Membandingkan Praktik Kecurangan di Era Jokowi dengan Soeharto (Bag 1)

Konten dari Pengguna
29 April 2017 14:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hersubeno arief Konsultan Media dan Politik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Membandingkan Praktik Kecurangan di Era Jokowi dengan Soeharto (Bag 1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
seputarmalut
Warga DKI Jakarta pagi (19/4) akan melaksanakan pilkada. Sebuah pemilihan yang ditengarai paling curang sepanjang sejarah Indonesia setelah era reformasi. Musisi eksentrik dan kontroversial yang juga dikenal sering ugal-ugalan Ahmad Dhani, menyebut kecurangan di Pilkada DKI 2017 SANGAT UGAL-UGALAN. Bisa dibayangkan orang yang sering bertindak ugal-ugalan saja menilai apa yang kita saksikan dan terjadi di DKI sangat ugal-ugalan. Seperti apa kecurangannya?
ADVERTISEMENT
Agar sedikit adil dan bisa memberi gambaran kepada kita, mari kita bandingkan dengan apa yang terjadi dengan pemilihan sepanjang sejarah rezim Orde Baru.
Setidaknya ada beberapa parameter yang bisa kita gunakan. Pertama, massa berkuasa. Kedua, sistem pemilihan. Ketiga, aktor yang terlibat. Keempat, posisi media.
Massa Berkuasa Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Ia mulai tampil di tampuk kekuasaan pada tahun 1967 dan turun pada tahun 1999. Pada tahun 1973 ia mulai melakukan rekayasa politik dengan mendorong/memaksakan fusi/peleburan partai-partai politik. Idenya adalah penyederhanaan jumlah partai politik. Alasannya banyaknya jumlah partai politik yang berlaga dalam pemilu, membuat sistem politik menjadi tidak sederhana dan sering menimbulkan instabilitas.
Alasan sesungguhnya dibalik fusi partai adalah agar rezim Soeharto bisa lebih mengontrol partai-partai. Dari total 10 partai disederhanakan menjadi dua partai plus Golkar. Lima partai; PNI, IPKI, Murba, Partai Katholik, dan Parkindo difusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat lainnya; NU, Parmusi, Perti dan PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
ADVERTISEMENT
Golkar yang saat itu belum menggunakan nama partai menjadi partai pendukung pemerintah atau sering juga disebut partai yang berkuasa, the ruling party. Jadi Soeharto setelah berkuasa selama 6 tahun, dia baru mulai melakukan intervensi terhadap partai. Rekayasa tersebut berjalan mulus dan pada pemilu berikutnya 1977, tinggal tiga partai yang berlaga.
Bagaimana dengan rezim Jokowi? Apakah Jokowi juga melakukan penyederhaan partai? Secara kebetulan partai yang memperoleh kursi di parlemen pada tahun 2014, jumlahnya juga 10, sama dengan Pemilu 1971. PDIP, Partai Golkar, Gerindra,Demokrat, PKB, PKS, PAN, Partai Nasdem, PPP, dan Hanura.
Pasca-Pilpres 2014 posisi partai di parlemen terbagi menjadi dua koalisi. Pertama, adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menjadi pendukung pemerintah, PDIP, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, plus PKPI yang tidak punya kursi di DPR. PDIP yang selama Orde Baru menjadi partai oposisi kemudian menjadi partai yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Kedua, adalah Koalisi Merah Putih (KMP) terdiri dari Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN dan PBB yang tidak mempunyai kursi di DPR RI. Golkar yang selama Orde Baru menjadi partai penguasa untuk pertamakalinya menjadi partai oposisi alias new kid on the block. Sementara PPP tetap setia menjadi oposisi.
KMP kemudian menguasai parlemen melakukan sapu bersih seluruh pimpinan DPR dengan dibantu oleh Demokrat yang semula bersikap netral. Sementara Jokowi dan pengusungnya menguasai pemerintahan.
Setelah berkuasa Jokowi mulai melakukan manuver. Target utamanya adalah partai Golkar. Pengalaman Golkar yang selalu menjadi partai kuasa menyebabkan Golkar paling potensial untuk “digoda”. Tak perlu menunggu terlalu lama, Jokowi dilantik pada 20 November 2014, hanya dalam hitungan hari Golkar sudah terpecah. Kali ini yang menjadi kuda troya adalah Agung Laksono yang terpilih menjadi Ketua Umum tandingan dalam Munas Golkar di Ancol, Jakarta pada 6 Desember 2014.
ADVERTISEMENT
Setelah terpilih Agung Laksono langsung mengambil langkah kuda dengan menyatakan Partai Golkar menjadi pendukung pemerintah. Golkar setelah itu terpecah belah dan kemudian menyatu dengan terpilihnya Setya Novanto menjadi ketua umum pada Munas di Nusa Dua, Bali 17 Mei 2016. Setelah terpilih menjadi ketua umum, Setya Novanto segera bersicepat membawa Golkar sebagai partai pendukung pemerintah.
BRAVO langkah pertama dan terpenting Rezim Jokowi melakukan akuisisi politik berlangsung sukses. Harga yang dibayar cukup mahal dan berdarah-darah. Abu Rizal Bakrie yang menjadi pilar penting pendukung KMP disingkirkan secara “terhormat” dengan menempati posisi sebagai Ketua Dewan Pembina.
Tak puas memecah belah Golkar, secara simultan Rezim Jokowi melanjutkan gerilya. Sasaran adalah PPP. Kebetulan pasca turunnya Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali karena terlibat kasus korupsi dana haji, PPP juga terpecah dua kubu. Kubu pertama dipimpin Romahurmuzy (Romi) yang terpilih dalam Muktamar Surabaya 16 Oktober 2014. Kubu kedua dipimpin oleh Djan faridz yang terpilih Muktamar VIII di hotel Sahid Jakarta 2 November 2014.
ADVERTISEMENT
Kubu Romi menyatakan mendukung pemerintah dan telah menempatkan seorang kadernya Lukman Hakim Syaefuddin sebagai menteri agama. PPP di bawah Djan Farid tetap berada di KMP. Konflik PPP yang berlarut kemudian memaksa kubu Djan Faridz lompat pagar meninggalkan KMP. Pada 29 Januari 2016 kubu Djan secara resmi mendeklarasikan dukungan kepada pemerintahan Jokowi.
Sejak itu secara resmi kedua kubu yang bertikai di PPP mendukung pemerintah. Jika biasanya mengacu novel karya Buya Hamka, banyak orang yang berlindung di bawah Ka’bah, kini partai berlambang Ka’bah itu berlindung di bawah Jokowi. Motifnya hanya sekedar untuk mendapat pengesahan. Dalam bahasa gaul, motif mereka sangat ecek-ecek, cemen.
Dengan resminya Golkar dan PPP bergabung dalam pemerintahan, Jokowi mencatat rekor mengalahkan Soeharto. Hanya perlu waktu sekitar dua tahun Jokowi berhasil “menyederhanakan” parpol. Sementara Suharto perlu waktu sampai enam tahun.
ADVERTISEMENT
Sistem Pemilihan Pada Rezim Soeharto yang menggunakan sistem perwakilan, tidak ada Pilpres dan Pilkada langsung.
Pada rezim Soeharto, presiden, gubernur dan bupati/walikota tidak dipilih langsung. Mereka dipilih oleh DPR RI dan DPRD. Dengan sistem itu dan jumlah partai hanya tiga, maka rekayasa jauh lebih mudah. Apalagi Golkar ditambah Fraksi ABRI (TNI-Polri) selalu menjadi partai yang menguasai jumlah kursi di DPR RI dan mayoritas DPRD. Jadi tinggal pencet satu tombol, Rezim Suharto sudah bisa menentukan siapa yang akan menjadi presiden, gubernur dan bupati/walikota.
Pada rezim Jokowi Indonesia telah menganut rezim pemilihan langsung. Jadi rakyat yang menentukan. Sangat sulit melakukan rekayasa dengan hanya mengandalkan penguasaan terhadap partai politik. Jadilah kita lihat apa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 yang kecurangan sangat ugal-ugalan, atau kalau mau menggunakan bahasa lebih resmi kecurangannya terencana, terstruktur, sistematis dan massif.
ADVERTISEMENT
Wawancara Koran Tempo dengan seorang juragan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta bernama Billy Haryanto alias Billy Beras menggambarkan betapa dahsyatnya kecurangan yang direncanakan. Billy mengaku setidaknya dua petinggi partai, Aria Bima dari PDIP dan Djan Faridz memborong beras ribuan ton untuk dijadikan senjata money politics.
Untuk poin kecurangan Rezim Soeharto jauh lebih elegan dan berkelas dibandingkan Rezim Jokowi.
Aktor yang Terlibat Pada massa Orde Baru ABRI, Birokrasi dan Golkar atau sering dikenal sebagai jalur ABG menjadi aktor utama yang menopang suksesnya kecurangan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) termasuk di dalamnya polisi ketika masih bergabung adalah alat utama penopang Rezim Orde Baru. Melalui perannya yang dikenal sebagai Dwi Fungsi, memungkinkan ABRI menjalankan peran pertahanan dan keamanan, sekaligus fungsi sosial politik.
ADVERTISEMENT
ABRI saat itu mempunyai perwakilan di DPR RI sampai DPRD. Mereka tidak dipilih tapi diberi jatah. Bersama Golkar, Fraksi ABRI bisa mengontrol parlemen dan DPRD. Mereka ikut menentukan siapa yang akan dipilih menjadi presiden, gubernur dan bupati/walikota.
ABRI juga masuk ke jalur-jalur birokrasi mulai dari menteri, Dirjen, Irjen, gubernur, bupati/walikota, kepala dinas dan yang terpenting adalah Kepala Dinas Sosial Politik di provinsi dan kabupaten. Mereka ini yang mengontrol parpol dan organisasi sosial keagamaan di daerah masing-masing.
Panglima Daerah Militer (Pangdam) juga menjadi aktor utama di daerah, karena mereka biasanya menjadi koordinator Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari gubernur, Kapolda, Kanwil Kehakiman dan Kajati. Begitu seterusnya sampai ke level kota/kabupaten.
ADVERTISEMENT
Pada Rezim Jokowi aktor utamanya parpol penguasa, dibantu mesin kekuasaan, sementara birokrasi perannya tidak lagi massif. TNI kembali ke jati dirinya sebagai alat pertahanan negara, bukan lagi alat kekuasaan. Setelah reformasi dan dipisah dari Polri , sehingga ABRI menjadi TNI, mereka back to basic. TNI tidak lagi telibat dalam fungsi-fungsi sosial politik. Justru setelah terpisah dari TNI, polisi yang banyak terlibat dan memainkan peran-peran politik. Dalam kasus Ahok, keberpihakan polisi sangat kentara dan banyak dikeluhkan.
Birokrasi hanya bisa dimanfaatkan oleh para menteri, gubernur, bupati/walikota dalam batas-batas tertentu. Untuk posisi menteri, ceritanya lain lagi. Kasus konflik berkepanjangan di tubuh Partai Golkar dan PPP menunjukkan betapa Menkumham yang dijabat oleh kader PDIP memainkan peran yang sangat penting dan krusial. Begitu juga posisi Mendagri dalam kasus Ahok. Mendagri memainkan peran sangat penting sehingga Ahok bisa tetap menjadi gubernur, kendati telah menjadi tersangka.
ADVERTISEMENT
Dengan fakta itu, maka kita bisa menyebut bahwa birokrasi di masa Jokowi juga belum netral dan masih tetap menjadi alat kekuasaan yang sangat ampuh.
Membandingkan Praktik Kecurangan di Era Jokowi dengan Soeharto (Bag 1) (1)
zoom-in-whitePerbesar
Media Media pada rezim Soeharto sepenuhnya dikontrol pemerintah. Bila ada yang melenceng hukumannya sangat berat, dibreidel. Nasib naas itu pernah menimpa Majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik (1994). Pada masa Orde Baru di kalangan wartawan dalam menulis berita dikenal prinsip 5W+1H dan 1S.
Unsur 1S ini sangat unik dan khas Indonesia. Sementara unsur 5W+1H berlaku universal. Sebuah penulisan dianggap layak dan standar bila memenuhi unsur what, who, when, where, why, how yang dalam bahasa Indonesia menjadi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana.
ADVERTISEMENT
Sementara 1S adalah unsur securiti atau keamanan yang dulu dikenalkan oleh pemerintah untuk memperhatikan keamanan negara. Biasanya ini berkaitan dengan unsur Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Di kalangan wartawan 1S diartikan lain. Hal itu berkaitan dengan keamanan pribadi wartawan dan media tempat dia bekerja. Bila salah menulis bisa ditangkap atau lebih apes lagi medianya ditutup.
Pada masa Jokowi tidak ada pembatasan penulisan dan juga tidak ada pembreidelan. Cara yang paling mudah adalah menekan para pemiliknya. Kasus tidak tayangnya acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One adalah contoh nyata tekanan tersebut. ILC adalah acara paling populer dengan rating, share dan perolehan iklan tertinggi di TV One yang nasibnya kini tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Silakan bandingkan bagaimana Rezim Orde Baru dan Rezim Jokowi bermain. Kekuasaan sesungguhnya sebuah seni yang sering disebut sebagai The Art of Power. Selama anda berkuasa silakan kalau mau menggunakan sepenuhnya kekuasaan anda, tapi ya sebaiknya rada berseni dan berkelas lah. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah ngono yo ngono, ning ojo ngono. Ingat juga petuah para leluhur “Gusti Allah mboten sare” . Jangan lupa ALLAH, TUHAN YANG MAHA KUASA TIDAK PERNAH TIDUR. ***
Hersubeno Arief Konsultan Media dan Politik
http://www.kanigoro.com/pilkada-dki-2017-membandingkan-praktik-kecurangan-di-era-jokowi-dengan-era-soeharto-bagian-i/