Memahami Evolusi Pengelolaan Laut Nusantara dan Kepemimpinan Indonesia

I Made Andi Arsana, Ph.D.
Dosen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada| Peneliti aspek geospasial hukum laut.
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2018 20:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Made Andi Arsana, Ph.D. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keindahan bawah laut Pulau Komodo (Foto: Instagram @mongabayid)
zoom-in-whitePerbesar
Keindahan bawah laut Pulau Komodo (Foto: Instagram @mongabayid)
ADVERTISEMENT
Mungkin semua orang fasih mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut. Bahwa Indonesia memiliki lebih banyak lautan dibanding daratan. Bahwa laut yang luas itu harus kita jaga dan kelola. Bahwa ada kekayaan alam yang berlimpah dari laut yang luas itu. Mungkin semua orang Indonesia bisa mengatakan itu dengan lancar, hafal di luar kepala.
ADVERTISEMENT
Yang mungkin kita kadang lupakan atau malah belum tahu adalah fakta bahwa ketika Indonesia merdeka, lautnya tidaklah seluas sekarang. Ketika itu, Indonesia mengikuti aturan hukum Belanda yang menetapkan bawah Indonesia hanya berhak atas laut teritorial selebar 3 mil laut (1 mill laut = 1,852 meter) dari garis pantai masing-masing pulau.
Bisa dibayangkan, dengan aturan ini maka ada begitu banyak ruang laut di antara pulau-pulau Indonesia yang merupakan laut bebas. Di laut bebas ini, kapal-kapal asing bebas berlayar dan mengeksploitasi kekayaan alam dalam bentuk apapun. Sementara kita, untuk bisa menyeberang dari satu pulau Indonesia ke pulau lain saja harus melewati laut bebas yang bukan milik kita.
Fenomena ini membuat Perdana Menteri, Djoeanda Kartawidjaja, menyimpulkan bahwa kewenangan laut yang demikian itu tidak menguntungkan Indonesia. Bisa dibayangkan, dengan kewenangan laut yang hanya tiga mil laut diukur dari garis pantai masing-masing pulau, Indonesia terbagi menjadi kelompok-kelompok pulau yang merupakan gugusan-gugusan kedaulatan yang terpisah satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Negara lain pun dengan bebas melintas dan melakukan apa saja yang mereka mau. Singkatnya, Perdana Menteri Djoeanda merasa kedaulatan Indonesia terancam dan harus melakukan sesuatu.
Dengan bantuan Chaerul Saleh dan Mochtar Kusumaatmaja, akhirnya munculah Deklarasi Djoeanda tanggal 13 Desember 1957 yang menegaskan bahwa laut di antara pulau-pulau Indonesia itu adalah bagian dari kedaulatan Indonesia.
Tentu saja hal ini tidak saja dilakukan dengan keberanian tetapi juga dengan kajian ilmiah legal yang cukup. Konon dengan atlas seadanya, ditariklah garis yang melingkupi seluruh kepulauan Indonesia dengan menghubungkan titik-titik paling tepi pulau-pulau terluar Indonesia, besar dan kecil.
Maka dengan Deklarasi Djoeanda ini, kepulauan Indonesia ‘dibungkus’ dengan selimut garis pangkal kepulauan yang menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan kedaulatan.
Peta Indonesia (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia (Foto: Thinkstock)
Apakah dunia langsung menerima begitu saja usulan Indonesia? Tentu saja tidak. Dunia melakukan penolakan karena klaim Indonesia tentu saja bisa mengurangi kenyamanan dan terutama kebebasan yang selama ini mereka nikmati.
ADVERTISEMENT
Apakah Indonesia menyerah? Tidak! Dengan pendekatan diplomatis yang sistematis, Indonesia berusaha meyakinkan dunia. Diplomat-diplomat Indonesia berjuang melalui berbagai forum untuk menyampaikan gagasan dan puncaknya adalah dalam Konferensi PBB tentang Hukum Laut yang berlangsung dari tahun 1973 hingga 1982.
Di situlah patriot kelautan seperti Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda menunjukkan ‘kesaktian’ mereka.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya pada tanggal 10 Desember 1982, tiga hari sebelum ulang tahun Deklarasi Djoeanda ke-25, Konvensi PBB tentang Hukum Laut disahkah oleh PBB.
Konvensi itu kita kenal dengan nama UNCLOS 1982 yang berisi ketentuan penguasaan dan pengelolaan laut oleh negara-negara di dunia. UNCLOS disebut juga sebagai “The Constitution of the Ocean” karena dianggap sebagai aturan dasar paling komprehensif tentang laut di dunia.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, UNCLOS 1982 secara khusus mengatur tentang Negara Nepulauan yang konsepnya digagas oleh Indonesia dan merupakan konsep yang sama dengan Deklarasi Djoeanda. Ini bisa dianggap sebagai kemenangan diplomasi Indonesia.
Selain konsep Negara Kepulauan, UNCLOS 1982 juga mengakui adanya rezim Zona Ekonomi Eksklusif yang memungkinkan sebuah negara mendapatkan hak atas ruang laut di luar laut teritorial selebar 200 mil laut dari garis pangkal.
Hal ini juga memberi keuntungan ganda bagi Indonesia karena Indonesia bisa menguasai laut di antara pulau-pulaunya dan sekaligus laut di luar laut teritorialnya sejauh 200 mil laut.
ADVERTISEMENT
Dengan ini maka luas laut Indonesia bertambah jutaan kilometer. Penambahan wilayah dan yurisdiksi ini diperoleh tanpa sebutir pelurupun ditumpahkan. Inilah kesaktian diplomasi Indonesia yang harus selalu diingat dan diteladani oleh bangsa ini.
Pada tahun 2007, saat peringatan ulang tahun UNCLOS 1982 ke-25 saya berada di Gedung PBB di New York dan mengikuti acara peringatannya. Hadir sebagai pembicara utama adalah Prof. Hasjim Djalal, seorang veteran asal Indonesia yang dulu turut memperjuangkan konsep-konsep penting yang ada dalam UNCLOS.
Beliau bercerita sebagai seorang yang mengalami sendiri proses perundingan UNCLOS sehingga ceritanya begitu berkarakter dan bernyawa. Ratusan orang di ruangan di Gedung PBB itu terpukau. Seorang professor dari Amerika mengatakan pada saya.
In addition to this guy (sambil melirik Pak Hasjim Djalal), there was a man called Mochtar (maksudnya Mochtar Kusumaatmaja). When he spoke, everybody was shaking!”
ADVERTISEMENT
Betapa dasyatnya delegasi Indonesia saat Konferensi PBB tentang Hukum Laut saat itu. Saya tidak bisa menyembunyikan kebanggaan saya sebagai orang Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang dilakukan Indonesia setelah mendapatkah hak atas laut yang luas? Jika dikaitkan dengan periode kepemimpinan presiden Indonesia, sesungguhnya setiap pemimpin telah mengambil langkah strategis terkait pengelolaan laut Indonesia.
Deklarasi Djoeanda yang fenomenal itu terjadi ketika masa kepemimpinan Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, beliau juga pernah menegaskan bahwa anak kecil pun, jika melihat peta dunia, akan tahu bahwa kepulauan Indonesia adalah satu kesatuan.
Presiden Sukarno (Foto: belajar.kemendikbud.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno (Foto: belajar.kemendikbud.go.id)
Perlu diingat juga bahwa perjuangan diplomat Indonesia untuk mewujudkan UNCLOS 1982 terjadi di saat kepemimpinan Presiden Soeharto yang diteruskan oleh Habibie. Di masa kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan yang saat ini menjadi salah satu kementerian paling fenomenal dengan kiprah Menteri Susi Pudjiastuti.
ADVERTISEMENT
Di masa kepresidenan Pak SBY, Indonesia memelopori inisiatif perlindungan dan pengelolaan terumbu karang di kawasan segitiga yang melingkupi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Solomon Island, dan Papua Nugini. Hal ini tentu harus dilihat sebagai langkah maju yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam isu kelautan dunia.
Perjuangan pemimpin sebelumnya kemudian diteruskan dan ditegaskan oleh Presiden Jokowi dengan mempekenalkan visi Poros Maritim Dunia. Secara sederhana, ada dua hal yang ada dalam visi ini, yaitu visi ke dalam dan ke luar.
Visi ke dalam menekankan pada usaha untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan melalui pengelolaan yang tepat. Visi ke luar fokus pada usaha untuk menjadikan Indonesia berperan penting dalam pengelolaan laut dunia. Bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia hendaknya menjadi referensi atau kiblat dunia di bidang kelautan dan perikanan.
ADVERTISEMENT
Secara formal, visi ini telah diwujudkan dalam bentuk Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16 tahun 2017. KKI ini merupakan dokumen pertama dalam sejarah Indonesia tentang kebijakan nasional terkait pengelolaan laut Indonesia.
Hampir 72 tahun setelah merdeka dan 60 tahun sejak deklarasi Djoeanda, akhirnya Indonesia memiliki pegangan resmi nasional untuk mengelola lautnya. Pada akhir bulan Oktober ini Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi 'The 5th Our Ocean Conference', sebuah perhelatan dunia tentang pengelolaan laut. Ini merupakan langkah nyata yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia di bidang kelautan.
Setelah semua hal yang terjadi, pertanyaan paling penting adalah tentang kabar laut Indonesia hari ini. Apakah laut Indonesia sudah dikelola dengan baik dan apakah Indonesia sudah menjadi acuan dunia dalam pengelolaan laut?
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang sudah dilakukan tetapi masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Penetapan batas laut kita dengan 10 negara tetangga belum tuntas seratus persen.
Profesi yang terkait pengelolaan sumber daya laut, seperti nelayan, sudah mendapat perhatian tetapi masih diperlukan lebih banyak keberpihakan pemerintah yang membuat mereka yakin bahwa menjadi nelayan di negeri ini akan menjamin kehidupan mereka dengan segala aspeknya.
Laut yang luas perlu dijaga dengan jumlah manusia dan perlengkapan yang memadai dan Indonesia perlu meningkatkan anggaran untuk hal ini. Isu kelautan yang kompleks dan penting juga memerlukan sumberdaya manusia yang mumpuni dan Indonesia perlu memperkuat sektor pendidikan dengan kandungan dan penekanan pada isu kelautan dan perikanan.
ADVERTISEMENT
Ada banyak lagi yang menjadi pekerjaan rumah di tengah banyak keberhasilan yang patut diapresiasi.
Untuk mengevaluasi kinerja Indonesia dalam mengelola laut, acuan terbaik tentu saja adalah KKI itu sendiri.
Dalam dokumen itu ada tujuh pilar kebijakan, yaitu Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia; Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata Kelola dan Kelembagaan di Laut; Ekonomi, Infrastruktur, dan Peningkatan Kesejahteraan; Pengelolaan Ruang Laut dan Perlindungan Lingkungan Laut; Budaya Bahari; dan Diplomasi Maritim.
ADVERTISEMENT
Siapa saja yang tertarik atau berkepentingan untuk mengetahui kemajuan atau kekurangan kita dalam mengelola laut, tujuh pilar itu yang semestinya menjadi acuan utama, termasuk ketika kita ingin menyampaikan gagasan untuk perbaikan.
Maka kesimpulannya, jika kita merasa peduli dengan laut Indonesia, maka wajib hukumnya untuk mengetahui evolusi ruang dan pengelolaan laut Indonesia. Penting untuk paham bahwa laut yang kita miliki hari ini jauh lebih luas dibandingkan ketika kita merdeka.
Sebagian dari apa yang kita anggap sebagai ‘milik’ kita hari ini sebenarnya bukanlah milik kita di masa lalu. Hal ini penting untuk dapat membantu kita dalam menentukan sikap dan respons proporsional terkait isu kelautan.
Nelayan Maluku mengangkat ikan di pesisir pantai (Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP))
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan Maluku mengangkat ikan di pesisir pantai (Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP))
Di sisi lain, kita harus paham bahwa penambahan luas laut Indonesia adalah adalah hasil perjuangan diplomasi tokoh-tokoh terbaik Indonesia yang kemudian turut mengubah wajah hukum laut dunia. Kita hendaknya senantiasa meneladani sikap yang demikian.
ADVERTISEMENT
Jika di masa lalu kita memiliki Djoeanda, maka di abad ke-21 ini semestinya muncul orang-orang dengan sikap dan pandangan visioner serupa. Adakah pemimpin Indonesia atau kita secara individu layak mendapat predikat ini?
Jika kita merasa peduli, maka kita juga harus mengenali potensi laut Indonesia yang sudah diperjuangkan kedaulatannya. Ikan sebagai salah satu potensi kekayaan laut Indonesia penting untuk dimaksimalkan untuk mendukung kedaulatan kelautan kita.
Makan ikan dapat menjadi salah satu bukti konkret bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam roda perekonomian masyarakat pesisir. Rasanya tak berlebihan jika menyebut makan ikan sebagai salah satu cara mendukung laut Indonesia agar tetap berdaulat di negaranya sendiri.
ADVERTISEMENT