Menurut Pakar Ekonomi Syariah UMS, Begini Pandangan Tentang Wanita yang Bekerja

Berita UMS
Akun resmi milik Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dikelola oleh Bidang Humas dan Humed Unggul Mencerahkan Semesta UMS Tuan Rumah Muktamar 48 Muhammadiyah dan Aisyiyah 18-20 November 2022
Konten dari Pengguna
5 April 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita UMS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok Humas UMS
zoom-in-whitePerbesar
Dok Humas UMS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ums.ac.id, SOLO - Di Indonesia, kenaikan harga kebutuhan bahan pokok menjelang lebaran menjadi langganan setiap tahunnya. Hal tersebut memaksa perempuan untuk bekerja demi dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
ADVERTISEMENT
Menurut Pakar Ekonomi Syariah UMS, Muhammad Sholahuddin, S.E., M.Si., Ph.D., perempuan yang bekerja itu hukumnya boleh, namun bukan sebagai kewajiban dalam mencari nafkah.
"Perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, namun jika perempuan ingin berkarir untuk aktualisasi diri, harus seizin dengan siapa yg menanggung dia. Kalau belum bersuami harus dapat izin dari bapaknya, kalau sudah tidak memiliki bapak harus izin ke saudara laki laki, namun jika sudah bersuami ya izin ke suaminya," kata Sholahuddin, Kamis, (4/4).
Jika wanita, lanjut dia, bekerja yang berniat untuk membantu suami, ibu, bapak, adik, itu merupakan amal shaleh.
"Seorang istri yang mempunyai nafkah sendiri kemudian memilih di sedekahkan ke suaminya, merupakan amal shaleh. Namun, jika suami yang memberikan kepada istri itu termasuk nafkah dan wajib," lanjutnya, yang juga sebagai Sekprodi Program Studi Magister Manajemen UMS itu.
ADVERTISEMENT
Sholahuddin memberikan contoh ketika seorang suami sakit keras dan tidak bisa bekerja kemudian istri meminta izin kepada suami untuk bekerja. Jika suami tidak mengijinkan istrinya untuk bekerja, maka yang wajib menafkahi suami yang sakit itu saudara laki laki dari suami.
"Jika istri diizinkan untuk bekerja, maka pahala dari istri sangat besar sekali, karena dia melakukan apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai pencari rezeki," lanjutnya.
Ia juga menuturkan, menurut pandangan Islam sesuai dengan sunnah dan hadist untuk istri yang ingin bekerja, sebaiknya bekerja yang tidak sampai meningglkan kewajibannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
"Di zaman Rasulullah SAW, perempuan kebanyakan melakukan aktivitas di rumah, kalau toh di luar rumah biasanya aktifitas yang tidak bisa dilakukan seorang laki laki, contohnya buka warung, restoran, yang suaminya juga bekerja di situ juga," kata Sholahuddin.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menandakan bahwa memang perempuan dibolehkan untuk bekerja, bahkan berkarir sebagai direktur, manajer, maupun rektor.
"Yang terjadi permasalahan itu ketika perannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga terabaikan," pungkasnya. (Yusuf/Humas)