Mematuhi Prinsip Pengadaan

Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategic | Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2008-2018)
Konten dari Pengguna
18 September 2018 11:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hifdzil Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demo tuntut kembalikan aset kemenpora dari Roy Suryo di depan DPP Demokrat, Jumat (14/9/18). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Demo tuntut kembalikan aset kemenpora dari Roy Suryo di depan DPP Demokrat, Jumat (14/9/18). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kasus pembelian serta pengembalian barang di tubuh Kementerian Pemuda dan Olahraga mencuat ke publik. Hal tersebut bermula dari Surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, bernomor 5.2.3/SET.BIII/V/2018 tanggal 1 Mei 2018 perihal Pengembalian Barang Milik Negara (BMN) yang ditujukan kepada Roy Suryo (Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga).
ADVERTISEMENT
Surat yang sudah menyebar ke masyarakat itu pada intinya berisi permintaan Kemenpora ke Roy Suryo agar mengembalikan 3.226 unit Barang Milik Negara yang diduga masih berada di tangannya.
Alasan Kemenpora adalah terhadap barang-barang tersebut akan dilaksanakan inventarisasi sehingga pengelolaan BMN di Kemenpora memenuhi akuntabilitas dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tak hanya tentang pengembalian BMN, hal lain yang juga jadi polemik adalah—seperti diberitakan oleh kumparan, Catutan si Roy, 17 September 2018 9:15 WIB— adanya laporan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2014 yang mengutip penjelasan dari Kasubag Pengadaan yang menyatakan:
“...pengadaan peralatan untuk RS dibuat dengan cara reimburse yang kemudian ditagihkan ke Bagian Perlengkapan, selanjutnya dibuat seolah-olah menggunakan mekanisme penunjukan langsung.” Roy Suryo—melalui juru bicaranya—menolak laporan ini.
ADVERTISEMENT
Polemik antara Kemenpora—yang didukung laporan BPK—dan Roy Suryo membuka (lagi) asumsi atas tidak beresnya pengadaan barang dan jasa (PBJ) di Kementerian. Sudah menjadi fakta, kasus PBJ ini dalam beberapa perkara akan mengarah ke tuduhan tindak pidana korupsi.
Laporan Tahunan KPK pada 2016 menginformasikan bahwa dari 99 modus korupsi yang kerap dipakai oleh pelaku korupsi, modus PBJ menempati peringkat kedua terbanyak (14 kali). Peringkat pertama ditempati modus penyuapan (79 kali).
Persoalannya adalah meski sudah banyak kasus korupsi yang menjerat pelaku dari lingkungan eksekutif, kenapa korupsi PBJ seperti berulang lagi dan lagi? Kemungkinan pertama adalah minimnya tingkat kepatuhan pejabat negara terhadap prinsip PBJ.
Dalam aturan PBJ, Perpres No. 16 Tahun 2018, setiap pengadaan barang/jasa pemerintah wajib menerapkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Prinsip ini tidak berubah dari peraturan PBJ yang lama, yakni Perpres No. 54 Tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Prinsip pengadaan sangat penting dipatuhi. Pertama, karena prinsip tersebut menjadi batasan atas penilaian terhadap pelaksanaan pengadaan. Sebuah pengadaan yang tak akuntabel, misalnya, akan dapat menimbulkan sangkaan-sangkaan pelanggaran hukum.
Kedua, dicederainya prinsip pengadaan akan merugikan pelaksana pengadaan sendiri. Sebab, pelaksana akan susah memberikan penjelasan kepada auditor tentang kenapa dalam situasi yang umum harus memecah pengadaan dalam item-item yang kecil? Atau sangkaan seperti kenapa dibeli peralatan yang tidak atau kurang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi/lembaga?
Sangkaan demikian tidak akan muncul jika pelaksana pengadaan membuat terlebih dahulu daftar kebutuhan dan sudah melalui filter kebutuhan dari masing-masing instansi/atau lembaga.
Kemungkinan kedua berulangnya korupsi di PBJ adalah sifat serakah (greedy) dari pelaksana pengadaan. Korupsi karena kebutuhan (corruption by needs) mungkin bisa dicegah dengan menerapkan penghargaan dan hukuman (rewards and punishments) atau insentif dan disinsentif (stick and carrot). Namun, tidak halnya untuk korupsi karena keserakahan (corruption by greeds). Korupsi jenis ini sangat sulit diberantas.
ADVERTISEMENT
Pelaku korupsi karena keserakahan tak akan merasa cukup atas apa yang dimilikinya sehingga berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi dengan jalan melawan hukum. Keserakahan sering dipicu oleh gaya hidup, lingkungan pertemanan, gengsi jabatan, dan sifat meng-Aku-kan diri.
Cara melawan hukum untuk menambah pundi hartanya atau memuaskan syahwat—yang tak pernah terpuaskan—itu adalah dengan memanipulasi aturan. Seakan-akan proses pengadaannya legal, tetapi sejatinya ilegal.
Korupsi karena keserakahan semakin menjadi benalu apalagi ketika ditopang dengan aji mumpung. Mumpung punya jabatan, maka membuat aturan atau memerintahkan saja anak buahnya untuk menyediakan fasilitas pribadi dari anggaran-anggaran yang sudah ditetapkan dalam pagu instansi/lembaga.
ADVERTISEMENT
Apakah mengadakan sarana pendukung untuk pelaksanaan kewenangan tidak boleh? Boleh saja. Sepanjang sesuai dengan aturan umum dan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Itulah kenapa pada posisi demikian, korupsi karena keserakahan sering tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas pengadaan.
Belajar dari kasus korupsi PBJ di instansi/lembaga, penting kiranya dipatrikan lagi prinsip-prinsip pengadaan dalam setiap PBJ. Tahapan awal dari penerapan prinsip pengadaan adalah dengan memastikan perencanaan pengadaan yang dapat dipotret oleh semua pihak.
Tidak mengadakan pengadaan dengan “diam-diam”. Semua harus ditaruh di atas meja, bukan di bawah meja. Jika tahapan awal ini dipenuhi, setidaknya 50 persen proses pengadaan tersebut kemungkinan besar akan menjadi bersih dari lumut-lumut korupsi.
*Hifdzil Alim, Ketua LPBH PWNU DIY; Pegiat Antikorupsi
ADVERTISEMENT