Berhentilah Mencari Passion-mu

Ikfina Maufuriyah
Saya mengajar di MTs Hasyim Asy'ari Bangsri, Jepara. Saya juga membentuk Komunitas Peduli Anak (KOMPAK) Jepara.
Konten dari Pengguna
12 September 2021 9:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ikfina Maufuriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Find your passion!”
Seberapa sering kita mendengar nasihat para motivator untuk segera mencari passion? Saya yakin kita sering mendapat nasihat ini. Karena konon dengan passion-lah seseorang mudah untuk mendapatkan kesuksesan dan bahkan kebahagiaan. Kalimat motivasional di atas seolah menegaskan bahwa dengan menemukan passion dan menjalani hidup sesuai passion maka kita berada pada puncak kebermaknaan hidup. Hidup rasanya akan menyenangkan bila kita sudah tahu passion kita, dan peluang keberhasilan pun terbuka lebar dengan berpegang pada passion.
ADVERTISEMENT
Passion selama ini kerap dimaknai suatu kata benda yang ia ada untuk dicari, ditemukenali, dan dituju. Tidak hanya orang dewasa yang terpesona dengan pandangan ini, orang tua pun seolah terpantik untuk “menemukan” passion anak secepat mungkin, agar dapat segera menemukan arah hidup dan memproyeksikan anak supaya kelak dapat meraih sukses di usia lebih muda. Di forum-forum pelatihan kepemimpinan dan motivasi, di ruang-ruang kelas, dan bahkan di obrolan warung kopi, istilah ini fasih dibincangkan.
Passion adalah kesenangan dan energi yang kita curahkan dalam aktivitas kita
Dulu waktu masih SD, ketika guru bertanya tentang cita-cita, spontan saya bilang: “Jadi guru!”. Jenis pekerjaan mulia yang menurut saya sama kerennya dengan cita-cita yang disebutkan teman-teman lainnya, setara dengan polisi, tentara, dokter, atau bahkan presiden kala itu.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan siswa SD zaman tahun 80-an, pekerjaan-pekerjaan tersebut lumrah disebutkan oleh anak-anak ketika ditanya tentang cita-cita. Menurut saya sebenarnya itu bukan cita-cita sungguhan, sebab anak-anak hanya sekadar merespons pertanyaan orang dewasa yang membutuhkan jawaban artifisial untuk menyenangkan mereka dan agar nampak memiliki proyeksi masa depan cerah. Pun anak-anak tidak tahu konsep pekerjaan itu seperti apa.
Andai orang dewasa saat itu mengerti bahwa kami di masa kini memiliki ratusan jenis peluang pekerjaan yang dalam mimpi pun tidak ditawarkan oleh masa lalu.
Dikotomi tentang pekerjaan, kegemaran, dan hobi lama-lama dikaitkan dengan passion. Passion yang diartikan sebagai gairah atau antusiasme pada sesuatu menjadi semacam identifikasi bagi orang-orang yang dikategorikan sukses dan menjadi penanda bahwa seseorang yang sukses adalah yang menjalani passion-nya. Ia berhasil menemukan passion atau gairahnya pada sesuatu, menghidupi dan hidup darinya. Karena banyak sekali yang menjalani passion dan dikatakan sebagai sukses, maka tak heran bahwa banyak teori motivasi kerap menyebutkan aspek ini sebagai poin kunci untuk sukses.
ADVERTISEMENT
Ketika beranjak dewasa, seiring dengan bertambahnya wawasan, pengalaman, dan pertemanan, keinginan hidup saya rasanya berubah-ubah. Kadang ingin ini, kadang ingin itu. Yang saya kira adalah bakat dan passion saya, ternyata tidak berjalan lama. Yang baru pertama saya coba, ternyata malah kesengsem dan dijalani hingga bertahun-tahun lamanya.
Waktu mengambil jurusan Sastra Inggris saat kuliah S1, saya rasanya sudah yakin mau memilih profesi penerjemah karena saya bukan tipe penyuka kerja kantoran yang rigid soal jam kerja. Terlebih ketika dapat kesempatan untuk menerjemahkan buku dengan honor lumayan untuk kategori mahasiswa yang belum lulus, keinginan itu semakin kuat. Saya merasa itu passion saya. Saya amat menikmati momen menerjemahkan yang tak hanya bisa dilakukan di mana saja dengan waktu yang sangat fleksibel, juga yang tak kalah pentingnya adalah dapat honor yang menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Di akhir tahun kuliah, ternyata ada satu sekolah yang melamar saya untuk mengajar, bukan sebaliknya. Mendapat tawaran mengajar itu rasanya saya beromantisme kembali dengan cita-cita masa kecil saya. Dalam hati saya meyakinkan diri saya untuk mengambil kesempatan ini karena mungkin ini jalan saya yang sebenarnya. Seiring berjalannya waktu, saya mencintai pekerjaan saya. Saya menikmati waktu ketika berjumpa dengan murid-murid di kelas dan segala hiruk pikuk seputar pengajaran. Saya katakan pada banyak orang bahwa mengajar dan menjadi guru adalah passion saya! Manis bukan?
Saya pun masih mempertahankan keyakinan dan pemahaman saya tentang kegandrungan saya dengan pekerjaan sebagai pengajar, bahwa passion saya ada di sana. Segala seminar, pelatihan, buku-buku referensi, hingga pilihan jurusan ketika melamar beasiswa S2 sangat berbau pendidikan. Saya ingin hidup dengan dan menghidupi passion saya. Rasanya hal ini sangat lumrah terjadi pada siapa saja yang menjalani satu bagian kehidupan yang bisa dianggap membanggakan.
ADVERTISEMENT
Selepas studi S2 di kampus mentereng di negeri ini, saya mulai aktif di kegiatan-kegiatan sosial di area perdamaian dan lintas agama yang saya lakukan di luar pekerjaan saya sebagai guru. Saya mulai jatuh cinta dengan aktivitas ini. Seminar, konferensi, pelatihan di dalam dan luar negeri, hingga program kunjungan dan pertukaran lolos saya ikuti, meski harus melalui kompetisi ketat. Sempat saya berpikir, apakah ini jalan saya? Lalu passion saya yang sebelum-sebelumnya bagaimana? Bisakah seseorang menjalani semua passion-nya? Ataukah saya nggak punya pendirian?
Beberapa tahun terakhir, saya mulai kerap bikin kue. Saya mempelajari secara otodidak dari internet dan Youtube yang awalnya saya lakukan untuk anak-anak saya. Lama kelamaan saya mulai memperkenalkan kue-kue bikinan saya ke saudara dan teman, dan perlahan tapi pasti satu persatu pelanggan mulai rutin memesan kue bikinan saya. Semua orang heran, semuanya bertanya; “Kok bisa? Emang kamu kursus di mana?”
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama, bisnis saya mulai berbentuk dan 3,5 tahun yang lalu saya buka bakery & coffee shop di kota saya. Puluhan pertanyaan saya terima di awal-awal saya memulai bisnis kuliner. Pertanyaan yang sama: “Kok bisa?”. Saya juga kesulitan untuk menjawabnya. Yang saya tahu, meski tanpa guru langsung, saya cukup cepat mengimitasi dan memodifikasi resep-resep yang bertebaran di internet. Dan sekali lagi, saya sangat menikmati pekerjaan ini, apalagi pemasukan dari sini lebih besar daripada menjadi guru. Apakah ini passion saya? Kenapa ada lagi yang lain?
Di akhir tahun lalu, saya mendapatkan grant dari pemerintah Australia untuk project saya tentang peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang disleksia. Selain menjalankan proyek dan terlibat aktif dalam organisasi yang mempromosikan kepedulian tentang disleksia, lama kelamaan topik ini juga menarik hati saya untuk menjadikannya topik penelitian untuk (calon) disertasi saya apabila ada peluang untuk studi lanjut. Passion lain lagikah ini?
Nikmati dan cintailah apa yang kamu kerjakan, sekecil apapun itu.
Bertahun-tahun saya bingung dengan diri saya sendiri. Rasanya identitas saya tidak jelas, pekerjaan juga tidak jelas, apalagi passion saya. Beberapa minggu yang lalu, saya tertarik membuka link TEDx Talk yang dibagikan oleh salah seorang teman di Facebook yang berjudul “Stop searching for your passion” oleh Terri Trespicio. Apa yang disampaikan oleh Terri sungguh mencerminkan apa yang saya alami dan yang selama ini saya cari-cari penjelasannya.
ADVERTISEMENT
Pada satu bagian presentasinya ia menyebutkan bahwa passion itu bukan pekerjaan, bukan olahraga, dan bukan hobi, melainkan atensi dan energi yang sepenuhnya kita curahkan pada apapun yang sedang kita hadapi. Ia juga menegaskan bahwa passion adalah emosi dan perasaan sehingga ia bisa berubah. Ia lalu menutup presentasinya dengan kalimat yang sangat menyentuh: “You don’t follow your passion, your passion follows you”.
Dari sinilah, saya akhirnya merasa baik-baik saja, tidak ada yang salah dengan memiliki minat yang banyak dan menjalani semuanya dengan sungguh-sungguh. Perasaan yang sama juga muncul ketika khatam membaca bukunya David Epstein yang berjudul Range. Ternyata saya seorang generalis dan menjadi demikian itu tidak salah, justru memiliki banyak keuntungan.
ADVERTISEMENT
Saya pada akhirnya meyakini bahwa beragam kemampuan dan keterampilan yang kita miliki bukan semata-mata karena bakat, tapi sejauh mana kita mencurahkan perhatian, semangat, energi, dan kecintaan untuk belajar dan menguasainya. Itulah passion!