Ingatan pertamaku akan Idulfitri adalah soang. Kami memakannya dengan lahap pagi itu, selepas sembahyang di kediaman kami. Aku ingat betapa tidak berdayanya diriku melihat soang-soang itu disembelih, kemudian direndam dengan air panas yang hampir memenuhi ember setinggi pinggang orang dewasa pada sore hari sebelumnya. Air mataku belum berhenti menetes sampai ketika pria yang bertugas mencabut bulu-bulunya dengan bengis, memotongnya menjadi sepuluh bagian dan menyerahkannya kepada Bude. Dengan telaten ia melumuri bagian-bagian tersebut dengan bumbu berwarna kuning. Ia tidak akan membiarkan ada satu bagian pun yang lolos ke kuali raksasa sebelum sepenuhnya menguning. Aku sudah lelah menangis dan tak mampu lagi menyaksikan bagian-bagian itu dihakimi dengan kobaran api dari kayu bakar di bawahnya.
Meskipun begitu berkabung, rasa soang yang dimasak dengan sedikit kuah berwarna jingga tersebut cukup meredakan kegundahanku, tepat setelah melumat habis suapan pertama.
Tapi tetap saja, ingatan akan pembantaian soang-soang itu masih tergambar dengan jelas.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814