Sukarno, Ingatan Kolektif, dan Politik

Heru Joni Putra
Sastrawan. Sedang menyelesaikan studi Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
1 November 2018 15:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Joni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sukarno (Foto: abc.net.au)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno (Foto: abc.net.au)
ADVERTISEMENT
Ingatan masyarakat tentang Sukarno tidak gampang dihapus. Di awal berdirinya rezim diktator Orde Baru, 1965, Soeharto tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bisa saja membunuh jutaan rakyat Indonesia, tapi ia tidak mungkin dengan cepat melenyapkan ingatan kolektif tentang Sukarno.
ADVERTISEMENT
Menciptakan narasi buruk G30S/PKI dan kemudian mengaitkannya secara serampangan dengan Sukarno adalah strategi ampuh bagi Orde Baru untuk menggeser citra “penyambung lidah rakyat” pada diri Proklamator tersebut menjadi “pengkhianat negara”.
Tapi Soeharto tahu bahwa menciptakan narasi seperti itu belum cukup. Ingatan tentang sosok Sukarno terlalu kuat. Sebagian rakyat mungkin bisa terperdaya. Tapi, pendukung setia Sukarno juga tak kalah banyaknya. Oleh sebab itu, Orde Baru menyerang dari berbagai penjuru. Ia kemudian dipaksa jadi tahanan rumah dan tak boleh tampil di depan umum. Langit Ibu Kota Negara dibebaskan dari suara lantang Sukarno.
Dalam waktu tak lama, ruang-ruang publik Jakarta kehilangan heroisme. Sosok Sukarno yang tegak-berdiri sambil berpidato dan mengepalkan tangan di tanah lapang itu tak tampak lagi. Jangankan untuk mengumpulkan massa, untuk urusan keluarga saja, ia diawasi. Menjelang akhir hidupnya, kehadiran Sukarno di pernikahan anaknya dianggap sebagai kegaduhan. Ia, kemudian, dilarang untuk berlama-lama di dalam acara tersebut.
Presiden Sukarno upacara penguburan korban G30S. (Foto: yayasanakudansukarno.com)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno upacara penguburan korban G30S. (Foto: yayasanakudansukarno.com)
Apakah Orde Baru sudah merasa cukup? Tidak. Tahun 1970 Sukarno meninggal dunia. Sebelumnya, ia berwasiat agar dimakamkan di Bogor. Tapi Soeharto menolak dan menginginkan Sukarno dimakamkan di Blitar, 775 Kilometer dari Ibu Kota. Keluarga tak punya pilihan lain. Kehendak penguasa Orde Baru tak bisa dilawan. Akhirnya, di sebelah makam ibunya, Sukarno dimakamkan.
ADVERTISEMENT
Sejak Sukarno dikudeta dan kemudian meninggal, Orde Baru memang tak henti-henti melakukan berbagai cara untuk mengintervesi ingatan kolektif masyarakat, apalagi di sekitar Ibu Kota. Etalase Indonesia diljauhkan dari langgam Sukarno. “Desukarnoisasi”, begitulah istilah yang kentara disebutkan.
Tapi, ternyata, meninggalnya Sukarno tidak menghentikan Orde Baru. Tahun 1986, Orde Baru memberi penghargaan “Pahlawan Proklamasi” untuk dwitunggal Sukarno-Hatta. Sekilas, ini tampak wajar. Toh, kedua tokoh tersebut memang sudah sepatutnya mendapatkan itu. Tapi, sesungguhnya tidak. Tetap ada “politik ingatan” di sana.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya gelar pahlawan yang diberikan kepada dua orang sekaligus: Hanya pada Sukarno dan Hatta. Tak ada penghargaan tunggal untuk Sukarno maupun Hatta. Saat itu, padahal, Soeharto membuat kategori tunggal yang baru, yaitu Pahlawan Nasional. Namun, kedua “pahlawan nasional” itu tidak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasa Sukarno yang begitu panjang bagi negara ini hanya diakui oleh Orde Baru sebatas sebagai sebagai “pembaca teks proklamasi”.
Lukisan Sukarno (Foto: Ajo)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Sukarno (Foto: Ajo)
Di penghujung Orde Baru, setelah cukup berhasil melakukan “Desukarnoisasi” selama tiga puluh tahun, Soeharto masih beringas. Kemunculan anak Sukarno di panggung politik pun diadang. Megawati Sukarno Putri tampak begitu menakutkan bagi kekuasaan. Kemenangan Mega sebagai Ketua PDI tahun 1993 terdengar bising di telinga Soeharto.
Tahun 1996 ia berhasil disingkirkan. Tapi, kemudian itu justru menjadi momen untuk masuknya Mega ke tengah pusaran politik. Massa PDI lebih banyak berpihak ke Mega. Tahun 1999, Mega mengukuhkan kekuatan PDI Perjuangan. Di antara berbagai perjuangan yang dilakukan, perjuangan melawan ingatan Orde baru pun tak ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Arus Balik Ingatan
Tahun 1999, pemerintahan BJ Habibie memberikan penghargaan Lencana Tugas Kencana. Tahun 2012 Pemerintahan SBY memberikan gelar Pahlawan Nasional. Keduanya untuk Sukarno. Ini mustahil terjadi di masa Soeharto. Namun, meski terlambat, melalui dua penghargaan tersebut, citra Sukarno kembali diperbaiki. “Desukarnoisasi” memang mesti disterilkan sampai ke hulunya, tapi tentu itu bukan kerja gampang dan sebentar. “Politik ingatan” Orde Baru selama tiga dekade telah berurat-berakat dalam lintas generasi rakyat Indonesia.
Di Sumatera Barat, sebagai contoh saja, citra Sukarno muncul paling kuat melalui peristiwa PRRI, 1958. Ada istilah “Tentara Sukarno” untuk menyebut pasukan Jendral Ahmad Yani yang melakukan serangan negara kepada rakyat Minangkabau. Itu tak mudah dihapus. Orde Baru tentu berkepentingan untuk mengekalkannya.
ADVERTISEMENT
Segala narasi yang menyudutkan Sukarno tak henti digemakan: Pengunduran diri Hatta di era Demokrasi Terpimpin lebih terdengar merdu dibandingkan kisah dwitunggal Sukarno-Hatta. Cerita tentang hukuman penjara yang diberikan Sukarno kepada Buya Hamka seakan jadi lagu wajib. Tak ada “pengeras suara” untuk menyampaikan narasi-narasi kecil yang potensial untuk memperkaya ingatan: cerita bahwa Sukarno tidak suka makan daging, kecuali rendang.
Begitu juga, posisi “merendah” yang diambil Bung Karno di hadapan Haji Agus Salim, sunyi-senyap belaka. Memori PRRI memang lebih bergigi.
Hal tersebut membuat jasa Sukarno bagi masyarakat Minangkabau lenyap. Pengabaian ini semestinya tidak perlu diperpanjangkan sampai sekarang. Seakan-akan tak ada ruang sama sekali untuk mengingat peran penting sahabat Bung Hatta tersebut.
ADVERTISEMENT
Padahal, pada era penjajahan Jepang, Sukarno menuju tanah Minangkabau, setelah pengasingan di Bengkulu. Sangat besar peran Sukarno saat itu. Berkat lobi Sukarno pada Kol. Fujiyama, Jepang yang sedang beringas itu tak jadi “meluluhlantakkan” Minangkabau. Mestinya fakta sejarah ini dapat membuat masyarakat Sumatera Barat lebih adil dalam memandang Sukarno.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Bagaimanapun juga, PRRI bukan satu-satunya jejak Bung Karno di tanah Minangkabau. Tapi, provinsi yang menjadi “anak baik” di Era Orde Baru ini memang masih “anak baik” sampai sekarang. Para penjaga memori Orde Baru masih berkeliaran dengan mata tertutup. Tak hanya Bung Karno, PDIP yang mengusung Sukarnoisme turut lemah di Sumatera Barat.
Sekali lagi, pada sisi ingatan kolektif, tidak mudah untuk mencabut “akar tunggang Orde Baru”. Pemerintahan Megawati Sukarno Putri yang berjalan singkat, 2001-2004, lebih banyak menghadapi berbagai konflik yang tak terelakkan pasca-Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Ruang untuk menggerakkan perjuangan ingatan tidak terlalu banyak tersedia. Tak jarang, kritik untuk pemerintahan Megawati dilakukan dengan membandingkannya dengan masa jaya Sukarno. Tentu banyak sisi yang tak bisa dibandingkan. Bahkan tidak sahih untuk disamakan. Tetapi, lawan politik butuh serangan.
Setelah puasa 10 tahun, akhirnya PDIP lebih punya ruang. Tonggaknya lebih kokoh. Perjuangan ingatan di dalam perjuangan dalam menerapkan Sukarnoisme jadi semakin mungkin: Terpilihnya Jokowi Widodo menjadi Presiden RI ke-7 tahun 2014.
Tentu, sebelum itu, banyak kader PDIP yang muncul sebagai juru bicara wong cilik, tapi lewat sosok Joko Widodo, ingatan tentang Sukarno yang pernah kuat sebelum Orde Baru, kembali muncul dan kali ini tak tanggung-tanggung: lewat simbol negara. Ini menjadi suatu energi untuk membangkitkan representasi Sukarno oleh berbagai kepala daerah tingkat I ataupun II.
ADVERTISEMENT
Joko Widodo tentu bukan Sukarno dan Sukarno bukan Joko Widodo. Tapi, budaya politik yang dijalankan oleh Joko Widodo semenjak dua periode menjabat Wali Kota Solo sampai hampir selesai satu periode menjadi Presiden RI, menjadi pemicu bangkitnya ingatan kolektif tentang Sukarno.
Citra Sukarno pada PDIP kemudian tak bisa lagi direduksi sebatas artikulasi Sukarnoisme lewat program utama PDIP (seperti program untuk nelayan, petani, buruh, dst) atau mungkin sosok Megawati Sukarno Putri belaka.
ADVERTISEMENT
Pada Joko Widodo, memori tentang Sukarno tak hanya muncul dari sebatas faktor latar belakang partainya itu. Melainkan tak kalah kuat dalam bentuk aksi blusukan, seperangkat pakaian yang sederhana untuk ukuran seorang presiden, bahasa tubuh yang sangat dekat dengan rakyat kelas bawah dan jauh dari kesan sangar militer ala Soeharto, ikhtiar untuk mengangkat produk lokal dibandingkan produk luar negeri, pilihan untuk berkubang bersama rakyat dalam berbagai pertemuan, memilih menghadirkan makanan khas Indonesia di dalam hidangan-hidangan resmi negara, membolehkan pedagang tepi jalan berjualan di halaman Istana Merdeka, dan membiarkan para petani yang masih lusuh pulang bekerja masuk ke dalam Istana tanpa mengikuti tata-aturan pakaian resmi.
Di hadapan anak-anak SD, Sukarno dan Joko Widodo sama-sama berlaku sebagai ayah yang menyenangkan. Dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Lewat jalan budaya politik seperti itu, Joko Widodo tampak berbanding terbalik dengan citra pejabat ala Orde Baru yang ramah di hadapan masyarakat tetapi sebenarnya terdapat jarak yang lebar. Tentu, masih banyak contoh pelaku politik Jokowi yang bisa ditambahkan. Paling tidak, apa dijalankan Jokowi tersebut menjadi ikat-simpul bagi ingatan kolektif masyarakat tentang Sukarno yang sempat putus selama tiga dekade Orde Baru.
Jokowi dan Megawati bahas Narasi Indonesia Raya (Foto: PDI Perjuangan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Megawati bahas Narasi Indonesia Raya (Foto: PDI Perjuangan)
Tentu tidak semua representasi Sukarno yang merupa dalam tindakan Joko Widodo. Salah satu hal yang identik dengan Sukarno dan tidak ada pada Joko Widodo: pidato yang berapi-api dan penuh seruan. Apakah itu membuat ingatan kolektif tentang Sukarno jadi lenyap tiba-tiba dari sosok Joko Widodo? Tidak. Meneruskan Sukarno tentu bukan dengan cara meniru mentah-mentah. Apalagi hanya sekadar meniru gaya pakaiannya.
ADVERTISEMENT
Sukarno, dengan alasan yang politis, pernah menolak rock and roll. Tapi, Jokowi tentu tidak melihat itu sebagai hal krusial, baik dalam perjuangan Sukarno ataupun dalam konteks politik hari ini. Sukarno punya beberapa istri dan bukan itu yang menjadi acuan Joko Widodo dalam membangun kharismanya. Ia lebih memilih cara yang lain: menjadi ayah yang tidak membiarkan anak-anak “membuat negara” dalam Istana. Sukarno mempunyai jasa dalam membangun berbagai ruang publik di “pusat” negara. Dan Jokowi memilih tonggaknya melalui pembangunan infrastruktur di berbagai “pinggiran” negeri.
Perjuangan melawan ingatan negatif yang ditanamkan Orde Baru terhadap Sukarno, dengan begitu, bukanlah perjuangan mengimitasi Sukarno. Joko Widodo bukanlah peserta lomba mirip Sukarno. Tentu, Sukarno bukan malaikat. Ada yang tak perlu dilanjutkan darinya, tapi itu bukan berarti sekumpulan jasanya terhadap negeri ini mesti dilupakan sebagaimana yang dilakukan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Perjuangan membangkitkan ingatan tentang Sukarno, pada gilirannya, tak bisa dilepaskan dari memilih bagian-bagian terbaik dari perjalanan hidupnya. Ada begitu banyak yang bisa diambil dari Sukarno dan kita di zaman ini tak ada hambatan untuk mereproduksi dan menjadikannya sebagai bagian dari kontestasi politik. PDIP, lewat Joko Widodo, tampak berusaha menghadirkan ingatan atas Sukarno yang “berkeringat bersama rakyat”.
Dalam sisi ingatan kolektif, budaya politik Joko Widodo turut menjadi pengampu ingatan kolektif terhadap Sukarno. Representasi Sukarno dalam PDIP tak lagi di sekitar tubuh partai, tetapi terus menyebar ke tubuh negara. ***