Antara Hongi dan Henge'do

ika silalahi
Diplomat Indonesia, pernah ditugaskan di KBRI Wellington-Selandia Baru. Saat ini mengikuti Diklat Sesdilu 61.
Konten dari Pengguna
18 Agustus 2018 13:57 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ika silalahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mendarat pertama kali di bandara AA Berre Tallo, Atambua, Nusa Tenggara Timur, saya melihat dua orang ibu berjabat tangan dan saling menempelkan hidung mereka. Saya terkejut, pemandangan seperti itu cukup familiar bagi saya. Namun, bukan saya temukan di Indonesia, melainkan di Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
Selama menjalankan tugas selama tiga tahun di negeri Kiwi, Hongi merupakan hal yang tidak asing bagi saya. Hongi merupakan salam khas tradisi suku Maori di Selandia Baru yang dilakukan dengan cara saling menempelkan hidung dan dahi serta berbagi nafas.
Makna yang terkandung dalam Hongi adalah persatuan kedua belah pihak. Hongi juga cukup populer setelah Presiden Indonesia dalam kunjungannya ke Selandia Baru, Maret 2018 lalu disambut dengan tradisi Hongi oleh Tetua Suku Maori, Piri Sciascia.
Joko Widodo terima Maori Hongi. (Foto: AFP/Marty Melville)
Ternyata budaya tersebut juga ada di masyarakat NTT, khususnya masyarakat Sabu Raijua. Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai suku lain di NTT seperti Rote, Sumba, dan Timor. Tradisi cium hidung ini dikenal dengan Henge’do.
ADVERTISEMENT
Hampir sama dengan makna yang terkandung dalam Hongi, Henge’do juga melambangkan keakraban dan keterikatan satu sama lain. Henge’do juga dapat dilakukan oleh orang tua, muda, atau dengan yang berlainan jenis sekalipun.
Perbedaannya, Hongi dilakukan dengan menempelkan hidung dan dahi, sedangkan Henge’do dilakukan dengan saling menggesekkan hidung.
Foto: koleksi pribadi
Dalam kesempatan mengajar siswa SD Wirasakti di Atambua beberapa hari lalu, saya juga berkesempatan melakukan Henge’do dengan salah seorang siswi disana. Saya bercerita bahwa budaya tersebut juga ada di Selandia Baru. Kegiatan mengajar kemudian dilanjutkan dengan berbagai cerita tentang negara Selandia Baru yang dengan antusias disimak oleh para siswa. “Kak, saya mau jadi diplomat. Saya juga mau pergi ke Selandia Baru nanti” ujar Diana, seorang siswa asal Timor.
ADVERTISEMENT
Mengejar mimpi rupanya dapat dimulai dengan terlebih dulu mencari persamaan dan hal yang mempersatukan. Pastinya lebih menyenangkan dan tidak terbelenggu dengan perbedaan.
Salam dari Atambua.