
Dia redam rasa nyeri di kepalanya. Kesadarannya berangsur pulih. Pelipisnya robek. Matanya masih kurang awas. Dia melihat bercak darah pada lengan blusnya yang kecokelatan. Di tengah rapalan nama Yesus, dia menyadari satu hal. Darah itu bukanlah darahnya.
Itu adalah darah Gideon, seorang pemuda di sebelahnya yang tengah meregang nyawa. Sebuah peluru menghancurkan lengan kanannya. Dia terkulai lemas di dekapan sabuk pengaman.
“Kakak, oh, Kakak. Bangun Kakak,” teriaknya tanpa daya mencoba meraih wajah Gideon. Jalan tanpa penerangan malam itu adalah sebuah saksi. Seperti yang tercantum di berita surat kabar selanjutnya, seseorang telah tewas ditembak di dalam mobil. Pendarahan yang hebat membuat Gideon tak tertolong.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814