Tanpa Pendidikan Politik, Begini Prediksi Pemilu Serentak 2024

Konten Media Partner
10 Agustus 2021 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokakarya Virtual Institute Kajian Kebangsaan (Instan). Foto: Dok. Instan
zoom-in-whitePerbesar
Lokakarya Virtual Institute Kajian Kebangsaan (Instan). Foto: Dok. Instan
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pemilu serentak 2024 perlu dicegah karena dapat merusak tatanan masyarakat dan nilai-nilai kebangsaan. Untuk itu, perlu upaya menumbuhkan kesadaran berpolitik masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Pendidikan politik jauh lebih besar cakupannya ketimbang demokrasi prosedural seperti tata cara memilih dan lainnya. Jika pendidikan politik gagal maka degradasi kebangsaan akan semakin menguat," kata Ireng Maulana, praktisi sosial dan politik lulusan Universitas IOWA Amerika Serikat dalam keterangan tertulis yang diterima Hi!Pontianak, Selasa, 10 Agustus 2021.
Irenk berbicara pada sesi akhir lokakarya lokakarya bertema ‘Antisipasi Degradasi Semangat Kebangsaan di Pemilu 2024 dan Hambatan Pandemi COVID-19’ dalam Lokakarya Virtual yang diselenggaran Institute Kajian Kebangsaan (Instan), Sabtu, 7 Agustus 2021. Kegiatan ini dihadiri perwakilan dari tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, pegiat sosial dan kalangan NGO, jurnalis dan aktivis sosial media, pimpinan/pengurus parpol, dan kepala daerah.
Ia memprediksi, degradasi kebangsaan itu dapat menguat apabila politik identitas dan disrupsi informasi berupa berita bohong semakin menguat tajam. Diperparah lagi apabila terjadi kegagalan dalam pendidikan politik. Untuk itu perlu alternatif agar masyarakat lebih rasional dalam proses pemilu ketimbang pendekatan sosilogis dan emosional.
ADVERTISEMENT
"Degradasi itu akan menguat apabila hoaks terus dikonsumsi puiblik dan porsinya lebih besar. Kondisi sekarang patut disadari sebagai sebuah konsekuensi di era digital. Tetapi harus ada upaya menahan laju berita bohong," ungkap Ireng.
Lokakarya Virtual Institute Kajian Kebangsaan (Instan). Foto: Dok. Instan
Untuk itu, Ireng menekankan, perlunya upaya agar perilaku pemilih masyarakat didorong pada hal yang substantif, rasional dan kritis. Sehingga masyarakat paham sebenarnya. Di mana mereka bisa meletakkan pilihan politiknya melalui mekanisme kekuasaan yang menghasilkan distribusi keadilan.
"Degradasi ini bisa menguat jika pendidikan politik hanya menjadi komitmen kedua setiap lima tahun sekali. Padahal seharusnya lebih dari itu," ujarnya.
Ramdan, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalbar menjelaskan, demokrasi secara prosedural, termasuk bagaimana menyikapi persoalan SARA sudah ada aturan dan larangannya, yakni dalam pasal 187 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Maka diperlukan penegakkan hukumnya yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Terpenting, kata Ramdan, semua pihak memiliki tanggungjawab dalam pendidikan politik sehingga pemilu dapat berhasil. Dalam hal teknis penyelenggaran memang ranah KPU. Tetapi juga ada keterlibatan semua pihak termasuk pemerintah, Bawaslu, peserta pemilu dan masyarakat dalam proses pendidikan politik.
"Terkait hal ini, kami sudah memiliki pilot project program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) di Desa arasau Jaya 3 Mempawah dan Desa Wajuk Hulu Kubu Raya," ujar Ramdan.

Dukung Program KPU Antisipasi Isu SARA

Sementara itu, Wakil Wali Kota Singkawang, Irwan, mengatakan, di negara maju sekalipun yang dikapitalisasi adalah isu-sisu SARA. "Pengalaman kami di Singkawang yang secara sosio kultural sangat beragam, termasuk di Kalbar secara umum. Kita tidak ingin identitas ini terpelihara dan mengental sebagai bahan progaganda dan agitasi elit politik," beber Irwan.
ADVERTISEMENT
Ia mendukung adanya program KPU berupa pembentukan DP3 sehingga dapat melakukan antisipasi dini. "Kita bisa bayangkan cost sosial. Berkenaan pilpres saja dalam 2 periode yang sudah dilalui telah mencabik rasa kebangsaan. Nah nanti serentak se-Indonesia akan ada 530 lebih Pilkada dan enam bulan sebelum pilkada sudah mulai muncul pontensi konflik. Kekerabatanpun pecah," paparnya.
Menurut Irwan, ada hal positif bagi mereka yang tadinya pasif, akan menjadi produktif. Tetapi sisi negatifnya juga harus dipertimbangkan. Ia meminta KPU untuk bersinergi dengan berbagai pihak antara pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan elit untuk antisipasi propaganda tersebut. Makanya harus ada aturan yang tegas untuk menindak mereka yang menggunakan politik identitas sebagai alat politik.
Lokakarya Virtual Institute Kajian Kebangsaan (Instan). Foto: Dok. Instan
"Memang hak pemilih untuk menggunakan sudut pandang SARA ketika memilih, tetapi jika isu SARA dikapitalisasi maka akan membuat demokrasi tidak sehat, dan membuat kita terpecah. Belum lagi di era teknolog informasi sekarang yang dengan cepat dan mudah tersebar hoaks," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalbar, Faisal Reza menjelaskan, korelasi antara kehadiran sebuah bangsa dan pembentukan nasionalisme melalui media. Ia juga menyoroti tentang perlunya antisipasi degradasi (penurunan) nilai-nilai kebangsaan dalam momentum kepemiluan.
"Faktor yang cukup memengaruhi adalah media. Sejarah menunjukkan, untuk menunjukkan identitas sebuah bangsa melalui media, mulai dari simbol-simbol, gimik dan lainnya," ungkapnya.
Hanya saja, lanjut Faisal, media saat ini memiliki problem, terlebih di era 4.0 penetrasinya menurun dan media sosial terus meningkat. Kalau media mainstream masih bisa dikendalikan karena ada institusi yang bisa diajak dialog. Tetapi berbeda dengan media sosial yang dikendalikan orang perorang.
"Nah, bagaimana kita mengantisipasi degradasi semangat kebangsaan ini melalui media. Saya kira hal ini sangat korelatif," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kelembagaan, Faisal menyampaikan, kehadiran Bawaslu dalam Pemilu sebagai sebuah wujud kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpinnya yang demokratis. Oleh sebab itu, sistem dan proses penyelenggaraannya harus demokratis. Jika tidak, akan mengurangi derajat kepercayaan publik terhadap legistimasi hasil pemilu.
"Bawaslu hadir untuk mencegah dan mengawasi kekuatan-kekuatan politik non demokratis. Secara yuridis sudah ada undang-undang yang mengaturnya dan harus kita sepakati. Namun dalam sistem demokratis itu tetap saja ada kekuatan non demokratis dan pelakunya bisa siapa saja," pungkasnya.