Polemik di Afghanistan dan Pesan Nasionalisme untuk Bangsa Indonesia

Ikfina Maufuriyah
Saya mengajar di MTs Hasyim Asy'ari Bangsri, Jepara. Saya juga membentuk Komunitas Peduli Anak (KOMPAK) Jepara.
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2021 14:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ikfina Maufuriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berbicara pada konferensi pers pertamanya, di Kabul, Afghanistan, Selasa (17/8/2021). Foto: Rahmat Gul/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berbicara pada konferensi pers pertamanya, di Kabul, Afghanistan, Selasa (17/8/2021). Foto: Rahmat Gul/AP Photo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari terakhir, kita dikejutkan dengan pemberitaan media tentang jatuhnya ibukota Afghanistan, Kabul, dan istana kepresidenan ke tangan Taliban. Penguasaan wilayah ini dan beberapa wilayah lainnya terjadi sangat cepat pasca mundurnya militer Amerika dari negara tersebut. Dan yang mengejutkan lagi, pendudukan tersebut terjadi tanpa pertumpahan darah dan perlawanan dari militer pemerintah.
ADVERTISEMENT
Secara serentak media televisi menyiarkan peristiwa ini dan berbagai tokoh ataupun pengamat politik Timur Tengah dihadirkan untuk memberikan tanggapan. Pada satu sesi wawancara, Hasibullah Satrawi, seorang pengamat politik Timur Tengah mengatakan bahwa Taliban hari ini berbeda dari Taliban 20 tahun sebelumnya. Ia telah berubah menjadi kelompok yang lebih “moderat” dan tidak lagi menggunakan kekerasan dalam menguasai wilayah-wilayah di negara tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Timur Tengah lainnya, Faisal Assegaf, mantan wakil Presiden Indonesia Yusuf Kalla, dan mantan ketua Jama’ah Islamiyah, Nasir Abbas, bahwa Taliban telah bertransformasi menjadi lebih moderat dan nir kekerasan, jauh dari tampilan masa lalunya yang kejam dan brutal. Bahkan dikatakan bahwa Taliban mengalami perubahan yang cukup drastis oleh karena kelompok ini ingin masuk kembali ke dalam sistem pemerintahan dan mewacanakan untuk membangun legitimasi secara internal dan eksternal untuk menjadi negara islam yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Merangkum dari beberapa pemberitaan media tentang konflik di Afghanistan dan pandangan-pandangan ahli mengenai isu ini, saya menilai pernyataan Hasibullah Satrawi mengandung sekelumit pesan peringatan kepada bangsa Indonesia. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa jangan sampai keberhasilan Taliban menguasai Kabul dan pemerintahan secara de facto dimaknai oleh kelompok radikalis dan ekstremis di Indonesia sebagai bangkitnya kejayaan Islam garis keras dan memberikan legitimasi bagi mereka untuk memperkuat misinya mengusung pemerintahan dengan konsep negara islam yang selama ini mereka idam-idamkan. Hal ini juga saya amati dari beragam komentar netizen pro-Taliban di berbagai kolom komentar yang bergembira atas kemenangan Taliban, dan ini cukup meresahkan. Padahal lebih lanjut Hasibullah mengatakan, dan ini juga disampaikan oleh Yusuf Kalla di kesempatan lain, perubahan wajah Taliban saat ini justru dipengaruhi oleh cara pandang baru hasil belajar tentang moderasi beragama dan inklusivitas, terutama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketidakhadiran pemerintah Ashraf Ghani dalam perjuangan mempertahankan negara, dinilai oleh Yusuf Kalla sebagai bagian dari kesepakatan pemerintah dan Taliban untuk tidak ada lagi pertumpahan darah. Boleh jadi karena berbagai masukan yang diterima Taliban selama proses mediasi dengan pemerintahan yang sah sekaligus menimbang bahwa kekerasan yang pernah mereka jalankan tidak menguntungkan bagi mereka, pada akhirnya Taliban melalui otoritas pemimpinnya memilih untuk tidak menggunakan kekerasan dan bahkan berjanji akan membentuk pemerintahan yang lebih ramah dan tidak lagi oppresif serta diskriminatif seperti waktu Taliban pernah memimpin negara tersebut.
Apa yang terjadi saat ini di Afghanistan memberi pesan kepada kita semua bahwa perdamaian adalah syarat mutlak agar manusia dapat hidup secara manusiawi dan bermartabat. Perjalanan untuk menuju masyarakat yang inklusif dan setara masih jauh sekali dari titik saat ini di mana upaya yang dilakukan adalah semata-mata menghindari kekerasan. Kekacauan yang terjadi di sana menunjukkan bahwa masyarakat Afghanistan belum percaya terhadap Taliban atas “kejahatan” masa lalunya.
ADVERTISEMENT
Sebagian penduduk Afghanistan, terutama yang tinggal di perkotaan, berusaha eksodus dan melarikan diri keluar dari negaranya karena mereka mengalami trauma atas kekejaman rezim Taliban yang pernah berkuasa sebelumnya. Ketakutan dan kecemasan akan masa depan mendorong mereka untuk secepatnya keluar dari negara tersebut untuk mencari perlindungan. Rupanya upaya “promosi damai” yang dilakukan oleh Taliban agar mereka tetap tinggal dan dijamin keamanannya tidak serta merta membuat masyarakat percaya. Intensi “damai” oleh Taliban perlu pembuktian lebih lanjut.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk menghindari konflik dan pertumpahan darah, serta upaya mediasi berbagai pihak untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Afghanistan adalah upaya damai dalam spektrum kiri. Galtung (1964, di dalam artikel Grewal, 2003) memperkenalkan dua dimensi dalam memaknai perdamaian (peace), yaitu negative peace dan positive peace. Negative peace adalah perdamaian yang merujuk pada tiadanya kekerasan, konflik, atau peperangan, sedangkan positive peace yang berada di spektrum kanan lebih menitikberatkan perdamaian pada terwujudnya masyarakat yang terintegrasi/bersatu, kohesif, dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Perdamaian dalam suatu negara tidak dapat dipisahkan dari nasionalisme masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Kedua hal ini saling mempengaruhi secara dinamis. Bisa dikatakan bahwa individu yang memiliki rasa cinta, bangga, dan setia pada bangsa yang tinggi akan berupaya untuk berlaku damai di lingkungannya, minimal menghindari konflik. Pun sebaliknya, situasi damai dan toleran bisa juga mempengaruhi rasa nasionalisme karena masyarakat merasa nyaman dalam situasi tersebut dan akan berusaha mempertahankannya dari ancaman-ancaman yang berpotensi mengacaukan.
Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki potensi konflik yang lebih besar dari negara-negara lain. Dengan kompleksitas keragaman di negara ini, tentu potensi keretakan dan peluang konflik juga tinggi. Namun, sejauh ini kekuatan-kekuatan komunitas akar rumput sangat signifikan pengaruhnya terhadap kestabilan kerukunan masyarakat. Nasionalisme turut ambil peran sebagai bahan bakar (fueling) agar motor selalu bergerak untuk memperjuangkan perdamaian di negeri ini. Semakin inklusif dan kuat kohesivitas masyarakat, mereka akan cenderung memiliki mekanisme pertahanan diri secara komunal yang lebih kuat akan masuknya paham-paham intoleran dan radikal sekaligus menjelma menjadi kekuatan kolektif untuk tumbuh dan membangun kekuatan bersama.
ADVERTISEMENT
Kekuatan bangsa yang didasari dengan rasa nasionalisme tinggi ini apabila tidak dirawat akan semakin membuka peluang terjadinya konflik di kemudian hari, termasuk masuknya paham-paham radikalisme dan ekstremisme yang bisa merongrong kohesivitas masyarakat. Mencintai dan setia kepada negara bisa dilihat sebagai alasan masyarakat Indonesia berjuang mati-matian menolak paham dan ideologi intoleran dan radikal tumbuh di bumi nusantara, sekaligus pada saat yang sama mendorong masyarakat untuk terus berkarya demi keutuhan dan kemajuan bangsa.
Dengan nasionalisme yang tinggi, pluralisme dan keragaman di masyarakat dinilai sebagai suatu keniscayaan. Diperlukan inisiatif yang berkesinambungan dari warga masyarakat untuk merawat hubungan antar kelompok di masyarakat agar tetap harmonis. Sama halnya dengan pernikahan, pasangan tidak semata-mata disatukan untuk hidup bersama, melainkan perlu serangkaian upaya untuk saling menerima, mengisi dan tumbuh bersama.
ADVERTISEMENT
Kita diingatkan kembali bahwa penting untuk menjaga dan merawat apa yang kita miliki jika tidak mau mengalami hal yang sama di negara-negara konflik lainnya. Kita tidak perlu merasakan konflik terlebih dahulu untuk menakar rasa nasionalisme kita dan memahami pentingnya perdamaian. Apa yang terjadi di negara lain bisa memberikan pelajaran kepada bangsa Indonesia tentang betapa mahalnya harga perpecahan dan konflik. Dibutuhkan upaya yang jauh lebih keras untuk sekadar keluar dari konflik, apalagi mewujudkan masyarakat yang damai dan inklusif. Justru pada situasi damai seperti di Indonesialah menjadi titik tolak mempromosikan perdamaian secara masif yang digerakkan oleh kekuatan semangat nasionalisme. Karena merawat perdamaian pada kondisi yang baik akan jauh lebih mudah dan murah daripada memperbaiki situasi pasca konflik.
ADVERTISEMENT