news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Pria di Pontianak yang Masih Bertahan Jual Tiket Offline

Konten Media Partner
7 Januari 2020 13:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Riski, agen perjalanan dan penjual tiket perjalanan yang masih mempertahankan cara konvensional. Foto: Lydia Salsabila/Hi!Pontianak
zoom-in-whitePerbesar
Riski, agen perjalanan dan penjual tiket perjalanan yang masih mempertahankan cara konvensional. Foto: Lydia Salsabila/Hi!Pontianak
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Seiring berjalannya waktu, gaya hidup kita kini sudah berkiblat pada dunia digital. Semua yang dulunya dilakukan secara manual, sekarang nampak lebih mudah, karena adanya internet.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya dengan tren travel online yang sedang marak dimanfaatkan oleh kebanyakan orang, termasuk kita para pemburu tiket murah. Para traveller yang sebelumnya memesan tiket, hotel atau paket perjalanan, melalui agen tour travel kini mulai berganti ke online travel agent yang lebih mudah dan praktis.
Perkembangan ini pun mengakibatkan beberapa bisnis agen perjalanan yang menggunakan cara konvensional, seperti travel agent mulai berguguran. Namun ada pula yang masih bertahan. Salah satunya travel agent milik Riski yang beroperasi di Pontianak, Kalimantan Barat. Bersama mobil tuanya, usaha travel yang dikelola oleh Riski ini, telah berjalan sekitar 30 tahun.
Saat ditemui Hi!Pontianak, pada Senin (6/1) malam di kawasan Kota Baru, Pontianak, pria yang juga bekerja sebagai pengajar di SMPN 19 Pontianak ini, tak menampik bahwa era digital sedikit mempengaruhi usahanya. Namun baginya era digital hanyalah sebuah sistem yang diperuntukkan untuk mempermudah, bukan menggeser atau menggantikan travel agen konvensional, yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Seorang warga Pontianak membeli tiket di Riski Travel, agen perjalanan dan penjual tiket perjalanan yang masih mempertahankan cara konvensional. Foto: Lydia Salsabila/Hi!Pontianak
“Walaupun sekarang sudah serba canggih, tapi tetap ada orang-orang yang sedikit lambat ketika diajak ke ranah digital. Seperti orang tua, agak susah. Jadi itu yang membuat saya bertahan dan tetap mengutamakan konvensional. Tujuan saya bertahan ini, yang penting berkahnya. Walapun kecil, tetapi berkah," ujarnya.
Riski menambahkan, alasan memilih untuk bertahan melakukan bisnis travel secara konvesional cukup sederhana, yakni untuk mencari teman.
"Kita bukan cuman jualan tiket, tapi juga cari kawan. Kalau secara konvensional kan bertemu secara langsung, tatap muka. Terus kalau mereka ada kendala saat melakukan perjalanan bisa menghubungi kita dengan santai, lebih mudah untuk menjelaskannya," paparnya.
Riski membuka lapak penjualan tiket perjalanan di sebuah mobil minibus, sejak 30 tahun lalu. Foto: Lydia Salsabila/Hi!Pontianak
Berkenaan dengan hal tersebut, Riski memyebutkan saat libur akhir tahun kemarin, pembelian tiket di konternya masih normal. Konsumen masih mencari tiket di tempatnya. Meskipun tak mendapat keuntungan cukup besar, dirinya mengaku senang bisa membantu konsumen untuk mendapatkan tiket liburan.
ADVERTISEMENT
"Liburan panjang kemarin lumayan juga, masih ada yang pesan tiket di sini. Meskipun tidak banyak seperti dulu, tapi itu tidak menjadi target saya. Rezeki, saya serahkan kepada Allah. Biar kecil dapat rezeki, yang penting berkah, dapat membantu yang lain juga," ungkapnya.
Karena pekerjaan utamanya sebagai pengajar, layanan jasa travelnya ini pun hanya buka pada malam hari. Namun, Riski memaparkan, beberapa konsumen juga terkadang ada yang memesan di siang hari.
Amplop yang biasa digunakan Riski untuk menyimpan tiket yang dibeli pelanggannya.
"Pagi sampai sore saya menyelesaikan pekerjaan rutin saya sebagai guru. Malamnya, setelah salat magrib, baru saya jualan tiket. Biar berkah. Tapi terkadang ada juga pembeli yang pesan di siang hari, tetap saya ladeni juga. Tutupnya juga tergantung, kalau masih ada yang cari sampai tengah malam, saya juga masih ladeni. Sampai menurut saya sepi, baru saya pulang," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Riski bercerita, pekerjaan sampingannya ini pun sempat dicegah oleh keluarga. Namun karena tekad ingin membantu dan telah menjadi kebiasaan, keluarga pun akhirnya telah terbiasa.
"Jualan seperti ini, bikin happy. Penyakit hilang. Ibarat diam di rumah bisa tekanan tinggi, strok nanti lama-lama. Tapi kalo di sini, pikiran hilang. Liat sepeda motor lalu lalang, jadi pikiran hilang. Kadang-kadnmg orang rumah melarang, tapi ya mau gimana lagi. Sudah hobi, suka, jadi sudah tidak heran mereka," terangnya.
Riski pun tak terlalu berharap banyak akan usahanya ini. Ia hanya ingin membantu pelanggan, dan yang terpenting baginya adalah berkah.