Menolak Diswab Bukan Berarti Bodoh

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
Konten dari Pengguna
29 Juni 2021 18:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
Puncak kekecewaan dari sebagian warga yang mengaku warga Madura akhrinya tertumpahkan kemarin di aksi akbar terjatuk Madura Menggugat. Sebuah aksi protes atas kebijakan pemerintah Kota Surabaya melakukan penyekatan di Pintu keluar jalan tol jembatan Suramadu. Berdasarkan video beredar itu, sekira ada ratusan kendaraan memadati jembatan Suramadu, iring-iringan menuju balai kota Surabaya untuk menyampaikan protes mereka.
ADVERTISEMENT
Muncul pro kontra atas aksi tersebut. Sebagian menyebutkan bahwa aksi tersebut merupakan tindakan bodoh. Dan, yang bilang seperti itu termasuk teman saya yang asli Madura. Seharusnya, katanya, aksi tersebut tidak memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya warga Madura. Bagaimana mau selesai penanganan Corona di Madura kalau sebagian rakyatnya tidak mau diswab. Begitu kata teman saya tadi.
Bagi pihak pro menyebutkan bahwa penyekatan bagi warga Madura yang masuk ke Surabaya lewat jembatan Suramadu adalah bentuk diskriminasi pada warga Madura. Kenapa hanya warga Madura yang dilakukan swab? Kenapa tidak swab yang di pasar-pasar, mal-mal atau tempat keramaian lainnya.
Saya kurang sepakat dengan argumentasi pihak pro aksi demo Madura Menggugat, dan menyebutkan bahwa diswab adalah bentuk diskriminasi. Swab antigen yang dilakukan di jembatan Suramadu adalah bentuk antisipasi untuk menekan laju penyebaran COVID-19. Hal tersebut dilakukan karena adanya peningkatkan lonjatan kasus COVID-19 di Bangkalan. Dikhawatirkan akan menulari tempat-tempat lain khususnya kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada pihak yang membantah, bukankah swab harus dilakukan berdasarkan tracing kasus? Kalau swab kan cost nya mahal. Harus pinjam Tenaga Kesehatan (Nakes) yang harusnya bekerja di Puskesmas atau Rumah Sakit. Juga biaya alat tes swab dan keperluan lainnya. Idealnya begitu. Maka timbul juga pertanyaan, apakah di Bangkalan atau daerah Madura lainnya tidak menggenjotkan tracing di lapangan? Lalu kenapa pendemo kemarin tidak menuntut dilakukan secara masif alih-alih menolak untuk diswab?
Menurut saya masalahnya tidak sesedarhana itu. Problemnya bukan hanya tentang tidak dilakukan tracing dengan baik, ada juga masalah lain seperti tidak taat protokol kesehatan, ketidakdisiplinan masyarakat. Dan, masalah utamanya, menurut saya, adalah rendahnya literasi kesehatan khsusnya bagi sebagian warga Madura yang ikut demo atau mendukung demo tempo hari.
ADVERTISEMENT
Literasi kesehatan dapat diartikan sebagai sejauh mana individu memiliki kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan memahami informasi dan layanan kesehatan dasar yang diperlukan untuk membuat keputusan terkait kesehatan yang tepat. Kemampuan untuk membaca dan memahami informasi kesehatan adalah kunci untuk mengelola masalah kesehatan.
Menurut beberapa hasil riset menyebutkan bahwa masyarakat yang punya literasi kesehatan rendah akan punya kecenderungan menolak dilakukan screening kesehatan dan aksi pencegahan. Dalam kasus Covid-19, mereka akan menolak untuk diswab. Hal ini terjadi di Madura, mungkin juga ditempat lainnya. Tetapi, rendahnya literasi kesehatan itu bukan berarti bahwa mereka memiliki kecerdasan yang rendah.
Dalam situasi pandemi seperti ini sangat penting untuk memahami tingkat literasi kesehatan masyarakat sebagai upaya meningkatkan keberhasilan pemerintah maupun layanan kesehatan untuk menangangi pandemi.
ADVERTISEMENT
Meningkatkan literasi kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi. Maka, ini dapat berkaitan dengan cara dan media yang digunakan. Selain itu, penting memahami budaya, keyakinan dan perilaku mereka.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UMSurabaya terjun ke wilayah pesisir di daerah Surabaya yang banyak dihuni oleh masyarakat asal madura, di mana penduduk sekitar telah abai menerapkan prokes. Melalui aksinya, mahasiswa FIK memberikan penyuluhan dengan bahasa yang mudah mengerti, poster menggunakan bahasa madura, dan edukasi menggunakan video interaktif. Bagusnya lagi, mereka memakai pakaian sakera sebagai simbol bahwa pejuang asal suku Madura itu bukan lagi memerangi penjajah kolonial belanda, tetapi tugas sakera hari ini adalah memerangi COVID-19.
Cara, metode dan instrumen yang tepat akan membantu meningkatkan literasi kesehatan masyarakat. Maka, perlu kehati-hatian dalam mengucapkan atau mengeluarkan kebijakan kepada masyarakat yang punya literasi kesehatan rendah.
ADVERTISEMENT
Kegiatan seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UMSurabaya tentu saja efektif, dan punya dampak tetapi perlu dilengkapi dengan tindakan-tindakan lain. Dalam hal ini pemerinta dengan segala instrumennya harus bergerak.
Sayang upaya itu belum dilakukan khususnya di Bangkalan kemarin. Kalau mau serius, harusnya metode konvensional dapat dilakukan. Yaitu, mendekati dan meyakinkan para kiai berpengaruh di sana bahwa virus corona sangat berbahaya dan nyata. Oleh karenanya, para kiai dapat memberikan himbauan yang massif kepada keluarga dan umatnya untuk taat protokol kesehatan dan tindakan pencegahan lainnya. Itu salah satu bentuk meningkatkan literasi kesehatan masyarakat. Dan, masih banyak cara lainnya.
Tetapi kembali lagi saya ingatkan bahwa upaya meningkatkan literasi kesehatan masyarakat khususnya tentang COVID-19 di Indonesia sangat sangat susah. Mungkin juga sudah terlambat.
ADVERTISEMENT
Lha, gimana tidak susah, wong pas awal rame2nya COVID-19, oleh pemerintah direspon dengan guyonan. Nasi nasi dan qunut cukup mengatasi covid-19.
Maka tepatkah kita menyebut masyarakat yang menolak diswab itu bodoh-bodoh?