news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penahanan Jerinx dan Subjektivitas Penahanan

Ichsan Zikry
Advokat dan Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2020 11:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ichsan Zikry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jerinx di Polda Bali, Selasa (6/10). Foto: Denita br Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jerinx di Polda Bali, Selasa (6/10). Foto: Denita br Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh Jerinx, Drummer grup band Superman is Dead yang didakwa melakukan tindak pidana dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik karena pernyataan di akun media sosialnya terkait Ikatan Dokter Indonesia, secara berturut-turut ditolak oleh penyidik, penuntut umum dan majelis hakim dengan alasan yang lebih kurang senada, yaitu adanya kekhawatiran akan mengulangi perbuatan atau masih terpenuhinya syarat subjektif untuk melakukan penahanan.
ADVERTISEMENT
Padahal, dalam permohonan penangguhan penahanannya, Jerinx bahkan telah menawarkan untuk menghapus akun media sosialnya, yang notabene merupakan sarana yang dianggap penyidik dan penuntut umum sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Di kasus lainnya yang juga menarik perhatian publik, Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte yang diduga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra justru “beruntung” tidak dikenakan penahanan dengan alasan bahwa penahanan adalah hak prerogatif penyidik.
Terlepas dari substansi perkara yang menjerat Jerinx dan Napoleon Bonaparte, persoalan mengenai penahanan dalam perkara ini kembali mengangkat suatu aspek penting yang patut diperhatikan, yaitu mengenai subjektivitas dan luasnya ruang diskresi pejabat yang berwenang dalam memutuskan perlu atau tidaknya suatu penahanan.
Sebelum membahas persoalan ini lebih lanjut, perlu dipahami mengenai sudut pandang penahanan prasidang. Tindakan penahanan semestinya dipahami sebagai upaya terakhir yang dikenakan terhadap seorang tersangka atau terdakwa untuk memastikan kehadirannya dalam proses peradilan pidana dan sebagai bentuk perlindungan terhadap risiko bahaya yang mungkin ditimbulkan pada korban dan atau masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, pola pikir yang harus dipahami adalah dalam menentukan perlu atau tidaknya penahanan adalah pertimbangan pejabat berwenang semestinya condong ke arah presumption in favor of release atau tidak menahan tersangka atau terdakwa (Article 9 (3) ICCPR dan the Tokyo Rules Poin II angka 6).
Dalam konteks hukum acara Indonesia, timbul kesulitan dalam mengimplementasikan pemahaman ini. Sepintas, syarat untuk melakukan penahanan dalam KUHAP terkesan telah mengakomodir pola pikir tersebut melalui adanya limitasi kewenangan untuk melakukan penahanan berupa hanya dapat dilakukan terhadap tersangka dan terdakwa yang disangka melakukan tindak pidana tertentu dan adanya “kekhawatiran” tersangka atau terdakwa tersebut akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Permasalahannya adalah, tidak ada indikator jelas untuk menilai ada atau tidaknya unsur “kekhawatiran”.
ADVERTISEMENT
KUHAP atau instrumen perundang-undangan lain terkait tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai indikator dari “kekhawatiran” dan juga tidak membebankan kewajiban bagi pejabat berwenang yang melakukan penahanan untuk membuktikan dasar atau rasionalisasi dari ada atau tidaknya suatu “kekhawatiran”.
Persoalan ini pernah diangkat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-IV/2006. Sayangnya, meskipun Mahkamah menyatakan bahwa penahanan harus dilakukan atas dasar adanya pertimbangan rasional penyidik atau penuntut umum dan hakim praperadilan disebut berwenang untuk memeriksa pertimbangan rasional tersebut, tidak ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang untuk menyusun indikator jelas guna menilai ada atau tidaknya rasionalitas yang mendasari “kekhawatiran” dalam melakukan tindakan penahanan. Oleh karena itu, beralasan untuk meragukan akurasi keputusan mengenai perlu atau tidaknya suatu penahanan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, meskipun lembaga praperadilan diberikan kesempatan untuk menilai ada atau tidaknya rasionalisasi yang mendasari suatu “kekhawatiran”, hal ini tidak dapat berdampak langsung dalam peningkatan akurasi pembuatan keputusan mengenai perlu atau tidaknya penahanan.
Penyebabnya adalah selain lembaga praperadilan bersifat pasif dalam menguji keputusan penahanan, sehingga perannya dalam menilai perlu atau tidaknya suatu penahanan tidaklah signifikan, tanpa adanya indikator jelas untuk menguji “kekhawatiran”, hakim praperadilan juga dikhawatirkan akan menghadapi kesulitan dalam menilai perlu atau tidaknya suatu penahanan.
Menentukan indikator jelas untuk menentukan ada atau tidaknya suatu “kekhawatiran” dalam bentuk suatu Risk Assessment Tools bukanlah suatu wacana baru. Perlunya kejelasan indikator untuk menilai perlu atau tidaknya suatu penahanan dilandaskan pada pemikiran bahwa pejabat yang berwenang cenderung risk averse dalam memutuskan untuk menahan seseorang karena berbagai alasan seperti takut disalahkan apabila ternyata dikemudian hari keputusan untuk tidak menahan seorang tersangka membawa konsekuensi negatif, stereotip terhadap tersangka, atau karena alasan tidak memiliki waktu dan sarana yang cukup untuk menggali fakta terkait perlu atau tidaknya dilakukan penahanan (Catherine Heard and Helen Fair, 2019).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kejelasan indikator diperlukan untuk membantu pejabat berwenang dalam proses pembuatan dan pengujian keputusan penahanan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, melalui Federal Bail Reform Act tahun 1996, ditentukan indikator-indikator untuk menilai “kekhawatiran” seperti sifat dari tindak pidana yang didakwakan, bukti-bukti memberatkan yang dimiliki oleh penuntut umum, keterikatan tersangka atau terdakwa dengan keluarga, pekerjaan, sumber penghasilan, karakter, kesehatan mental, lamanya seorang terdakwa menetap di suatu lokasi, riwayat tindak pidana, riwayat tidak mematuhi panggilan pengadilan, dan riwayat melarikan diri dari proses penyidikan/penuntutan. Perangkat untuk mengukur resiko guna menentukan perlu atau tidaknya suatu penahanan ini telah melalui proses perbaikan secara gradual guna meningkatkan akurasi dalam proses pembuatan keputusan perlu atau tidaknya penahanan sekaligus meminimalisir potensi diskriminasi dalam pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Diperlukan perbaikan secara sistematis untuk meningkatkan akurasi keputusan mengenai perlu atau tidaknya suatu penahanan di Indonesia, salah satunya adalah dengan membuat indikator jelas untuk menentukan ada atau tidaknya “kekhawatiran” sebagai dasar melakukan penahanan. Sayangnya, wacana ini cenderung terabaikan dalam desain reformasi peradilan pidana. Salah satu bukti dari terabaikannya urgensi untuk membuat ukuran objektif mengenai unsur kekhawatiran ini tercermin dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. RUU KUHAP hanya memproyeksikan beberapa pembaruan terkait penahanan seperti membatasi jangka waktu penahanan dan kewajiban membawa tersangka ke hadapan hakim komisaris untuk meminta penahanan lanjutan. Meskipun perubahan-perubahan tersebut diperlukan, tanpa adanya indikator jelas untuk mengukur “kekhawatiran” pejabat yang berwenang dalam memutuskan tindakan penahanan, akurasi mengenai perlu atau tidaknya suatu penahanan masih menjadi suatu tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Reformasi sistemik melalui perubahan KUHAP masih membutuhkan waktu. Akan tetapi, bukan berarti upaya perbaikan juga harus menunggu. Pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dapat meningkatkan akurasi pembuatan keputusan mengenai perlu atau tidaknya suatu penahanan melalui instrumen peraturan internal atau peraturan bersama yang memuat indikator jelas untuk menilai rasionalitas dari “kekhawatiran” yang mendasari keputusan penahanan. Dengan mengacu pada pedoman umum yang digariskan ICCPR dan the Tokyo Rules dan praktik-praktik di berbagai belahan negara lain dalam menyusun indikator untuk menentukan perlu atau tidaknya suatu penahanan disertai dengan mitigasi resiko dari tidak dilakukannya penahanan, upaya peningkatan akurasi keputusan penahanan adalah hal yang mungkin untuk segera dilakukan.
Kejelasan indikator untuk menilai rasionalitas “kekhawatiran” akan bermanfaat dari berbagai aspek. Selain bermanfaat untuk membantu pejabat yang berwenang dalam memutuskan dan menguji perlu atau tidaknya penahanan dengan lebih akurat, tersangka dan terdakwa juga tentu akan lebih terlindungi haknya dari kemungkinan terjadinya perampasaan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sebagai bahan refleksi, terkait dengan penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx, seandainya Jerinx bersedia menghapus akun media sosialnya, ditambah dengan komitmen untuk tidak melakukan aktifitas apapun di media sosial, apakah rasionalisasi “kekhawatiran” untuk mengulangi tindak pidana yang didakwakan kepadanya masih beralasan?
ADVERTISEMENT