Refleksi COVID-19 dari Kacamata Budaya Jawa

Hutomo Bayu Listyaghi
A diplomat who currently helps the boss deal with African Affairs. My education background is Economic Development with a special interest in Social Policy.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 18:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hutomo Bayu Listyaghi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Warga Yogyakarta, Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warga Yogyakarta, Foto: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Orang Jawa mengenal istilah lain dari wabah sebagai pagebluk. Di awal tahun 2020 lalu sempat beredar hoaks yang mengajak masyarakat DIY memasak sayur lodeh dengan 7 macam bahan sayuran dalam rangka mengusir pagebluk COVID-19. Hoaks tersebut menyertakan gambar Sri Sultan HB X, sehingga bagi masyarakat DIY yang di dalam hatinya masih percaya ‘Sabda Pandita Ratu Berbudi Bawaleksana’ akan tergerak untuk melaksanakannya.
ADVERTISEMENT
Saya yakin tidak sedikit orang yang bertanya-tanya, sebenarnya apa kaitan dari memasak sayur lodeh dengan upaya menghalau pagebluk.
Sebagai orang Jawa yang gemar gathuk-gathuk nyambung, saya memandang budaya sayur lodeh terkait dengan upaya karantina diawal abad ke-20, ketika Yogyakarta tengah dilanda wabah penyakit Pes. Anjuran memasak sayur lodeh dapat mengurangi mobilitas masyarakat karena bahan-bahannya banyak tersedia di lingkungan sekitar rumah. Selain itu, disaat seluruh warga, kaya-miskin, bangsawan-rakyat, tua-muda, pria-wanita, bersantap menu yang sama, yang bahannya dipetik dari pekarangan satu sama lain, menyiratkan pesan solidaritas dalam menghadapi pegebluk.
Solidaritas adalah sebuah kata yang terasing di tengah masyarakat yang memuja materi. Bukankah manusia saat ini justru berlomba-lomba untuk membeli jarak dengan uang?
ADVERTISEMENT
Perhatikan saja, biasanya rumah orang kaya di tengah kampung pagarnya paling tinggi, yang kaya mengendarai Alphard, yang miskin terhimpit di bus kota. Atau sekadar penerbangan kelas bisnis yang lebih lega dibanding adu sikut di kelas ekonomi. Ataukah fasilitas kamar RS yang bak hotel bintang 5 dibanding berimpit di bangsal untuk menyambung napas, sampai dengan kavling tanah kuburan luas menghadap bukit dengan kijing bertingkat dibanding sebagian lain yang disarankan untuk dimakamkan secara massal.
Ilustrasi Solidaritas, Foto: Pixabay.
Tidak mengherankan, ketika kebijakan social distancing diterapkan ke tengah masyarakat, bagi yang hidupnya selama ini memang mampu membeli jarak, tentu tidak perlu harus sampai ‘cegukan’ menghadapinya. Hal ini juga terjadi di realitas internasional yang jauh dari kata ideal. Bagaimana caranya rajin cuci tangan, apabila masih ada masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Bagaimana caranya work-from-home apabila di rumahnya belum ada listrik, bagaimana caranya jaga jarak apabila satu rumah dihuni banyak rumah tangga, bagaimana caranya takut COVID-19 ketika ancaman mati kelaparan jauh lebih nyata?
ADVERTISEMENT
COVID-19 telah mempertegas guratan-guratan ketimpangan sosial di tengah masyarakat dunia.
Ironisnya, momentum Covid-19 digaungkan sebagai sebuah arah perubahan menuju akselerasi revolusi digital dan bukan bertitik berat pada revolusi sistem yang menghadirkan keadilan sosial bagi masyarakat.
Memang tren work-from-home lekat dengan teknologi dan internet, namun revolusi digital yang tidak diiringi dengan pondasi pemerataan kesejahteraan yang memadai malah akan memperparah jurang kesenjangan dan menguntungkan segelintir kaum kapitalis secara signifikan. Jangan-jangan ini bisa dipandang dalam kerangka shock-doctrine yang ditulis oleh Naomi Klein?
Teknologi perlu secara bijak digunakan untuk menunjang sistem yang menghantarkan kepada keadilan sosial. Professor dari MIT, Daron Acemoglu, menggagas dalam bukunya mengenai sistem institusi inklusif yang kondusif bagi pembangunan ekonomi dan penanganan kesenjangan sosial. Prinsip inklusivitas ini juga perlu dilaksanakan dan diturunkan sampai ke pengambilan kebijakan level teknis.
ADVERTISEMENT
Salah satu aktualisasi prinsip inklusivitas terlihat pada pelibatan peran kepemimpinan wanita dalam upaya penanggulangan COVID-19 secara global. Dalam kaitan ini, Menlu Retno bersama 2 rekan Menteri wanita lain dari Ethiopia dan Kanada dipercaya menjabat sebagai Co-Chair COVAX AMC EG. Forum ini memainkan peranan penting dalam pengadaan dan distribusi vaksin antarnegara secara berkeadilan, di tengah kritik keras WHO terhadap negara maju yang menimbun vaksin melebihi jumlah kebutuhan nasional sehingga merugikan negara lainnya.
Ilustrasi Forum COVAX AMC EG, Foto: Pixabay.
Di masa pandemi, wanita tampil menjadi sosok pemimpin andal dalam mengelola krisis. Banyak media memuji negara-negara yang memiliki pemimpin wanita, seperti Selandia Baru, Norwegia, Jerman, dan Denmark karena kesuksesannya menangani COVID-19. Hal ini juga ditegaskan oleh hasil penelitian di Brasil yang menunjukkan kota-kota yang dipimpin wanita memiliki angka kematian COVID-19 43 persen lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Hipotesis awal fenomena ini adalah bahwa pemimpin wanita membuat keputusan yang lebih baik di bawah tekanan karena sudah sering menghadapi lebih banyak tekanan dan tantangan dalam karier politik serta kehidupan.
Kembali kepada kebudayaan Jawa, di Solo terdapat prosesi Mahesa Lawung yang dilaksanakan sebagai ritual simbolis mencari keselamatan. Dalam prosesi tersebut, kepala kerbau dikubur di hutan Krendowahono Gondangrejo yang dipercaya sebagai pintu masuk keraton Solo dari sisi utara. Makna simbolis dari ritual ini adalah, keraton melambangkan pemerintah, sedangkan kepala kerbau melambangkan ego dan kebodohan. Menanam kepala kerbau dapat dipandang sebagai upaya mengubur ego dan kebodohan dalam menjalankan roda pemerintahan agar rakyatnya selamat.
Ilustrasi Kerbau Mahesa Lawung, Foto: Pixabay.
Semakin banyak kepala yang terlibat, semakin pintar keputusan yang diambil dan semakin terkendali ego kekuasaan (check and balance). Hakikat ini tercermin di dalam mekanisme institusi inklusif yang memberikan ruang bagi sebanyak-banyaknya sudut pandang, termasuk dari golongan yang termarjinalkan. Saya memetiknya sebagai salah satu pelajaran utama dari pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT