Dilema Pendidikan Inklusi

Ikfina Maufuriyah
Saya mengajar di MTs Hasyim Asy'ari Bangsri, Jepara. Saya juga membentuk Komunitas Peduli Anak (KOMPAK) Jepara.
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2021 10:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ikfina Maufuriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam suatu obrolan di teras kelas 4 SD inklusi, salah seorang pengurus Yayasan celetuk berkomentar, “Ngapain anak-anak itu dipisah dari teman-temannya dan belajar di luar kelas bu? Kalo pendidikan inklusi ya mestinya mereka belajar bareng dong dengan teman-teman yang lain?” Tanyanya ke guru pendamping khusus.
ADVERTISEMENT
Lain waktu, seorang pengurus Yayasan yang lain merespons dengan enteng pada guru yang kebingungan menentukan rencana belajar untuk anak down syndrome, dan berujar “Ya… Keluarkan sajalah potensinya pak, jangan fokus pada kekurangannya."
Ilustrasi gambar diambil dari https://unsplash.com/photos/4K2lIP0zc_k
Kalimat-kalimat tersebut terkesan biasa saja bagi kita, terutama bagi yang kurang familiar dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan pendidikan inklusi. Tapi yang tak asing dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus, pertanyaan dan komentar tadi terasa dilematis.
Pendidikan inklusi pada dasarnya bukanlah hal atau wacana baru. Dari perjalanan perundang-undangan pemerintah di republik ini, bisa dikatakan bahwa pendidikan ramah disabilitas atau populer dikenal sebagai pendidikan inklusi sudah secara tersurat dan gamblang disebut dalam undang-undang.
Dalam Permendiknas no.70 tahun 2009 dikatakan bahwa pendidikan inklusi yakni pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Berbekal semangat bahwa pendidikan adalah hak setiap anak/individu itulah, maka pemerintah mulai mendorong sekolah-sekolah untuk menerima semua kondisi anak tanpa kecuali. Sedapat mungkin latar belakang dan ragam kondisi anak tetap bisa difasilitasi oleh pihak sekolah atau penyelenggara pendidikan lainnya. Layanan anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak hanya dilayani di SLB, juga diupayakan terjadi di sekolah-sekolah regular atau mainstream.
Melalui pemerintah daerah masing-masing, dilakukanlah penunjukan sekolah negeri, minimal satu sekolah dalam satu kecamatan, untuk bisa menerima dan melayani ABK. Namun, kenyataannya sejak permendiknas tersebut muncul hingga sekarang, tidak ada perubahan yang signifikan, oleh sebab guru-guru dan sekolah tunjukkan tersebut tidak segera difasilitasi dengan serangkaian pelatihan, persiapan dan pendampingan yang terstruktur dan sistematis.
ADVERTISEMENT
Bahasa dan istilah yang tidak sama
Salah satu ganjalan dalam pembahasan inklusi adalah ketidaksamaan bahasa atau istilah yang dipakai ketika membicarakan tentang anak berkebutuhan khusus (ABK). Istilah disabilitas atau difabel lumrah dipakai untuk merujuk pada individu yang memiliki kelainan atau gangguan secara fisik, mental, ataupun intelektual. Istilah ini juga dipilih oleh departemen sosial dan pendidikan untuk mengidentifikasi kelompok ini dan menurunkannya dengan istilah-istilah ketunaan.
Permendiknas no. 70 tahun 2009 mengidentifikasi peserta didik yang memiliki kelainan dengan berbagai istilah ketunaan dan istilah-istilah lain yang maknanya justru saling tumpang tindih dan kurang jelas. Misalnya istilah berkesulitan belajar, lamban belajar, dan gangguan motorik, menurut saya justru lebih merujuk pada gejala umum, bukan istilah klinis yang jelas dan spesifik. Atau misalnya Tuna Laras di mana individu memiliki kesulitan mengelola emosi dan memiliki keterampilan sosial yang buruk. Istilah ini bisa menimbulkan kebingungan atau kerancuan karena misalnya anak ADHD dan anak autis bisa sama-sama menunjukkan gejala perilaku tersebut, namun kategori gangguannya, diagnosis klinis, dan rancangan pendampingannya akan sangat jauh berbeda.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun yang lalu saya pernah diminta turut membagikan pengalaman dalam mengelola sekolah inklusi kepada perwakilan guru-guru SD negeri tunjukkan inklusi di kota saya, bahkan istilah inklusi saja masih disalahmengertikan maknanya. Bagi sebagian besar dari mereka, inklusi adalah ABK, dan perlu cukup waktu untuk meluruskan pemahaman mereka. Apalagi secara lebih jauh mereka diminta untuk mempelajari tentang tumbuh kembang anak, gangguan-gangguan perkembangan, kesulitan belajar, dan strategi mendampingi, saya tidak tahu seberapa besar daya tahan dan komitmen mereka untuk melakukannya.
Dua paradigma
Dalam membicarakan tentang pendidikan anak, biasa kita dengar tentang istilah no child left behind atau education for all di mana setiap anak berhak mendapat layanan pendidikan yang setara. Atas nama kemanusiaan, setiap anak berhak mendapatkan akses layanan pendidikan. Semua orang pasti sepakat tentang hal ini. Pemerintah pun mengundang-undangkannya agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap anak atau individu disabilitas atau berkebutuhan khusus untuk bisa mengakses layanan pendidikan, dan menganjurkan sekolah atau lembaga pendidikan masyarakat bisa memfasilitasi kelompok ini. Sekali lagi atas nama kemanusiaan dan keadilan sosial, tidak boleh ada diskriminasi. Lindsay Peer dan Gavin Reid (2012) mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai universalisme di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pandangan yang tampak ideal tersebut tidak sepenuhnya mudah ketika dibumikan dalam praktik-praktik pendidikan. Sekadar bersemangat untuk melayani anak berkebutuhan khusus saja tidak cukup, perlu banyak amunisi untuk dapat mewujudkannya. Jangan-jangan, agar tampak humanis dan berkeadilan sosial, apapun kondisinya terima saja. Soal bagaimana pendampingannya, dipikir belakangan. Ini yang justru membahayakan.
Pandangan sebaliknya adalah perbedaan atau keragaman individu di mana dikatakan bahwa tiap-tiap individu adalah pribadi yang unik dan berbeda, sehingga tidak bisa diperlakukan sama, apalagi pada individu berkebutuhan khusus. KI Hadjar Dewantara pernah mengatakan bahwa anak itu seperti benih, ia tumbuh dan berkembang sesuai benihnya dan kodratnya masing-masing. Artinya pendidikan mengandung unsur layanan individu, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Saya yakin kita bersepaham dengan istilah no one size fits all dalam pendidikan anak. Anak itu ya individu unik dan berbeda satu sama lain. Standarisasi hanya berlaku pada hal-hal yang sifatnya umum, padahal ada banyak sekali keunikan individu yang tidak bisa difasilitasi oleh kurikulum dan layanan yang standar. Apalagi pada anak berkebutuhan khusus, rancangan yang ideal tentu yang bersifat individual sesuai kondisi dan kebutuhan perkembangan masing-masing individu. Kompleksitas gangguan juga menentukan apakah individu tersebut bisa dilayani di sekolah reguler/inklusi atau tidak.
ADVERTISEMENT
Kedua paradigma tersebut baiknya dimaknai secara utuh, jalan bersama, dan jangan dipisah-pisahkan. Bicara tentang universalisme tentu secara implisit mengakui tentang perbedaan individu. Mengatakan bahwa setiap individu unik juga pada saat yang sama mengakui bahwa setiap individu memiliki derajat dan hak yang sama dalam mengakses pendidikan. Sehingga, ketika kita mendeklarasikan sebagai lembaga pendidikan inklusi, maka seyogyanyalah tidak berhenti pada pandangan universalisme. Ini banyak terjadi di sekolah-sekolah yang mencoba menjadi inklusi dengan menerima anak-anak berkebutuhan khusus, tapi tidak mengerti mau merancang program pendampingan seperti apa untuk mereka.
Proporsional
Niat baik tentu harus sejalan dengan cara yang baik dan tepat. Niat saja tanpa serangkaian upaya yang konkret dan terstruktur ya jadinya hanya slogan-slogan saja. Keras bersuara tapi kosong dalam praktiknya. Dalam upaya membuka layanan pendidikan inklusi, prinsip equality (kesetaraan) harus jalan bersama dengan equity (keadilan). Melayani tanpa diskriminasi iya, tapi pada saat yang sama harus memenuhi prinsip perbedaan individu.
ADVERTISEMENT
Kembali soal cuplikan dialog di atas, bahwa inklusi itu tidak sekadar mencampur anak reguler dan anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas, apalagi menerima materi dan strategi yang sama. Inklusi justru menilai satu persatu kebutuhan anak dan mencoba untuk memfasilitasi keragaman dan kebutuhan belajarnya. Ketika siswa reguler belajar matematika perkalian, boleh jadi anak disabilitas intelektual sedang melatih jari jarinya untuk menggunting, anak cerebral palsy sedang berlatih naik turun tangga, dan anak down syndrome sedang berlatih toilet training karena mungkin itulah kebutuhan perkembangannya saat itu. Tidak ujug-ujug minta guru mengeluarkan potensi atau bakatnya manakala banyak sekali yang perlu dibenahi di area perkembangannya. Anak-anak seperti ini tentu tidak bisa diberikan kurikulum terstandar, bahkan yang termodifikasi sekalipun.
ADVERTISEMENT
Kalau mengatakan bahwa pendidikan inklusi adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi, bukankah memperlakukan anak berkebutuhan khusus tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perkembangannya juga bentuk lain dari diskriminasi?