Perkembangan Adaptasi Folklor di Media

Ibnu Hafidz Alfandi
Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Diponegoro
Konten dari Pengguna
9 April 2021 10:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Hafidz Alfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang yang sedang mengamati media
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang yang sedang mengamati media
ADVERTISEMENT
Media adalah perantara untuk orang banyak. Media yang dimaksudkan di sini adalah media yang dipergunakan sebagai area membagikan konten dan informasi yang juga biasanya punya segi komersialisasi.
ADVERTISEMENT
Media sendiri ada banyak macamnya, ada media mainstream seperti televisi dan radio, lalu ada media modern seperti media sosial dan media streaming. Walaupun media modern lebih muda dari pada media mainstream, tapi ia sanggup menjangkau banyak audiens atau pengguna baru untuk menggunakan medianya.
Saat ini media mulai perlahan beralih dari yang bersistem analog ke sistem digital. Ini juga terlihat dari masifnya penggunaan internet di masyarakat luas. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), pengguna internet Indonesia diperkirakan sebanyak 196,7 juta pengguna pada tahun 2019.
Munculnya pandemi COVID-19 di 2020, malah menambah jumlah pengguna secara signifikan karena adanya kegiatan WFH (Work from Home). Ini juga yang menyebabkan media modern yang tadinya baru berkembang jadi punya tempat di masyarakat karena pandemi ini memaksa masyarakat untuk menghabiskan sebagian besar waktu di rumah masing-masing dan secara tidak langsung mereka memerlukan internet untuk mengamati media.
ADVERTISEMENT
Media punya fungsi sebagai penyedia informasi, tetapi kemudian ini berkembang pula ke fungsi lain sebagai sebuah entertainment atau hiburan yang berupa konten dan film. Media sebagai penyedia informasi biasanya akan memberikan berita-berita tentang kejadian terbaru dan situasi nasional terkini, sedangkan untuk entertainment, media akan cenderung menyediakan lebih banyak konten yang disukai mayoritas masyarakat.
Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke memiliki banyak sekali folklor tentang berbagai cerita rakyat, mitologi, dan legenda. Akan sangat disayangkan jika hanya dibaca dan dijadikan cerita pengantar tidur untuk anak-anak.
Banyak yang sudah memuat informasi tentang folklor tetapi kurang begitu menarik untuk diamati. Oleh karena itu media yang dapat menjangkau audiens yang luas perlu memanfaatkan ini sebagai konten untuk diadaptasi menjadi sebuah karya yang dapat menghibur, folklor akan lebih baik dituangkan ke media sebagai bentuk entertainment. Alasan utamanya adalah folklor akan lebih mudah di pahami dengan cara-cara yang santai.
ADVERTISEMENT

Menggunakan folklor sebagai bahan konten untuk sebuah entertainment bukanlah perkara yang mudah. Yang seperti ini sudah dilakukan pembuatannya oleh beberapa pihak dalam bentuk film untuk disiarkan beberapa kali di televisi pada masa lalu tetapi sangat disayangkan kualitasnya tidak bisa dibilang luar biasa. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah kurang terlihatnya peningkatan yang signifikan dalam segi kualitasnya.

Terlebih negara-negara yang sudah punya kemajuan dalam bidang entertainment, seperti hollywood-nya Amerika, bollywood-nya India, dramanya Korea, atau animasinya Jepang, sudah banyak memproduksi konten dan film untuk disiarkan ke Indonesia. Tentu saja ini menekan kemajuan produksi film dalam negeri dan merusak market bidang perfilman dan entertainment. Apalagi jika membuat perfilman luar menjadi top of mind di masyarakat Indonesia, jika ini terjadi maka orang-orang akan lebih suka menonton film luar negeri, tentu saja produksi film Indonesia tidak akan bergairah karena keuntungan dari pembuatan film tidak begitu menjanjikan.
ADVERTISEMENT
Pihak-pihak stasiun tv di sini juga punya peran penting untuk melihat ancaman ini, bukan malah menambah urusan kepentingan partai politik karena ini menyebabkan mereka akan membuka porsi perdagangan hak siar luar negeri dibanding kualitas produksi dalam negeri. Salah satu contohnya adalah ide animasi "Upin & Ipin" yang mengangkat plot desa dengan folklor sederhana harusnya bisa diterima dan diproduksi di Indonesia malah terlempar ke Malaysia, dan sekarang perkembangan animasi Malaysia lebih maju dibanding Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia butuh sebuah momentum untuk membuat sebuah karya untuk konten entertainment maupun perfilman yang mengadaptasi folklor, serta butuh sebuah keseriusan dan kepedulian berbagai pihak agar dapat menjadi masterpiece yang nantinya akan dikenal banyak orang sehingga bukan lagi media yang menyodorkan kepada audiens melainkan audiens lah yang akan mencari karyanya di media.
ADVERTISEMENT