Polemik Pembatasan dan Larangan Ekspor Global di Masa Pandemi COVID-19

HELDA ERLANI
Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Konten dari Pengguna
2 Januari 2021 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HELDA ERLANI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Helda Erlani
Sejak Desember 2019, COVID-19 telah menjadi pokok pembahasan dunia akibat dampaknya yang sangat destruktif bagi keberlangsungan hidup manusia dalam segala aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai aktor dengan kekuasaan tertinggi, pemerintah negara telah menerapkan berbagai macam kebijakan yang diharapkan mampu menekan potensi merebaknya virus corona dan menjamin keamanan serta kesejahteraan masyarakat; salah satunya adalah pembatasan dan larangan ekspor untuk bahan pangan. Akan tetapi, kebijakan yang bervariasi ini mulai dianggap meresahkan, oleh karena dampaknya bagi negara pengimpor dan juga kawasan, seperti Afrika, yang masih bergumul dengan isu ketahanan pangan bahkan sejak sebelum pandemi terjadi.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyaknya regulasi yang telah diberlakukan, pembatasan dan larangan perdagangan untuk bahan pangan menjadi salah satu kebijakan yang paling krusial dan sensitif, oleh karena 3 (tiga) hal. Pertama, industri pangan terdiri atas banyak aktor dengan jaringan proses yang kompleks, sehingga memerlukan pemetaan yang terarah bagi dampaknya terhadap masing-masing pihak. Kedua, sistem pangan global juga memiliki nilai sebesar US$ 8 triliun atau yang setara dengan sekitar 10% dari PDB global, sehingga aturan terkait perdagangan bahan pangan akan sangat memengaruhi dinamika perekonomian global kedepannya. Terakhir, lebih dari 3 (tiga) miliar orang di dunia sangatlah bergantung pada perdagangan internasional untuk menyokong ketahanan pangan domestik, sehingga kesejahteraan masyarakat pun menjadi variabel yang sangatlah krusial. kan implementasi 92 jenis larangan atau pembatasan ekspor di negaranya masing-masing, di mana 17 negara di antaranya juga melakukan pembatasan ekspor terhadap bahan pangan.
ADVERTISEMENT
Beberapa diantara negara-negara tersebut merupakan eksportir dan produsen bahan pangan yang sangatlah penting, seperti gandum dan beras. Padahal, gandum dan beras memiliki kontribusi sebesar 40% dari total kebutuhan kalori global. Selain itu, produk-produk seperti lemon, telur, tepung, bawang, keju, dan lain-lain, juga ikut terkena imbasnya. Pada satu sisi, keputusan ini cenderung positif karena merupakan bentuk pengutamaan kebutuhan dalam negeri bagi negara-negara pengekspor. Dengan demikian, pemerintah dapat mencegah adanya kenaikan harga dan kekurangan persediaan di pasar domestik. Akan tetapi, pembatasan perdagangan ini juga menciptakan dampak negatif karena menandakan adanya upaya untuk mengurangi ketersediaan bahan di pasar global, sehingga menciptakan efek domino, seperti panic buying dan kompetisi harga yang lebih mahal. Terutama bagi konsumen berpenghasilan rendah dari negara-negara pengimpor yang akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya seharihari.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pembatasan perdagangan ini tentu akan terus memunculkan ketegangan perdagangan (trade tension) bagi sejumlah negara karena banyak negara yang mulai mengalami resesi ekonomi. Kondisi ini akhirnya memengaruhi dinamika perekonomian global karena diproyeksikan akan menurun secara drastis menjadi -3%. Selain itu, tingginya pembiayaan COVID-19 juga mendorong lebih dari 85 negara untuk mengajukan bantuan dana darurat kepada IMF. Menurut pernyataan salah satu representatif World Food Security High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition, saat ini regulasi ekspor-impor telah berimbas pada persediaan dan permintaan bahan pangan dan kapasitas memproduksi serta mendistribusikan makanan. Hal ini tentu saja akan berimbas negatif terhadap persediaan pangan global. Namun, ada beberapa golongan yang akan mengalami kerugian lebih besar diantaranya adalah negara yang dalam kesehariannya bergantung pada impor dan negara dengan pendapatan ekonomi rendah, seperti Afrika.
ADVERTISEMENT
World Bank memprediksi bahwa kinerja ekspor global selama pandemi COVID-19 diprediksi akan menurun sebanyak 12.7%, salah satunya akibat pembatasan ekspor tersebut. Jika kondisi ini terus berlangsung maka krisis pangan global dapat Polemik Pembatasan dan Larangan Ekspor Global di Masa Pandemi COVID-19 menandakan kegagalan pemerintah dalam mencapai target-target dari Sustainable Development Goals (SDGs). Oleh karena itu, bahwa pembatasan perdagangan tidak dapat digunakan sebagai solusi jangka panjang terhadap isu kekurangan pasokan karena dapat menimbulkan efek domino yang pada akhirnya dapat merugikan negara pengekspor maupun pengimpor. Tindakan kebijakan perdagangan yang tidak kooperatif berisiko memperbesar gangguan di pasar pangan global, sehingga dapat menyebabkan lonjakan harga pangan dunia yang lebih besar. Pada akhirnya, larangan ekspor hanya dapat dilakukan dengan sementara dan sebatas memenuhi kebutuhan pangan internal. Dalam jangka panjang, diperlukan kebijakan yang mampu memberikan efek positif terhadap perekonomian global. Hal ini dapat dimulai dengan pengadopsian kebijakan perdagangan yang lebih terbuka untuk semakin memperbaiki ketahanan pangan dunia.
ADVERTISEMENT
Referensi
“Krisis ekonomi akibat Covid-19: IMF perkirakan ‘luka ekonomi’ karena krisis global akibat pandemi virus corona lebih buruk dari perkiraan.” BBC News. 25 Juni 2020. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53168814 (Diakses 26 September 2020).
Cakti, Aji. “Indef: Covid-19 bisa mendorong negara-negara ke era protektionisme.” Antaranews. 8 April 2020. https://www.antaranews.com/berita/1412142/indef-COVID-19-bisa-mendorongnegara-negara-ke-era-proteksionisme (Diakses 30 September 2020).
Jurnal hokum Polemik Pembatasan dan Larangan Ekspor Global di Masa Pandemi COVID-19 Kathleen Mintarja1 , Richard Theo Parulian2 , Stella Claresta Alexander3