Kei jelas penasaran.
“Aku rasa tidak, Kei,” sembari kulemparkan senyum pada Kei agar suasana tak terlalu kaku. Sekilas Kei menghembuskan napas berat, lalu kembali menyantap roti panggang di hadapannya. Dia hanya makan roti tanpa daging. Dia benci daging, mungkin sedang mengalami semacam trauma. Agaknya Kei tak lagi berselera, pandangannya kosong menatap gelas yang menyisakan dua-pertiga air minum.
“Tapi… Ah, Kei, aku lupa menyebutkan satu tugas lagi,”
“Uhuk!” ia tersedak. Wajahnya kembali serius. Matanya menatapku penuh kekhawatiran. Entah apa yang ia pikirkan. Bahasa tubuhnya mengatakan ada suatu kengerian. Menatap matanya, seolah aku dihujani ribuan pertanyaan yang sebenarnya Kei sudah tau jawabannya. Sementara aku, layaknya siswa baru lainya yang tidak tahu menahu apapun rahasianya.
ADVERTISEMENT
“Apa kau diperintahkan membuka pintu belakang saat api ritual perayaan dipadamkan dan lonceng dibunyikan?” Kei menyelidik. Dia menggenggam erat kedua tanganku. Aku tidak bohong. Tatapannya benar-benar mengkhawatirkanku. Aku sendiri bingung, ada apa ini sebenarnya. Bahkan belum sempat kujawab, Kei sudah tahu jawabannya.
Meski baru seminggu aku mengenal Kei, dia adalah siswi senior yang sangat pandai bermain peran. Bahkan kepala sekolah dengan bangga memberikan Kei mandat untuk memimpin UKM Teater, kurang lebih sudah 3 tahun tak tergantikan. Mungkin saja Kei sedang mengujiku dengan aktingnya. Apa dia tidak tau, kalau aktingnya kali ini norak sekali.
“Alice, aku mohon, kembalilah pada Mrs. Celine. Katakan padanya bahwa kau sedang tidak sehat. Dengan begitu, kau tidak akan pernah mendapat tugas ini,”
ADVERTISEMENT
“Maksudnya?”
“Jika kau terpaksa, jangan kau buka pintunya. Sekeras apapun dia mengetuk, tetaplah di tempat, anggap kau tak mendengar apapun,”
***
Sejak pagi, semua siswi di asrama telah pergi ke sekolah untuk menghadiri perayaan. Tak ada satu siswi pun yang tertinggal. Bahkan sakit pun diwajibkan. Aku seorang diri, oh tidak sendiri, ada 2 petugas keamanan berbadan kekar mengawasiku. Namun sebenarnya ada lagi selain itu. Kei diam-diam tinggal dan menyelinap ke kamarku. Dia meyakinkanku sekali lagi.
“Sungguh, Aku tidak akan membiarkan satu temanku lagi jadi korban,”
Mendengar ucapannya, aku mulai paham ke mana arah bicara Kei. Ada sesuatu di asrama yang sudah berdiri sekitar satu abad. Rupanya pihak asrama pandai menutupi misteri ini dari wartawan dan media. Sekali pun para orang tua tak memedulikannya. Sebenarnya asrama ini didominasi anak-anak yang tidak memiliki keluarga; anak terbuang, anak malang, dan anak yang tidak diharapkan.
ADVERTISEMENT
“Awalnya asrama ini memang didirikan untuk membantu yatim piatu. Tapi, itu dulu. Sekarang semua berbeda. Kepala sekolah sekarang, Mrs. Celine, dia pernah memiliki perusahaan yang hampir bangkrut. Dia akhirnya memutuskan untuk bertindak bodoh; bersekutu dengan iblis. Akibat dari tindakan bodohnya itu, ia lalu mengorbankan beberapa siswi setiap perayaan untuk dijadikan tumbal pesugihan. Dan daging-daging mereka, para siswi yang dijadikan tumbal itu, disajikan sebagai hidangan perayaan. Ah, tentu saja itu sangat menjijikan, Alice. Kau pasti tak pernah mau lagi menyantap hidangan saat malam perayaan,” suaranya terdengar bergetar.
“Jika kau masih tidak percaya padaku, lantas mengapa asrama ini dikelilingi pagar kokoh yang tinggi, gerbang utama yang hanya dibuka setahun sekali, tidak menerima donasi dan menolak dikunjungi? Atau orang aneh seperti pelayan, koki, tukang kebun yang diam-diam selalu mengawasi? Ini bukan sekolah, Alice, tapi medan pemburuan!”
ADVERTISEMENT
Kei kemudian terisak, bercerita seolah dia pemilik sekolah. Namun asumsinya kurasa tidak ada yang salah. Aku pernah mendengar di kelas tentang rumor itu. Satu tahun yang lalu, seorang siswi dikabarkan hilang saat menjaga asrama. Namun salah seorang siswi lagi ada yang menjadi saksi. Paginya, saksi itu tiba-tiba mati. Leher perempuan itu membiru. Orang bilang dia bunuh diri karena tak tahan di-bully. Kejadian itu juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya, tepatnya saat perayaan sekolah berlangsung.
Bersambung…