Dilema Mahalnya Tiket Pesawat dan Penghormatan untuk Leluhur

Konten Media Partner
26 Maret 2019 7:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Tionghoa melakukan ritual sembahyang kubur di kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Teri Bulat
zoom-in-whitePerbesar
Warga Tionghoa melakukan ritual sembahyang kubur di kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Teri Bulat
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Mahalnya harga tiket penerbangan domestik rute Jakarta-Pontianak beberapa hari terakhir, agaknya mempengaruhi ritual 'Sembahyang Kubur' yang selalu dilakukan warga Tionghoa di Pontianak.
ADVERTISEMENT
Seharusnya ritual sembahyang ziarah kubur tersebut rutin diselenggarakan setiap dua kali dalam satu tahun, yakni pada bulan Maret dan Agustus. Namun karena mahalnya harga penerbangan, para masyarakat Tionghoa dari luar Pontianak cukup kesulitan pulang ke kampung halamannya.
Rian, misalnya. Peziarah asal Jakarta ini mengunjungi makam leluhurnya di Pemakaman Yayasan Bakti Suci Jalan Adisucipto, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ia mengaku sempat mengalami kendala saat mudik untuk ziarah kubur ke Pontianak.
"Kita kan memang setiap tahun ke sini. Jadi kemarin pas rencana mau ke Pontianak, lihat harga tiket cukup melonjak luar biasa. Bisa sampai Rp 2 juta-an, karena memang banyak yang mau pulang untuk sembahyang kubur ke Pontianak," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Rian mengatakan, tradisi sembahyang ziarah kubur tersebut dilakukan sebagai wujud rasa sayang dan terima kasih kepada orang tua dan keluarga. Selain itu, ritual ini pun melambangkan pengabdian anak kepada leluhur yang telah diajarkan turun-temurun. Namun akibat mahalnya tiket pesawat mau tak mau memaksanya merogoh kocek lebih dalam.
Lalu seberapa pentingkah tradisi ini untuk masyarakat Tionghoa? Menurut Budayawan Tionghoa Kalimantan Barat, X.F. Asali, pada bukunya yang berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, sembahyang ziarah kubur dilakukan setiap dua kali dalam setahun, yaitu sembahyang Ching Ming dan Cung Yuan.
Sembahyang ziarah kubur bertujuan untuk membersihkan makam leluhur, orang tua, atau keluarga. Selain itu, sembahyang ziarah kubur juga menjadi momen berkumpul dengan sanak keluarga.
Warga Tionghoa membakar kertas doa, untuk dipersembahkan kepada leluhurnya. Foto: Teri Bulat
Sembahyang ziarah kubur sebagian besar dilakukan oleh etnis Tionghoa penganut Budha, Taoisme, Kong Hu Cu, dan lain-lain. Sembahyang Ching Ming dilakukan berkisar awal bulan April tahun Masehi, sedangkan sembahyang Cung Yuan dilakukan pada mulai tanggal satu sampai dengan 15, bulan ke-7 Imlek.
ADVERTISEMENT
Acara puncak sembahyang ziarah kubur adalah pembakaran kertas, yang berisi segala kebutuhan sehari-hari di dunia fana, baik yang terbuat dari kertas. Sedangkan sembahyang rebut merupakan acara rebut dari persembahan sembahyang, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daging, dan kue.
Tradisi budaya Tionghoa tersebut sudah dijalankan lebih dari 4696 tahun lamanya. Peziarah berbagai daerah mengunjungi kawasan pemakaman tersebut sambil melakukan persembahan, doa, dan membersihkan makam.
Bagi warga Tionghoa, berziarah tanpa membawa makanan atau bingkisan dinilai kurang pantas. Itu sebabnya hampir setiap peziarah yang datang membawa bingkisan berupa daging, buah-buahan, kue, dan replika uang kertas untuk sembahyang.
"Jadi, memang kita setahun sekali memang selalu pulang ke Pontianak, untuk sembahyang kubur orang tua. Selain wujud syukur, ini juga merupakan tanda kalau kita masih mewarisi tradisi leluhur, dan terima kasih kita kepada orang tua. Ini makanan, nanti dibawa pulang lagi, biasanya kita berikan kepada yang lebih membutuhkan," kata Rian.
Kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Teri Bulat
(hp8)
ADVERTISEMENT