Mengkorupsi Lapas

Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategic | Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2008-2018)
Konten dari Pengguna
23 Juli 2018 11:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hifdzil Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak dalam Lapas Sukamiskin, Bandung. (Foto: Instagram/lapas1sukamiskin)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak dalam Lapas Sukamiskin, Bandung. (Foto: Instagram/lapas1sukamiskin)
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Wahid Husen, (21/7/2017). Operasi ini dilakukan terkait laporan tentang jual beli izin berobat yang dikeluarkan oleh kepala lapas. Sehari setelah OTT, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham melakukan razia di penjara khusus koruptor itu (kumparan, 22/7/2018).
ADVERTISEMENT
Wahid Husen baru empat bulan menjabat sebagai orang nomor satu di Lapas Sukamiskin. Ketika dilantik, ia berjanji untuk memperketat izin berobat bagi para narapidana kasus korupsi. Ternyata, ikrarnya itu sementara ini hanyalah pepesan kosong. Praktik lancung digelar di atas sumpah jabatannya. Lapas melenceng dari tujuannya. Mengapa si kepala lapas berani mengkorupsi lapas sedemikian rupa?
Mencederai tujuan
Eksistensi lapas diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995. Lapas adalah sebuah lembaga dari sistem yang diselenggarakan negara untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari sistem itu adalah menyiapkan narapidana supaya menjadi manusia seutuhnya. Selanjutnya, diharapkan ia menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.
Idealnya, sistem di lapas memungkinkan mantan narapidana masuk kembali ke lingkungan masyarakat serta mampu berinteraksi dengan sekitarnya. Ia mampu berperan aktif dalam ritme kehidupan sosial, menjadi warga yang bebas, bertanggung jawab, menjadi saksi hidup yang dapat menceritakan pengalaman pahitnya ke khalayak sebagai sebuah pelajaran yang berharga—untuk tidak dilakukan.
ADVERTISEMENT
Tujuan lapas sangatlah mulia—terlepas dari beberapa aspek dalam sistem pembinaan warga pemasyarakatan yang perlu diubah untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Lama sebelum ada OTT, suara miring publik terhadap lapas terdengar sayup-sayup. Masyarakat memiliki pandangan sendiri terhadap tempat “mencuci” dosa para penjahat tersebut. Tempat itu “kotor”, transaksional, dan penuh kepura-puraan. Meski tidak serupa, argumentasi publik itu berdiri di atas basis hasil inspeksi mendadak Satuan Tugas Mafia Hukum kepada penghuni rumah tahanan Pondok Bambu atas nama Artalita Suryani pada awal tahun 2010.
Ruang tahanan si pesakitan disulap bak hotel berbintang. Tersedia televisi, pendingin ruangan, lemari es, dan serentetan barang mewah lainnya. Publik geram, marah, dan antipati terhadap petugas penjaga rumah tahanan. Sekarang sikap itu terulang lagi karena ulah kepala lapas Sukamiskin.
ADVERTISEMENT
Memotong rantai
KPK mengatakan, kepala lapas Sukamiskin melakukan kejahatannya dengan terang-terangan (kumparan, 22/07/2018). Kejahatan dilakukan tanpa tedeng aling-aling. Harga per kamar dipatok antara Rp 200 juta sampai Rp 500 juta. Mobil mewah diminta-antarkan ke rumahnya. Bahkan untuk permintaan itu, dealer mobil tertentu kenalan si kepala lapas langsung ditunjuk, tanpa malu-malu. Suap dilakukan dengan telanjang.
Dalam teori pemberantasan korupsi, suap dikenal sebagai jenis korupsi yang susah sekali dibuktikan. Selama si penyuap dan yang disuap tutup mulut, selama itu juga kejahatan suap tak terbongkar—kecuali dilakukan penyadapan dan pengintaian kepada pelaku.
Kalapas Sukamiskin Wahid Husen resmi ditahan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kalapas Sukamiskin Wahid Husen resmi ditahan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Kenapa kepala lapas Sukamiskin berani menerima suap dari narapidana korupsi? Kemungkinan minimal ada tiga penyebabnya. Pertama, Wahid Husen memiliki tingkat keserakahan yang tak terkontrol. Hidup serba mewah, gaya hidup berlebihan, serta hedonisme tak bertuan menjadi pemicu suap yang sangat kuat. Rumah besar yang dimiliki kepala lapas mengindikasikan hal itu. Keserakahan adalah penyakit utama penyebab korupsi.
ADVERTISEMENT
Kedua, narapidana korupsi masih memiliki akses terhadap uangnya. Kasus yang bisa dijadikan contoh adalah kasus keluar-masuknya narapidana Gayus Tambunan. Kabarnya, Gayus menyodorkan uang minimal Rp 5 juta untuk sekali keluar sebentar dari lapas. Dirinya bisa menikmati pertandingan tenis skala internasional di Bali. Meski sudah divonis, tetapi akses Gayus terhadap uangnya masih terbuka lebar. Akibatnya, dia mudah saja mengeluarkan uang itu untuk menyuap sipir lapas.
Ketiga, pengawasan dari atas ke bawah di lapas terasa renggang. Dalam satu tahun, sedikit sekali dilakukan inspeksi atasan ke setiap lapas. Hasilnya, kepala lapas merasa nyaman di singgasananya. Ia bagai dewa yang disembah oleh narapidana dengan sesajen rupiah atau bermacam fasilitas.
Rantai suap dan laku korupsi di lapas harus dipotong secepatnya. Caranya, pertama, meneguhkan kembali integritas para petugas lapas. Mereka harus diingatkan akan bahaya korupsi. Bila tak bisa diperingatkan, copot atau pecat saja langsung. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?
ADVERTISEMENT
Kedua, pemidanaan terhadap koruptor harus ditujukan juga terhadap uangnya. Sekarang perlu dimulai untuk memiskinkan pelaku korupsi melalui tuntutan pidana dan putusan pengadilan atas hasil kejahatannya dan harta potensial yang dihasilkan dari korupsi. Percayalah, koruptor itu masih jumawa jika dia masih punya uang. Jika disita uangnya, maka setengah badannya akan lumpuh, dan dia akan susah menyuap karena tidak ada lagi yang dipakai untuk menyuap.
Ketiga, pengawasan atasan terhadap petugas lapas mesti menjadi rukun penegakan dan pencapaian tujuan lapas. Ditjen lapas perlu lebih intensif melakukan turba (turun ke bawah) secara tiba-tiba. Terapi kejut sangat bagus untuk memastikan jantung lapas tetap berdetak sesuai filosofinya.