Pilkada DKI 2017: Berapa Mahal Biaya Pencalonan Ahok?

Konten dari Pengguna
15 April 2017 18:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hersubeno arief Konsultan Media dan Politik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pilkada DKI 2017: Berapa Mahal Biaya Pencalonan Ahok?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jajak pendapat yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, mendapatkan temuan yang menarik dalam Pilkada DKI 2017. Kinerja Ahok dipersepsi tinggi, namun mayoritas pemilih enggan untuk memilihnya atau malah membencinya.
ADVERTISEMENT
Temuan ini adalah sebuah anomali. Dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala negara di negara-negara yang menganut demokrasi, termasuk pengalaman Indonesia dalam Pilpres dan Pilkada, tingkat kepuasan publik, di AS biasa disebut job approval rating, dan berkorelasi langsung dengan tingkat keterpilihan. Aksioma atau keniscayaan itu tidak berlaku bagi Ahok.
Bila seorang petahana kembali berlaga dengan tingkat job approval rating tinggi, hampir dipastikan dia akan terpilih kembali. Pada kasus Ahok tidak berbanding lurus, tapi malah terbalik. Kalau kita menggunakan bahasa yang sering dipakai oleh Ahok, kira-kira begini, “Gua rasa kerja lu lumayan bagus, tapi gua gak suka sama lu". Atau lebih pasnya, “Gua rasa kerja lu lumayan bagus, tapi kelakuan dan omongan lu nyebelin, bikin gua empet. Makanya gua ogah milih lu lagi”. Fenomena ini disebut sebagai doublethink.
ADVERTISEMENT
Dalam teori perilaku pemilih (voting behavior) dikenal tiga variabel yang membuat orang melakukan pilihan: sosiologis, psikologis dan rasional. Perilaku sosiologis dan psikologis lebih berkaitan dengan emosi, faktor kedekatan suku, agama, kenyamanan, dll. Sementara pilihan rasional antara lain berupa pilihan terhadap kinerja.
Idealnya seorang kandidat harus memenangkan ketiga variabel tersebut bila ingin memenangkan pertarungan. Ahok hanya dapat bertarung untuk memenangkan sisi rational choice. Mayoritas pemilih dalam hal ini umat Islam alih-alih dirangkulnya, tapi malah sering dibikin sebel dan marah.
Mereka menjadi bimbang. Cukup bisa mengapresiasi kinerja Ahok, tapi marah karena menista agama. Cukup bisa mengapresiasi kinerja Ahok, tapi tidak suka dengan omongan dan kelakuannya. Di tengah kebimbangan orang untuk menentukan pilihan ini, pertimbangan sosiologis akan berpengaruh, yakni karena adanya sesuatu yang sudah pasti, berupa agama. Kepastian akan mengalahkan ketidakpastian. Nah, agama adalah identitas yang melekat dan sesuatu yang sudah pasti. Jadilah kemudian seperti yang terekam dalam jajak pendapat, Ahok-Djarot diprediksi akan kalah dari Anies-Sandi.
ADVERTISEMENT
Dengan sikap dan perilaku Ahok itu harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Setidaknya ada lima hal yang harus dibayar mahal oleh Ahok dan para penyokongnya. Biaya personal, biaya komunal, biaya elektoral, biaya governmental dan yang paling mahal adalah biaya sosial.
Personal. Secara personal Ahok harus membayar mahal sikapnya yang arogan dan melakukan penistaan agama. Sepanjang sejarah republik ini berdiri, barangkali tidak ada orang atau pejabat yang dimusuhi oleh begitu banyak orang, seperti Ahok. Ia menjadi the number one public enemy. Pembenci Ahok ini tidak hanya datang dari Jakarta, tapi dari seluruh Indonesia, bahkan termasuk mereka yang berada di luar negeri.
Jutaan orang berkumpul dan berunjuk rasa untuk menentang Ahok. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Belum lagi bila kita melihat berbagai kecaman dan bullying di sosial media yang begitu dahsyat. Untungnya kepribadian dan psikologi Ahok sangat kuat, perkasa. Bila tidak, barangkali Ahok sudah mengalami serangan jantung atau mati berdiri. Untuk soal ini kita harus akui dan acungkan jempol untuk Ahok. TOP! SUPEEERRR!
ADVERTISEMENT
Komunal. Sikap Ahok tidak hanya berimbas secara personal, tapi juga secara komunal. Sebagai pejabat publik dengan posisi cukup tinggi dan penting yang berasal dari etnis Cina, Ahok membangun sebuah stereotype yang tidak baik bagi komunitas etnisnya. Arogan, kasar, kurang tahu tata krama.
Harus diakui integrasi etnis Cina di Indonesia tidaklah semulus etnis Arab, misalnya. Dalam bahasa budayawan Emha Ainun Nadjib, mereka masih berlaku seperti tamu. Jadilah mereka diperlakukan juga sebagai tamu. Beberapa kali sering muncul gesekan dan ketegangan. Beberapa diantaranya malah menjadi amuk massa. Sayangnya, hal ini kurang disadari oleh Ahok dan para pendukungnya, sehingga sampai membuat iklan #Ganyang Cina.
Ketegangan terbaru adalah penghinaan terhadap Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi yang dihina seorang anak muda dengan kata-kata umpatan yang sangat kasar dan tidak pantas “Dasar Indon, Pribumi, Tiko.” Kata Tiko atau Ti-khaw dalam dialek Hokkian sangat kasar, bermakna “anjing, babi”. Ngeri beneeerrr.
ADVERTISEMENT
Untungnya mayoritas warga Jakarta sudah bisa bersikap dewasa dan bisa memisahkan mana yang bersifat personal dan mana yang komunal. Hal itu diperkuat dengan fakta, bangsa Indonesia juga pernah punya memori yang cukup baik dengan beberapa pejabat tinggi yang berasal dari etnis Cina. Salah satunya adalah mantan Ketua Bappenas/Menko Ekuin Kwiek Kian Gie yang nasionalisme dan keberpihakannya kepada kelompok lemah sangat tinggi. Mudah-mudahan kasus penghinaan Gubernur NTB bisa segera dilokalisir dan diredam.
Elektoral. Secara personal maupun kelompok-kelompok pemodal yang berada di belakang Ahok harus membayar mahal. Bila saja Ahok tidak menyinggung-nyinggung Surat Al Maidah 51 dan bisa menjaga perilakunya selama menjabat sebagai gubernur, hampir dipastikan Ahok akan terpilih kembali, tanpa harus bersusah payah bertarung melalui putaran kedua.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum dilaksanakan Pilgub, semua jajak pendapat menunjukkan Ahok sama sekali tidak punya lawan. Dipasangkan dengan siapapun, termasuk katakanlah berpasangan dengan sandal jepit, Ahok akan menang lawan siapapun. Ahok seng ada lawan.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Populi Center pada April 2016 menunjukkan, tingkat keterpilihan Ahok mencapai 51.2 persen. Belum ada calon potensial yang bisa mengalahkannya. Beberapa figur yang masuk dalam survei seperti Yusril Ihza Mahendra elektabilitasnya hanya 10,2 persen,Sandiaga Uno 4 persen, Ridwan Kamil 3,5 persen, dan Tri Rismaharini 1,8 persen.
Namun seiring kasus penistaan agama, elektabilitas Ahok terus menurun dan kemudian meningkat lagi jelang Pilkada putaran pertama.Sekarang Ahok harus bertarung di putaran kedua dengan posisi under dog. Suatu posisi yang seharusnya tidak perlu terjadi.
ADVERTISEMENT
Silakan dihitung sendiri berapa biaya yang harus keluar, karena harus menjalani Pilkada dua putaran. Untungnya Ahok didukung oleh para pengusaha yang super kuat. Bila memakai istilah yang sering dipakai oleh komunitas Cina di Medan, “ untung owe gunung, kalau bukit owe sudah lata (rata).”
Pilkada DKI 2017: Berapa Mahal Biaya Pencalonan Ahok? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Governmental. Secara pemerintahan, pencalonan Ahok juga sangat mahal harganya. Sikap memihak rezim pemerintahan Jokowi terhadap Ahok sangat kentara. Walau sudah sering membantah, tapi sangat gamblang bagi publik untuk melihat, melalui tangan-tangan kekuasaannya Jokowi menggerakkan lembaga-lembaga kenegaraan mendukung dan mengamankan Ahok. Sikap presiden dan lembaga pemerintah seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, kehakiman dll memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah (public distrust).
Contoh terbaru adalah peresmian masjid Raya Jakarta oleh Jokowi yang rencananya dilakukan hari Minggu (16/4) atau tepat hari pertama Ahok kembali sebagai gubernur. Ini jelas maksudnya untuk menguntungkan Ahok dalam meraih dukungan umat Islam, khususnya dari Nahdlatul Ulama (NU). Perhatikan namanya masjid Raya Hasyim Asy'ari yang diambil dari nama pendiri NU, kakek mantan Presiden Abdurahman Wahid. Kondisi masjid tersebut belum sepenuhnya selesai, tapi dipaksakan diresmikan hanya tiga hari sebelum Pilkada. Karena tekanan yang keras dan sorotan adanya politisasi agama oleh presiden, akhirnya masjid diresmikan hari Sabtu (15/4) atau maju sehari dan ahok tidak diundang.
ADVERTISEMENT
Sosial. Nah, soal ini biayanya yang paling mahal. Konflik antar pendukung dan penentang Ahok mengakibatkan dampak yang secara sosial sangat-sangat mahal. Konfliknya tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi telah melebar ke seluruh pelosok negeri.
Agak sulit membayangkan relasi sosial dan keagamaan yang terkoyak-koyak akibat seorang Ahok bisa dipulihkan dengan cepat atau kembali seperti sediakala. Perlu waktu panjang, upaya yang serius, sungguh-sungguh dan secara bersama untuk memulihkannya.
Ada pertemanan dan persahabatan yang putus. Ada tetangga yang saling tidak menyapa. Ada suami istri yang bertengkar hebat. Ada anak yang memutuskan hubungan dengan orang tua dan sebaliknya. Hubungan antar sesama umat dan antar agama menjadi tegang dan banyak kerusakan sosial terjadi akibat seorang Ahok.
ADVERTISEMENT
Silakan dikalkulasi sendiri berapa besar biaya yang harus dibayar bangsa dan negara ini bila Ahok terpilih kembali sebagai gubernur. Publik Jakarta harus berani mengambil langkah nyata, kalau tidak mau menjadi kodok dalam novel The Winner Stands Alone karya Paulo Coelho. Jangan menunggu air di panci mendidih baru melompat. Terlambat.
http://www.kanigoro.com/pilkada-dki-2017-berapa-mahal-biaya-pencalonan-ahok/
Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik