Merahjingga Kritik Patriarki Lewat Musik

Konten Media Partner
12 September 2019 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lewat musik Merahjingga menyuarakan kritik terhadap budaya patriarki. Foto: Dok Rendy Mahardhika
zoom-in-whitePerbesar
Lewat musik Merahjingga menyuarakan kritik terhadap budaya patriarki. Foto: Dok Rendy Mahardhika
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Merahjingga merupakan band indie yang berasal dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Merahjinggga hadir dengan nuansa baru, berbalut haluan musik kontemporer folt etnik, dan karyanya sarat kritik terhadap kondisi sosial, lingkungan, HAM dan spiritualis.
ADVERTISEMENT
"Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan alam. Merahjingga konsisten mengampanyekan persoal-persoalan tersebut dari panggung ke panggung, hingga media sosial mereka serta kehidupan sehari-harinya," kata Bara Pratama, Manager Merahjingga kepada Hi!Pontianak, Kamis (12/9).
Merahjingga telah merilis single dan video pada akun youtube mereka. Lagu tersebut berjudul Hawa Sudut Jingga. Lagu tersebut berisi kritik keras atas persoalan gender.
Merahjingga band indie asal Kota Pontianak, Kalbar memberikan warna baru dalam karyanya. Foto: Dok Fariz Taufan
"Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang dalam tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun," ungkap Bara.
Bara menambahkan, cerita dari lagu Hawa Sudut Jingga berawal dari ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan. Hal ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. 
ADVERTISEMENT
Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah yang selama ini dinilai tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan. Sehingga, perempuan sering kali menjadi korban dari kebijakan tersebut. "Lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan, secara tidak langsung juga telah menempatkan posisi perempuan menjadi termarginalisasikan," ucap Bara.
Belum lagi victim blaming. Kondisi dimana korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari suatu kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, misalnya. Perempuan justru menjadi pihak yang disarahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku.
Penampilan Merahjinggga dibalut dengan haluan musik kontemporer folt etnik, dan karyanya sarat kritik terhadap kondisi sosial, lingkungan, HAM dan spiritualis. Foto: Dok Fariz Taufan
Bara melanjutkan, dasar dari justifikasi tersebut merupakan sesuatu yang normal untuk laki-laki yang melakukan pelecehan seksual. Menurutnya, laki-laki memiliki libido atau syahwat yang tinggi. Namun, menurut moralitas masyarakat permasalahan justru terdapat pada perempuan yang tidak bisa menjaga dirinya dengan baik atau terhormat. Para korban pun akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial dengan label yang jelek atau bahkan hina.
ADVERTISEMENT
Seperti yang digambarkan dalam sejarah, bahwa perempuan adalah kaum termajinalkan, paradigma hegemoni hingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya. Inilah faktanya. Budaya patriarki yang sudah dipergang erat di Indonesia sulit untuk dihilangkan.
Bara mengungkapkan, tantangan terbesar atas permasalahan tersebut adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan gender. Hal dasar seperti itulah yang membuat Merahjingga hadir memberikan pendidikan gender dan kampanye tentang begitu kejamnya budaya patriarki.
"Melalui lagu Hawa Sudut Jingga, diharapkan dapat sedikit memberi tamparan terhadap pihak-pihak yang masih melanggengkan budaya patriarki di Indonesia," kata Bara. (hp8)