PR Kubu Prabowo-Sandi: Soliditas Tim dan Gaya Emosional Prabowo

Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategic | Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2008-2018)
Konten dari Pengguna
26 Desember 2018 13:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hifdzil Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paslon Capres - Cawapres Nomor 2, Prabowo dan Sandiaga Tiba di Monas (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Paslon Capres - Cawapres Nomor 2, Prabowo dan Sandiaga Tiba di Monas (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perkembangan isu strategi tim kampanye pada pilihan presiden kali ini menemui babak baru. Terlebih lagi, paruh pertama kampanye (sejak penetapan KPU-Desember 2018) nyaris usai.
ADVERTISEMENT
Gelaran paruh kedua kampanye (Januari-April 2019) segera dimulai. Tentu saja, kedua tim kampanye, baik dari Pasangan Calon Nomor Urut 02 maupun Petahana, akan lebih aktif melakukan propaganda ke hadapan khalayak.
Kali ini, HICON Law & Policy Strategic akan mencoba menganalisa dan menakar: apa yang terjadi pada kubu tim kampanye Prabowo Sandiaga Uno. Terutama di penghujung kampanye paruh pertama. Khususnya pada isu soliditas tim kampanye dan gejolak emosional pada diri Prabowo.
Soliditas Tim
Prabowo Subianto menghadiri deklarasi Relawan Rhoma Irama for PAS di Depok. Dok. Raga Imam/kumparan (Foto: Raga Imam)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto menghadiri deklarasi Relawan Rhoma Irama for PAS di Depok. Dok. Raga Imam/kumparan (Foto: Raga Imam)
Berbeda dengan Petahana, tim kampanye Prabowo-Sandi sangat cair. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sama-sama berasal dari Partai Gerindra. Diperlukan strategi khusus agar partai lain mau menerima pasangan ini. Persoalannya adalah; apakah partai yang lain mau menerima begitu saja kenyataan tersebut?
ADVERTISEMENT
Jawabannya ada di lapangan. Puluhan kader PAN di Sumsel rela melanggar perintah partai. Beberapa kader Partai Demokrat juga demikian. Mendukung Petahana. Sama sekali berbeda dengan instruksi partai yang mendukung Prabowo-Sandi.
Fenomena ini menarik untuk dilihat dan dicermati. Dan baru-baru ini, Nasrullah (Bendahara Umum PAN) mengajukan pengunduran diri. Alasan tidak cocok dengan manajemen PAN dan tidak ada hubungannya dengan pilpres, menjadi sinyal kuat. Ada persoalan koordinasi di tubuh PAN. Dan posisi bendahara di tubuh partai adalah posisi vital.
Jika mau merujuk pada soliditas, maka Prabowo-Sandi hanya berharap tuntas pada dukungan Gerindra dan PKS. Meskipun kekuatan PKS juga kembali dipertanyakan. Ini lantaran beberapa kadernya juga mendukung Jokowi.
Meski hal ini dibantah. Tapi pada kenyataannya, kader PKS di Bali mengundurkan diri. Bahkan Gubernur NTB terpilih, Zulkieflimansyah, bersama wakilnya, mendeklarasikan untuk mendukung Petahana.
ADVERTISEMENT
Ini semua menjadi sinyal kuat, bahwa kubu Prabowo-Sandi bersama tim kampanyenya mesti berpikir keras. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana membangun soliditas partai untuk meraih dukungan.
Pada paruh kedua kampanye, hal ini memberatkan posisi Prabowo-Sandi. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa pemilu dilaksanakan secara bersamaan; antara pilpres dan pileg. Calon anggota legislatif harus mengerjakan pekerjaan ganda. Terpilih sekaligus menyosialisasikan calon presiden yang diusung partainya.
Sifat Emosional Prabowo
Prabowo Subianto memberikan sambutan dalam Gala Dinner bersama Pengusaha Tionghoa di Jakarta, Jumat (7/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto memberikan sambutan dalam Gala Dinner bersama Pengusaha Tionghoa di Jakarta, Jumat (7/12). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak enteng. Publik telah melihat bagaimana sikap dan sifat Prabowo yang cenderung emosional. Pilihan kosakatanya dan gaya komunikasinya banyak yang tidak pas. Publik menilai, apa yang dilakukan Prabowo Subianto mirip strategi Donald Trump di Amerika.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari benar atau tidaknya penilaian itu, HICON Law & Policy Strategic melihat, gaya itu tak sesuai dengan budaya banyak masyarakat di Indonesia. Belum tampak sifat mengayomi yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang pemimpin.
Kesan yang ditunjukkan malah kontraproduktif dengan apa yang seharusnya dilakukan. Tampil keras dan garang bisa jadi menunjukkan gaya bagaimana kelak jika Prabowo Subianto memimpin bangsa. Ini tentu saja merugikan.
Jika dua hal itu: soliditas partai pengusung dan gaya emosional Prabowo Subianto tidak dibenahi di paruh kedua kampanye, sulit bagi Prabowo-Sandi untuk bisa memenangkan pertarungan melawan Petahana.
________
Yogyakarta, 26 Desember 2018
Hifdzil Alim (Direktur)
Puguh Windrawan (Kepala Departemen Politik)