Truk Jenazah COVID-19, Merinding Deh

Hendra J Kede
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat
Konten dari Pengguna
24 Juni 2021 5:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra J Kede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI
Truk Pengangkut Jenazah Milik Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta. Foto: Dok. Istimewa
Merinding. Itu yang penulis alami saat membaca pernyataan salah seorang pejabat DKI Jakarta di media online tentang truk pengangkut jenazah COVID-19.
ADVERTISEMENT
Tambah merinding. Saat membaca sudah tidak cukup ambulans untuk mengangkut jenazah COVID-19 tiap harinya, sehingga perlu truk agar sekali berangkat dapat mengangkut sekitar 8 (delapan) jenazah. Pikiran liar penulis bertanya-tanya, berarti tiap-tiap berangkat truk ada potensi sekitar 8 (delapan) jenazah COVID-19?
Makin merinding. Saat diberi tahu melalui media tersebut kalau petugas pengubur jenazah sudah mulai kelelahan. Penulis membayangkan betapa melelahkannya menggali kuburan sedalam 2 meter, lalu memakamkan jenazah COVID-19 sesegera mungkin, tidak kenal siang, sore, maupun malam. Tentunya tidak hanya fisik yang lelah bahkan mental tentu juga teramat lelah dan letih. Kalau mental penggali kubur COVID-19 sudah jebol dan fisik sudah tidak kuat mengayunkan linggis, entah apa yang akan terjadi. Tidak kuat penulis menuliskan pikiran liar penulis membayangkan situasi demikian.
ADVERTISEMENT
Merindingnya makin ndak karuan. Saat tahu bus antar kota beroperasi seperti biasanya. Penulis khawatir dengan logika sederhana masyarakat: daripada isoma di kos lebih baik pulang ke kampung, naik bus, dan isoma di rumah sendiri, kalaupun meninggal dikubur di kampung halaman sendiri. Membayangkan penderita COVID-19 naik bus malam ber-AC berjam-jam, bagaimana nasib penumpang lainnya, bukankah potensi tertularnya tinggi sekali? Bagaimana nasib keluarga penumpang lainnya, bukankah akan potensi tertularnya juga tinggi?
Rasanya mau pingsan. Saat mau makan pecel lele, penulis ingatkan pegawainya untuk pakai masker, dijawab: kami tidak percaya dengan yang begitu-begituan.
Entahlah, akan seperti apa kondisi penularan COVID-19 hari-hari ke depan. Namun perlu kita pahami semua, pandemi ini memerlukan kesadaran semua pihak untuk menanggulanginya: pemerintah, pengusaha, tokoh agama, restoran, penjual pinggir jalan, orang tinggal di kota, orang tinggal di desa, seluruh elemen masyarakat, siapa saja.
ADVERTISEMENT
Penanggulangan COVID-19 memerlukan empati kolektif seluruh anak bangsa. Empati kolektif yang akan mengontrol diri sendiri agar tidak menjadi penyebar COVID-19 kepada siapapun di sekeliling kita.
*
Penulis jadi teringat materi diskusi penulis dengan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Utama (PPID Utama) yang juga Kepala Biro Humas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bapak Eri, beberapa hari lalu.
Pelindung utama masyarakat dari ancaman COVID-19 yang paling efektif: keterbukaan informasi, khususnya keterbukaan informasi sumber penularan, termasuk jika sumbernya orang yang menetap di suatu tempat, apalagi jika sumbernya dari orang dengan mobilitas tinggi.
*
Ayo jangan lelah membangun empati kolektif dan membuka diri jika positif COVID-19.
Semoga dengan demikian COVID-19 segera berlalu dari bumi nusantara tercinta ini, Indonesia, sehingga tidak perlu lagi truk beroperasi untuk mengangkut jenazah, aamiin.
ADVERTISEMENT