Sarung War Marak di Kalangan Anak, Ini Kata Ketua KPPAD Kalbar

Konten Media Partner
17 Mei 2019 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Permainan perang sarung atau sarung war yang kerap dimainkan oleh anak-anak. Foto: Dok Hi!Pontianak
zoom-in-whitePerbesar
Permainan perang sarung atau sarung war yang kerap dimainkan oleh anak-anak. Foto: Dok Hi!Pontianak
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Di bulan Ramadan, banyaj permainan klasik atau tradisional yang muncul dan dimainkan anak-anak untuk mengisi waktu luang. Salah satu dari permainan tradisional yang masih sering ditemukan tersebut, adalah Sarung War atau dipontianak dikenal dengan sembat.
ADVERTISEMENT
Permainan sarung war atau yang biasa disebut dengan perang sarung, merupakan permainan tradisional dengan menggunakan sarung. Sarung tersebut menjadi senjata utama untuk menyerang lawan. Mulanya, sarung dibentuk seperti menyerupai pecut kuda. Sarung tersebut digulung, kemudian di bagian ujungnya diikat, hingga membentuk gumpalan untuk memukul lawan.
Bagian ikatan sarung yang membentuk gumpalan inilah yang akan diarahkan kepada lawan, karena bagian ini sangat menyakitkan, jika tepat sasaran mengenai badan. Tak heran jika permainan ini terkadang berakhir dengan dendam atau perkelahian.
Permainan ini hadir sudah cukup lama. Permainan ini terbilang asik, namun terkadang berujung dengan dendam.
Ketika dihubungi tim Hi!Pontianak, Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, Eka Nurhayati, mengatakan, dalam permainan itu ada sisi positif dan negatifnya.
ADVERTISEMENT
Eka menambahkan, jika dilihat dari segi positifnya, permainan ini merupakan permainan tradisional, dapat memupuk rasa persaudaraan, kekompakan, melatih mental, dan juga melatih ketangkasan.
"Namun untuk segi negatifnya, ini kan kalau orang Pontianak bilangnya sembat, takutnya ini kena ke muka, ke mata, atau ke kepala. Tetapi kalau ini sifatnya menghibur, dan tidak berefek membahayakan, permainan itu tidak menjadi masalah. Kalau sampai memicu perkelahian, tentunya kembali lagi kepada asas kekeluargaan dan mufakat. Diselesaikan secara baik-baik. Kalau dampak dari perkelahian itu tidak fatal, dan tidak membuat seseorang menjadi cacat dan meninggal dunia, hal itu akan menjadi hal yang ringan dampaknya," ungkap Eka. (hp8)