Apa dan Bagaimana Suap Perizinan Meikarta yang Diusut KPK

Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategic | Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2008-2018)
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2018 13:10 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hifdzil Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Billy Sindoro. (Foto: Instagram/@ ccmychurch)
zoom-in-whitePerbesar
Billy Sindoro. (Foto: Instagram/@ ccmychurch)
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan. Kali ini yang dijerat adalah Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro. Ia digelandang bersama beberapa orang manajemen Lippo Group.
ADVERTISEMENT
Pasca penangkapan, KPK mengembangkan hasil operasinya, kemudian menetapkan Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin serta beberapa kepala dinas Pemkab Bekasi sebagai tersangka penerima suap (kumparan, 15/10/2018).
Kabarnya ada uang sebesar Rp 13 miliar yang akan dialirkan ke Bupati Bekasi beserta anak buahnya. Uang itu diniatkan untuk mempermudah pengurusan izin proyek pembangunan super blok Meikarta di Cikarang.
kumparan mencatat, bukan kali ini saja Billy Sindoro berurusan dengan komisi antikorupsi. Sebelumnya, ia pernah diproses hukum karena menyuap anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha M. Iqbal pada 2008. Suap ditujukan untuk mempengaruhi putusan KPPU terhadap pemeriksaan dugaan pelanggaran hak siar pertandingan sepak bola liga utama Inggris (Barclays Premier League).
Duit suap Meikarta. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Duit suap Meikarta. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Kembali ke kasus suap Meikarta, apa kemungkinan penyebab Billy Sindoro—atau bisa jadi Lippo Group—menyuap Bupati Bekasi serta pejabat di lingkungan Pemkab Bekasi? Bukankah sekarang pengurusan izin sudah semakin mudah dan murah?
ADVERTISEMENT
Pada 20 Juli 2018, sebenarnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Perpres ini merupakan kebijakan hukum yang sangat penting bagi aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dalam Pasal 3 Perpres 54/2018, Pemerintah menekankan strategi pencegahan korupsi di tiga sektor. Salah satunya adalah sektor perizinan dan tata niaga. Lampiran Perpres menyebutkan alasan kenapa sektor perizinan menjadi prioritas pemberantasan korupsi, yakni karena “Korupsi di perizinan menghambat kemudahan berusaha dan investasi, pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja.”
Pemerintah juga memotret tantangan berat dalam menerapkan laku antikorupsi di sektor perizinan. Misalnya, masih banyak regulasi yang mengatur kewenangan perizinan; masih adanya instansi teknis yang belum melimpahkan kewenangan menerbitkan izin ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP); serta masih terbatasnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan perizinan.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, suap perizinan Meikarta juga dipicu oleh situasi dan kondisi perizinan sebagaimana dipotret oleh pemerintah.
Dari sisi penyuap, sangat mungkin situasi perizinan yang masih rentan mudah diterobos. Pilihan untuk lebih cepat mendapatkan lokasi proyek tanpa bertele-tele dilakukan cek terhadap lokasi akan diambil.
Padahal sebelum membangun hunian super blok, harus terlebih dulu dipastikan, misalnya, apakah rencana lokasinya masuk jalur hijau (dilarang membangun bangunan) atau terdapat kebijakan lain yang mencegah pembangunan. Suap menjadi minyak pelicin untuk mengendorkan aturan dan kebijakan pemerintah.
Tantangan perizinan bersih, seperti regulasi yang tumpah tindih, belum satu pintunya pengurusan izin, serta minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan perizinan, adalah beberapa faktor yang memicu suap. Faktor ini yang kemungkinan menjadi penyebab Billy Sindoro berani mengalirkan uang sampai miliaran rupiah ke Bupati Bekasi dan anak buahnya.
KPK menggelandang masuk Bupati Bekasi, Neneng Nurhasanah Yasin, masuk ke gedung KPK. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
KPK menggelandang masuk Bupati Bekasi, Neneng Nurhasanah Yasin, masuk ke gedung KPK. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Lalu dari sisi penerima suap, apa kemungkinan penyebab mereka dengan lancung menadah guyuran uang suap? Saya pernah membahasnya di kumparan dengan judul opini 'Mengorupsi Lapas' (23/07/2018). Meski berbeda sektor antara suap di Lembaga Pemasyarakatan dan perizinan bisnis, tetapi dari sudut penerima, hampir kemungkinan penyebabnya sama.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada tiga kemungkinan penyebab suap dari sudut penerima suap.
Pertama, tingkat keserakahan (greedy level) pejabat yang tidak terkontrol. Kedua, renggangnya pengawasan melekat maupun pengawasan masayarakat terhadap kewenangan pejabat. Ketiga—ini yang juga membedakan antara pejabat publik-eksekutif-ditunjuk dan pejabat-eksekutif-dipilih—biaya politik yang melampaui batas wajar.
Tidak ada makan siang gratis. Tatkala biaya politik untuk pemilihan kepala daerah melampaui batas wajar, maka duit yang sudah dikeluarkan harus dikembalikan—jika ia terpilih tentunya sebagai kepala daerah. Sebagian besar cara mengembalikan biaya politik super banyak tersebut ditempuh dengan dua cara.
Pertama, mengakali proses pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah. Kedua, menerima suap. Bentuk suap ini, contohnya, dengan mengobral izin tertentu, seperti di kasus dugaan suap Meikarta. Di kehutanan, misalnya, menghamburkan izin untuk pengelolaan hutan maupun hasil hutan. Dan banyak lagi lainnya.
ADVERTISEMENT
Suap di sektor perizinan harus diberantas. Pemerintah telah menawarkan resep pencegahannya—melalui Perpres 54/2018. Penegak hukum juga sudah menjalankan kewenangannya. Kemudian masyarakatpun memiliki progresifitas yang cukup baik dalam upaya pemberantasan korupsi—melalui pelaporan tak bernama. Semoga konsistensi demikian tetap terjaga demi Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi.