Urgensi Membahas RUU ZNL Ketahanan Keluarga

Hidayat Nur Wahid
Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 | Berkontribusi untuk memberi manfaat yang positif bagi sesama.
Konten dari Pengguna
13 November 2019 5:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Nur Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: beritabojonegoro.com.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: beritabojonegoro.com.
ADVERTISEMENT
Kasus kematian anak berusia 2 tahun berinisial ZNL di tangan ibu kandungnya sendiri, NP, menyisakan kemirisan dan duka yang sangat mendalam. Anak tersebut meninggal dunia setelah dipaksa untuk meminum air galon oleh Ibunya [Republika, (20/10)]. Salah satu motif pembunuhan, adanya kekhawatiran sang Ibu atas ancaman cerai dari suami apabila dia tidak berhasil mengurus anak atau menggemukan badan anaknya. Cara pintas pun dilakukan yang akhirnya berujung kepada kematian anaknya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penyelidikan awal Kepolisian, keluarga tersebut memang mengalami persoalan yang cukup pelik. Dari persoalan ekonomi hingga percekcokan di luar batas yang sangat mengganggu tetangganya. Apalagi, NP juga digambarkan mengalami depresi akibat berbagai persoalan berbagai keluarga itu.
Selain itu, NP dan suaminya juga dikenal kurang bergaul dengan tetangga, sehingga menimbulkan sikap apatis para tetangga. Persoalan-persoalan keluarga dan kehidupan bertetangga yang semakin memudar tentu harus menjadi titik pangkal untuk melihat persoalan ini secara utuh.
Jadi, solusi yang dapat diperoleh tentu akan lebih komprehensif; bukan solusi sesaat yang klise, yakni menghukum pelaku seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera.
Peristiwa yang memilukan ini tentu harus dapat menjadi cambuk bagi pemerintah (dan Dewan Perwakilan Rakyat) untuk menciptakan sebuah peraturan yang benar-benar bisa menjawab persoalan. Memang, instrumen hukum Indonesia saat ini telah memiliki UU Perlindungan Anak yang dianggap bisa menjadi salah satu solusi apabila diterapkan secara baik.
ADVERTISEMENT
Namun, faktanya, peristiwa semacam ini terus saja terjadi walau UU Perlindungan Anak sudah berlaku sejak 2002 dan diperbaharui beberapa kali, terakhir pada 2016 dengan mengatur sanksi yang cukup berat, yakni hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan anak.
Dari situ, kita tentu dapat melakukan evaluasi, bahwa kasus yang dialami oleh ZNL tentu bukan melulu soal perlindungan anak. Namun, persoalan utama yang muncul adalah adanya hubungan yang retak di lingkungan rumah tangga yang selama ini dianggap wilayah privat dan tidak tersentuh oleh aturan hukum. Padahal, hubungan suami-istri atau orang tua-anak atau pun keluarga-tetangga juga memerlukan instrumen hukum yang memadai agar terciptanya hubungan yang harmonis.
Apabila kita menggunakan pendekatan Dekan Havard Law School (1919 – 1936) Roscoe Pound yang menciptakan teori “Law as A Tool of Social Engineering” (hukum adalah alat untuk merekayasa perubahan sosial di masyarakat) tentu instrumen hukum sangat diperlukan.
Ilustrasi keluarga: Shutterstock
Banyaknya persoalan rumah tangga yang berujung kepada sikap depresi anggota keluarga hingga berujung kriminal atau sikap apatis tetangga dengan warga sekitar, yang dirasakan saat ini tentu membutuhkan juga instrumen hukum untuk mengembalikannya ke tatanan semula masyarakat Indonesia, yakni keluarga/masyarakat yang guyub dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Salah satu aturan yang perlu didorong untuk menjawab persoalan tersebut adalah Rancangan Undang-Undang ZNL Ketahanan Keluarga. Selain untuk melindungi institusi keluarga dari kejahatan kriminal, RUU ini juga dibutuhkan untuk melindungi keluarga dari kejahatan siber maupun kejahatan seksual yang terjadi di dalam keluarga.
Selanjutnya, inti dari RUU ini adalah perlunya memaksimalkan pentingnya keluarga, terutama dalam sistem sosial Indonesia yang religius, dan gotong royong.
Lalu, mengapa ada nama ZNL di dalam RUU tersebut? Di beberapa negara, lazim dilakukan menamakan suatu undang-undang menggunakan nama korban. Salah satu contohnya adalah Clery Act (UU Clery) di Amerika Serikat. Judul lengkap UU tersebut adalah “The Jeanne Clery Disclosure of Campus Security Policy and Campus Crime Statistices Act”. UU tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi Jeanne Clery, seorang mahasiswi yang tewas setelah diperkosa di kampusnya.
ADVERTISEMENT
Kisah Jeanne Clery tak kalah tragis sebagaimana yang dialami oleh ZNL. Clery diperkosa dan dibunuh oleh teman kuliahnya. Orang tua Clery menilai peristiwa itu terjadi karena kelalaian pihak universitas yang tidak mengumumkan statistik kejahatan dan wilayah yang berbahaya di dalam kampus. Mereka melakukan advokasi ke Parlemen Amerika Serikat, hingga akhirnya terbit Clery Act, sebuah UU di level federal yang mewajibkan setiap kampus di Amerika Serikat untuk mengumumkan statistik kejahatan dan wilayah yang berbahaya untuk didistribusikan ke para mahasiswa dan calon mahasiswa.
Di Indonesia, penamaan semacam ini memang tidak lazim. Namun, Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah UU No. 15 Tahun 2019, tidak melarang secara spesifik bahwa nama seseorang untuk dijadikan nama UU. Oleh karena itu, RUU ZNL Ketahanan Keluarga secara legal drafting masih dimungkinkan untuk diwujudkan. Bahkan, bila perlu dan memungkinkan, digunakan nama lengkap ZNL.
Ilustrasi anak sedih, anak stres, anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
Namun, di atas semua itu, salah satu poin penting menggunakan nama korban menjadi judul UU terkait adalah bukan hanya sekadar penghormatan bagi korban, tetapi juga ada upaya memasukkan jiwa ke dalam UU tersebut. Tujuannya tentu agar suatu UU tidak hanya bermakna di atas kertas, tetapi juga memiliki roh atau jiwa yang sangat kuat ketika diterapkan di lapangan oleh para pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Alat Kelengkapan DPR beserta anggotanya baru saja disahkan di rapat paripurna, Selasa (29/10), dan kabinet Presiden Joko Widodo juga baru diumumkan beberapa hari lalu. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila RUU ZNL Ketahanan Keluarga ini tidak hanya dimasukkan ke dalam Prolegnas lima tahunan, tetapi juga perlu menjadi Prioritas Pembahasan 2020 di Komisi VIII DPR. Agar tidak ada lagi anak-anak Indonesia bernasib seburuk ZNL akibat retaknya hubungan keluarga sehingga menimbulkan depresi. Mari kita perjuangkan bersama!