Potret Seorang Feodal Tua Sebagai Seniman Serba Bisa

Heru Joni Putra
Penulis sastra
Konten dari Pengguna
23 September 2020 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Joni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Goenawan Mohamad, penyair Indonesia Foto: Dok. Yose Ariandi
zoom-in-whitePerbesar
Goenawan Mohamad, penyair Indonesia Foto: Dok. Yose Ariandi
ADVERTISEMENT
Pada zaman dahulu kala, ketika revolusi tidak ada lagi, Goenawan Mohamad pernah mengibaratkan dirinya, dengan heroisme penyair muda, sebagai Malin Kundang. Tapi kini, Malin Kundang adalah ibarat yang terlalu heroik untuknya, seberapa pun tidak heroiknya tokoh legenda itu. Belakangan, semakin kentara saja, GM adalah potret seorang feodal tua sebagai seniman serba bisa.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, GM tak hanya menulis karya sastra, tetapi juga berminat pada penciptaan seni pertunjukan. Belum lagi bila disebut minatnya pada jurnalisme. Juga politik. Tak ada yang salah soal itu. Bahkan, kalau memainkan instrumen musik sama gampangnya dengan berkelit, mungkin ia akan jadi musisi juga.
Saat ini sedang ribut soal GM sebagai pelukis. Izinkan saya ikut berkomentar, dalam pandangan pribadi, sebagai seorang penulis pemula. Ia benar bahwa “seorang pengarang yang jadi perupa, sebagaimana seorang perupa jadi sastrawan, itu bukan gangguan bagi kehidupan seni dan sastra.” GM bilang ia tak berambisi jadi penyair dan pelukis. Sebagai penyair, ambisi itu telah dicapainya dan ia memang tak perlu berambisi apa-apa lagi. Untuk menjadi sebesar sekarang, ia tak mungkin mencapainya tanpa ambisi, apa pun bentuknya. Ketika ia mengatakan bahwa dirinya tak berambisi jadi penyair, maka itu seakan-akan statusnya sebagai penyair berpengaruh di Indonesia itu hanya didapatkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Padahal, untuk jadi penyair besar seperti sekarang, ada usaha kerasnya untuk mempelajari berbagai khazanah sastra, berjejaring dengan banyak pihak, membangun ekosistem sastra di zamannya dan seterusnya. Semua itu perlu ambisi. Dan karena ambisi itu, kita kini tak bisa melupakan begitu saja kontribusi GM di dunia sastra sebagaimana kita juga tidak bisa meluputkan politik sastranya juga.
GM tak perlu sungkan mengakui kalau dirinya juga berambisi jadi perupa. Tak ada yang salah. Sebagai perupa, ia agaknya sedang mencoba belajar. Saya setuju ketika ia menyebut dirinya perupa pemula sebagaimana saya juga percaya bahwa ia tak akan selamanya menjadi perupa semula. Menjadi perupa pemula adalah sebuah kewajaran belaka.
Begitu rendah hati untuk seorang tokoh yang mau mengaku pemula. Sayangnya, ia bukan perupa pemula yang mau bersusah-susah. (Apa itu susah-susah? GM tentu tahu apa itu susah-susah. Sebagai penyair yang dulunya pernah kecil, ia tak mungkin tidak tahu apa artinya susah-susah).
ADVERTISEMENT
Istilah “perupa pemula” yang ia jadikan untuk mengidentifikasi dirinya itu hanyalah semacam political correctness. Ia lebih mudah memakai topi pelukisnya di panggung seni rupa kontemporer, salah satunya, justru dipengaruhi oleh ketokohannya itu. Dengan demikian, identifikasi diri sebagai perupa pemula jelas hanya basi-basi belaka. Ia justru tak betah lama-lama jadi perupa pemula.
Ketika ada suara lain yang mencoba meragukan dirinya, GM ternyata bereaksi lewat tulisan berjudul “Perupa?”. Reaksi yang sama tak akan terjadi bila ada orang meragukannya di bidang sastra. Di bidang sastra yang sangat dicintainya, ia lebih tampak tidak peduli pada suara seperti itu.
Sedikit-banyaknya tentu ia menyadari kekuasaannya di wilayah sastra. Sebagai seseorang yang ingin “mendaftar” jadi perupa lewat jalur “ketokohan”, ia ternyata gerah ketika ada orang yang mempertanyakannya. Ketokohannya diusik.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana seperti itu, suatu hal yang sangat mudah diduga adalah kemampuannya berkelit. GM sibuk mencari pembenaran, mulai soal prediksi teman dan kakaknya ketika SD sampai ke persoalan distorsi bahasa.
Bahkan, lebih licin lagi, ia berlindung di balik tidak adanya pembagian kerja yang tegas dan permanen dalam sejarah sosial kita. “Kita agaknya menirukan sistem gilda di Eropa: ada kategorisasi pelukis dan bukan untuk masuk dalam gilda seni rupa,” demikian tulis GM.
He-he-he.
Tak kalah mengagumkan. GM bicara soal komodifikasi. Ia berkata, “Tak produktif jika kemudian percakapan balik ke persoalan “siapa” — dalam hal ini diri saya.” Barangkali ia lupa bahwa karya-karyanya yang dibangga-banggakan laku oleh para loyalisnya itu—sebagai asumsi dasar untuk melegitimasi GM sebagai perupa yang tidak pemula—justru lakunya karena, salah satu faktor penting di belakangnya, komodifikasi atas ketokohannya di bidang lain.
ADVERTISEMENT
GM mengajak kita untuk tidak bicara “siapa” ketika ia berdansa di panggung seni rupa justru lebih banyak karena faktor “siapa” dirinya. Selama ini, ketokohan GM lebih bising dari bunyi karyanya. Kita layak mengangkat topi dan membungkukkan badan atas kemampuan berkelit GM yang sudah masuk ke level maestro ini. Feodalisme telah mengajarkan GM cara mendapatkan kehendaknya. Sedangkan demokrasi-liberal mengajarkan GM cara berkelit.
GM mengajak kita untuk “kembali menghidupkan kritik dan mengapresiasi kegiatan non komersial oleh galeri dan pameran.” Saya sepakat dengannya. Ini poin terbaik yang pernah diucapkannya dalam keributan ini. Banyak anak-anak muda yang mati-matian belajar seni rupa dan perlu untuk diberi akses sebanyak-banyaknya agar lebih baik.
GM semestinya juga mempertimbangkan hal itu. Tapi, GM malah menjadi feodal berbulu liberal yang semakin tua semakin ingin mendapatkan semuanya, dengan suatu dan lain cara, lewat kekuasaan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Saya percaya bahwa Goenawan Mohamad tak akan selamanya menjadi perupa pemula. Ia seorang pekerja yang gigih. Semakin hari ia tampak terus meningkatkan kompetensinya dalam melukis. Hanya saja, sekali lagi, ia terlanjur tidak tabah untuk sedikit lebih lama menjadi perupa pemula.
Demikian dari saya. Kepada GM saya serahkan waktu dan tempat. Silakan berkelit secanggih mungkin. Siapa tahu.