Kasus Robertus Robet Ancam Kebebasan Berekspresi

ICJR
Institute for Criminal Justice Reform
Konten dari Pengguna
7 Maret 2019 13:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ICJR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Robertus Robet. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Robertus Robet. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Jakarta Rabu, 6 Maret 2019 sekitar pukul 23.45 WIB, masyarakat dikejutkan oleh upaya paksa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap Robertus Robet, seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Robet ditangkap karena diduga mengkritik Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada saat Aksi Kamisan beberapa waktu lalu.
Dirinya dijerat terkait ujaran kebencian dengan tuduhan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan / Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan / atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR dan LBH Pers memiliki catatan atas penetapan tersangka dan upaya paksa yang dilakukan kepolisian terhadap Robertus Robet, yaitu:
ADVERTISEMENT
Pertama, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen ke II, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat (3) secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat.
Pasal 22 ayat (3) UU Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut. Secara internasional pasal tersebut juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12 tahun 2005.
Apa yang dilakukan Robertus Robet telah secara tegas didukung oleh konstitusi. Pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kedua, penjeratan dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait Ujaran Kebencian sangatlah tidak masuk akal karena Robet melakukannya bukan melalui sistem elektronik namun secara offline. Secara subtansi pasal rumusan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tersebut juga memiliki kesamaan norma dengan rumusan dalam KUHP, khususnya tentang tindak pidana ujaran kebencian sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 KUHP.
Keduanya memiliki syarat kuat bahwa perbuatan ujaran kebencian itu harus bersifat propaganda dan penghasutan bukan sekadar “penghinaan” atau “tuduhan”. Yang lebih fatal, pelanggaran UU ITE dan Pasal 156 KUHP harus didasari perbuatan berbasis SARA dan atau golongan dalam masyarakat, sedangkan pejabat pemerintah ataupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini. Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penjeratan menggunakan Pasal Berita Bohong atau Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 tentang Pidana menyiarkan dan Pemberitaan Berita Bohong mempidana perbuatan dengan 3 unsur penting, yaitu pertama, harus ada berita dan pemberitaan di mana ujaran itu harus memiliki informasi di dalamnya; kedua, ada unsur keonaran di masyarakat; dan ketiga, patut menduga bahwa berita dan atau pemberitaan itu bohong.
"Keonaran di Masyarakat" dalam penjelasan pasalnya adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Dalam konteks ini, refleksi dari perbuatan akademisi Robet sangat tidak pas dikategorikan sebagai tindakan yang menyebabkan keonaran, karena isu Dwifungsi TNI tersebutlah yang menjadi penyebab keonaran di masyarakat dengan dibuktikan pada banyaknya penolakan rencana diaktifkannya kembali Dwifungsi TNI.
ADVERTISEMENT
Juga, tidak ada nilai informasi dari ujaran Robertus Robet, karena apa yang dia sebutkan telah lama digunakan dalam pergerakan mahasiswa sehingga tidak lagi relevan menyebutkan apakah nyanyian itu berita bohong atau tidak.
Keempat, penjeratan menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan yang ada di Indonesia juga sangat tidak tepat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa.
Ilustrasi keadilan Foto: Istimewa
Dengan demikian semestinya jika lembaga kepolisian ataupun TNI yang merasa terhina, seharusnya yang berhak melakukan pengaduan adalah Kapolri atau Panglima TNI sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga tersebut.
Terakhir, tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh kepolisian seperti yang diterapkan kepada Robertus Robet tanpa mengikuti prosedur yang diterapkan dalam KUHAP merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan ini jelas ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan kebebasan berekspresi di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, ICJR dan LBH Pers mendesak:
Jakarta, 7 Maret 2019
***
ICJR dan LBH Pers
Narahubung:
Sustira Dirga (ICJR): 085697285358/087741602131
Ade Wahyudin (LBH Pers): 085773238190