Ketika Saya Ditanya soal Office Affair dan Poligami

Dhini Hidayati
Chief of kumparanMOM
Konten dari Pengguna
11 November 2019 19:42 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhini Hidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi poligami. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi poligami. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Suatu siang dalam perjalanan setelah makan siang, saya bersama dua orang kawan terlibat sebuah percakapan tentang office affair dan poligami.
ADVERTISEMENT
Percakapan itu dimulai dari pembicaraan mengenai ramainya berita soal 'Layangan Putus'-- itu lho, curhat istri yang suaminya tidak ada kabar selama 12 hari lalu tiba-tiba ketahuan poligami padahal kehidupan rumah tangga dan ranjangnya baik-baik saja, malah sedang hot kalau menurut cerita si istri yang di poligami tersebut-- dan dari topik itu merembet ke percakapan lain termasuk pengalaman terjebak menjadi saksi office affair yang terjadi di kantor lama dengan segala ceritanya.
By the way, kami bertiga berasal dari kantor yang berbeda-beda, tapi benang merahnya adalah selalu ada affair yang terjadi di lingkungan kerja.
Ilustrasi Wedding Ring Foto: Pixabay
Dari percakapan itu, pada prinsipnya, kami enggak peduli sama kelakuan manusia lain yang enggak relevan dengan pekerjaan atau kehidupan pribadi kami. Karena sebetulnya kami lebih tertarik membahas makanan apa yang enak di sekitar kantor dibanding keruwetan lain yang sebetulnya enggak perlu dikasih ruang di kepala kami yang kapasitasnya juga terbatas.
ADVERTISEMENT
Tapi kami sepakat bahwa, affair yang terjadi di lingkungan kampus atau kerja itu asik dan lucu, selama pelaku yang terlibat adalah mereka yang berstatus lajang alias tidak atau belum menikah. Kalau statusnya menikah, rasanya ya malas aja gitu, jadi enggak asik lagi bahkan untuk sekadar tahu.
Pernah juga beberapa kali, di lain situasi dengan orang-orang yang berbeda. Saya ditanya mengenai pendapat saya soal poligami. Entah kenapa ya, saya kerap ditanya soal itu.
Hm, nggak pikir panjang sih. Saya bilang, sebagai seorang muslim saya tidak menentang. Tapi kalau ditanya sekarang apakah saya bersedia dipoligami? Jawaban saya ya enggak. Kan saya masih sehat dan berfungsi dengan baik sebagai istri dan ibu, rasanya nggak ada alasan ya buat suami saya melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Jangankan saya, Aisyah RA saja sebagai perempuan pilihan Tuhan, ketika Rasulullah mau menikah lagi, ia berdiri di sebelah pohon dan pohon itu menjadi kering karena begitu panas hatinya. Apalagi saya yang cuma manusia biasa dengan tingkat iman yang tipis kayak selembar duit seribuan.
Persis seperti penuturan Mommi ASF di viralnya kasus 'Layangan Putus', yang berhasil menuai dukungan deras sekali dari netizen, terbukti dengan turunnya jumlah subscribers channel YouTube yang diduga adalah suami dari Mommi ASF. Turunnya subscribers channel YouTube tersebut merupakan gambaran bahwa banyak sekali perempuan (dan mungkin laki-laki) yang merasa relate dengan cerita itu.
Ilustrasi poligami. Foto: Meiliani/kumparan
Melanjutkan percakapan soal poligami tadi, kemudian jawaban saya ditanggapi dengan situasi yang bernarasi--jika dan hanya jika. Jika istri sakit sehingga tidak mampu melayani dan suami sudah berusia lanjut butuh ada yang mengurus, misalnya. Ya, sah-sah saja sih, toh setiap orang yang mau poligami atau melakukan affair akan selalu punya alasan untuk membenarkan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Ya, saya senyum saja.
Toh pertanggung jawaban di mata Tuhan kan dilakukan masing-masing, tidak bisa diwakili sama calo tiket kereta apalagi Pak RT.
Di keluarga kami, saya mendapatkan contoh hidup dari Ayah mertua saya, betapa sebetulnya laki-laki (sebagai pihak yang boleh melakukan poligami) itu bisa memilih. Ibu mertua saya, atas izin Allah diberi rezeki sakit sejak awal usia 30--ketika ia sedang cantik-cantiknya.
Sementara Ayah mertua saya yang saat itu usia 40-an, sedang berada di puncak karier. Pada suatu waktu beliau ditawarkan untuk menjadi kandidat untuk menduduki kursi menteri pada masa kepemimpinan Alm. Gus Dur, namun beliau menolak dan memilih untuk pensiun dini karena ingin mengurus istrinya yang sakit.
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini, hampir lebih dari 15 tahun ibu kami sakit -- berbaring di tempat tidur dan hanya sesekali bangun untuk ke toilet, ke dokter atau meregangkan badan.
Pernah suatu waktu saya mendengar cerita dari suami saya bahwa Ayah menolak untuk menikah lagi karena menurutnya, cinta kasih adalah karunia Allah yang paling besar dan tidak dapat dirusak oleh manusia. Oleh karena itu, beliau bertahan dan memegang janji untuk setia berdampingan sampai ajal menjemput hanya dengan istri yang dipilihnya sejak semula. Dan teladan itu, yang selalu dijunjung oleh suami saya. Begitu katanya.
***
Kembali ke percakapan selepas makan siang tadi, salah satu kawan saya itu bertanya kepada saya.
ADVERTISEMENT
Saya diam sejenak. Menurutmu bagaimana?
Ya, kalau buat saya sebetulnya sederhana. Saya memang tidak pernah terlibat affair demikian, tapi bukan berarti tidak ada kesempatan. Selalu ada, kalau mau. Tapi saya-- sebagaimana saya melihat teladan dari kedua orang tua saya-- menjunjung pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan suci.
Menjaga pernikahan itu sama dengan menghargai diri saya sendiri, menjaga marwah suami dan keluarga besar kami, menjaga masa depan anak-anak kami yang tanggung jawabnya akan dibawa sampai ke akhirat nanti. Ucapku di dalam hati.
ADVERTISEMENT
***
Sebagaimana Tuhan bilang:
…هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ…
Bahwa istrimu adalah pakaian untukmu dan sebaliknya, maka mendahulukan untuk menjaga sikap dan akhlak terhadap pasangan, adalah jauh lebih mulia.
Allahualam.