kumplus- Opini- Hemi Lavour

Urgensi Payung Hukum Aktivisme Digital

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
22 Maret 2022 11:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Intimidasi terhadap warga Desa Wadas yang menolak rencana penambangan batu andesit di wilayah mereka Februari lalu tak hanya terjadi di ruang fisik, tapi juga brutal sampai ke ruang digital.
Penangguhan akun Twitter @Wadas_Melawan hingga peretasan akun WhatsApp Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadli merupakan beberapa bentuk serangan siber yang menyasar para aktivis yang terlibat. Mereka juga dengan mudah dijerat menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE atas tuduhan membagikan konten provokatif terkait aksi protes warga Desa Wadas.
Serangan siber tentu menjadi salah satu ancaman serius bagi kebebasan berekspresi di ruang digital, apalagi jika pelakunya adalah aparat pemerintah. Menilik data Komnas HAM, terdapat sembilan kasus serangan siber yang ditangani pada 2020, kemudian meningkat menjadi dua belas kasus pada 2021. Bentuk serangan siber yang paling sering digunakan yaitu peretasan, spam-call, dan doxing (komnasham.go.id, 17/1/2022). Seringkali serangan siber menyasar kepada individu maupun kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, seperti aktivis, penggiat antikorupsi, jurnalis, mahasiswa, organisasi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
check
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
check
Bebas iklan mengganggu
check
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
check
Gratis akses ke event spesial kumparan
check
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten