Bahaya Suap pada Kasus Jual-Beli Listrik

Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategic | Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2008-2018)
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2018 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hifdzil Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Menerima Uang Suap (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Menerima Uang Suap (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Oleh Hifdzil Alim
Deputi Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
ADVERTISEMENT
Dugaan kasus suap di seputar perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) untuk proyek PLTU Riau-1 menyeret nama baru sebagai tersangka. Mantan Menteri Sosial Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Yang menarik adalah Idrus mundur dari kursi Menteri Sosial beberapa jam lebih dulu daripada pengumuman statusnya itu (kumparan, 25/8/2018).
Banyak yang mengapresiasi langkah mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar tersebut. Ini hal yang tidak biasa di Indonesia. Setidaknya jika dibandingkan dengan langkah mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Masih terekam di benak publik bagaimana usaha yang dilakukan oleh Setya Novanto ketika dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi KTP Elektronik.
Idrus ingin fokus pada kasus hukum yang sedang menjeratnya. Tampaknya ia tidak ingin membebani pemerintah dan partai dalam upaya menyelesaikan perkara hukumnya. Ketua Partai Golkar Airlangga Hartanto mengonfirmasi asumsi tersebut. Bahkan partai berlambang pohon beringin itu mengambil langkah cepat menggantikan Idrus dengan Kahar Muzakkir di kursi kepengurusan partai.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, ihwal peran Idrus dalam korupsi jual beli listrik untuk PLTU Riau-1 menarik untuk didiskusikan. Keterangan pers KPK—yang juga dilansir media massa—pada pokoknya menyatakan bahwa Idrus menerima suap dan menggunakan pengaruhnya untuk memuluskan deal proyek. Ia ditengarai mengetahui kasus itu sedari dulu. Bahkan kemungkinan memberikan dukungan atas terjadinya tindak pidana korupsi. Lagi-lagi, suap membuat pejabat negara tak berkutik.
Suap lebih susah dibongkar dibandingkan jenis korupsi lainnya. Ketika penyuap dan yang disuap tutup mulut, maka simpul untuk mengurai kasus itu menjadi sangat susah. Menilik pada pengalaman komisi antikorupsi dalam memeriksa kasus suap, dibutuhkan waktu yang cukup lama dan tenaga yang ekstra, kecuali antara penyuap dan yang disuap ada yang buka mulut. Akan tetapi, peluang untuk harapan demikian kecil sekali.
ADVERTISEMENT
Suap sangatlah berbahaya. Kejahatan ini dalam jangka pendek mengikis integritas penyelenggara atau pejabat negara sehingga menghasilkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Dalam jangka panjang, suap akan membuat biaya produksi menjadi sangat mahal. Dalam kasus jual beli listrik PLTU Riau-1, suap ini membuat proyek jadi tidak bagus.
Logikanya begini, pertama, suap yang diberikan oleh rekanan tertentu, bakal meminggirkan rekanan yang sebenarnya memiliki kompetensi lebih baik dalam mengelola proyek. Alhasil, proyek akan dilaksanakan oleh rekanan yang kurang tepat. Alih-alih proyek mencapai tujuannya, yang tersedia malah kebalikannya, proyek akan didesain ala kadarnya saja. Tampak bagus dari luar, tetapi bobrok di dalam.
Kemudian, biaya proyek yang seharusnya sudah dihitung dengan cermat, akan dikurangi karena dipakai untuk menutup anggaran yang sudah digunakan untuk suap. Ini sangat berbahaya. Biaya untuk membeli komponen diambil, komponen yang dibeli bukan kelas satu. Dalam proyek infrastruktur, misalnya, akan menyebabkan infrastruktur tidak berumur lama karena rangkanya tidak berkualitas. Bayangkan jika infrastruktur tersebut berupa jembatan? Niscaya akan membahayakan!
ADVERTISEMENT
Langkah mundur Idrus patut diapresiasi. Tetapi lebih penting lagi adalah Idrus harus mau bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus suap di seputar jual beli listrik ini. Opsi tepat untuk meletakkan jabatannya harus diikuti dengan niat untuk menebus dosa korupsinya—jika terbukti secara hukum—dengan cara memberikan keterangan yang presisi kepada KPK. Selanjutnya, biarkan KPK menyelesaikan penyidikannya dan menyeret para pelaku tindak pidana suap agar bahaya suap dapat dicegah dan dihentikan.
Hifdzil Alim, Deputi Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Hifdzil Alim, Deputi Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM (Foto: Dok. Istimewa)