Mereka Bertahan di Sisa Bangunan Rusun Penjaringan

27 Januari 2017 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kondisi rusun Tanah Pasir. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Deretan kamar-kamar berwarna krem tertumpuk empat lantai menjulang, berderet panjang ditutupi kumalnya jemuran. Warga di sana saling sapa. Ada yang membawa anaknya, atau hanya sekedar rebahan di pinggiran gang. Langkah saya pun terhenti menuju Blok E, F, dan G Rusunawa Penjaringan.
ADVERTISEMENT
Di sana keadaan rumah susun begitu memprihatinkan. Pecahan kaca di mana-mana, sampah berserakan, sisa-sisa bangunan bertebaran. Namun masih ada saja anak kecil yang bermain tanpa beban.
Nasron (60), salah satu dari ratusan warga yang bertahan. Setelah Mei-Juni tahun lalu pertemuan yang melibatkan pemuka masyarakat, RT, RW, warga sepakat untuk pindah sementara menunggu harapan revitalisasi Juli mendatang.
"Pengosongan tak langsung terjadi. Semestinya kita harus keluar baru lampu dimatiin air dimatiin. Ternyata kenyataannya sebaliknya. Listrik dan air sengaja dimatikan agar kita pindah. Beberapa hari berikutnya terjadi penjarahan oleh orang-orang tak bertanggungjawab," ujar ayah 4 anak ini.
Ada penghuni rusun yang berjualan makanan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Harapan kini hanya tinggal angan-angan saja. Nasron sekarang tinggal di bedeng berukuran 3x4 meter saja persis di depan blok E Rusun Penjaringan.
ADVERTISEMENT
"Orang yang belum sempat pindah karena lebaran kurang dari satu minggu pada pulang kampung, sesampai kembalinya di sini semua kaget barang-barangnya hilang karena penjarahan itu. Kaget TV, kulkas dan lain-lain hilang," kenangnya.
Nasron terpaksa tinggal di bedeng ini, dirinya juga mengaku saat ini menumpang sementara di tempat sanak saudara di Blok D. Nasron terpaksa tak tinggal di tempat lain lantaran akan menemui kendala baru, dan lingkungan yang jauh berbeda dibandingkan tempatnya ini. Dirinya tak mampu untuk menyewa kotrakan.
"Saya bingung, peraturan terus berubah setiap pergantian gubernur. Ada yang tak diperhitungkan dan merugikan orang lain. Bayangkan 3 blok, akhirnya berantakan 128 dikali 3 lagi sekitar 400 an penghuni di sini. 1 blok 128 pintu kali 3 RT lagi karena 1 blok, 1 RT, belum lagi yang di dalam rumah memiliki KK lebih dari satu," sesalnya lagi.
ADVERTISEMENT
Bocah cilik yang tinggal di rusun. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
"Itulah yang warga alami, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah susah disusahkan lagi," sesalnya.
Jauh lebih dalam kemudian saya menemui Nenek Leginah (73). Dirinya mengakui lebih lama tinggal di lingkungan ini. Nenek berkacamata ini kemudian bercerita.
"Saya masih ingat dulu masih bayar Rp 36 ribu , beda sama sekarang, sebelum ini terbengkalai, listrik, air dan biaya lain sudah Rp 350 ribu lebih. Saya terpaksa kembali lagi ke sini karena akses dari sini ke mana-mana dekat, rumah sakit dekat, makan dekat daripada tempat saya yang sekarang tinggal sama anak di Ciledug jauh sekarang," tuturnya lirih.
Kebakaran itu masih terngiang di memorinya. Nenek Leginah ingat betul, dulu kawasan ini masih menjadi permukiman. Di sekelilingnya ada empang tempat anak-anaknya biasa bermain. Sebelum empang tersebut pada akhirnya berubah menjadi ruko dan bangunan masjid di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Kondisi rusun yang penuh sampah. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Namun itu berubah 360 derajat setelah musibah kebakaran terjadi. Dirinya kini tinggal bersama sang cucu dan suami yang sekarang sakit sakitan. Sebelum pengosongan terjadi, mereka tinggal di lantai dua. Letaknya berdekatan dengan tangga besi.
"Saya cuman bawa pakaian di badan aja, habis mas semuanya, surat nikah, uang, ke sana ke mari, ludes semuanya. Sedih sekali nggak punya apa-apa. Boro-boro mau beli minum aja uangnya nggak ada, susah," kenang nenek 13 cucu ini.
Sekitar sepuluh meter di sisi kanan, tak jauh dari sang nenek, tinggal salah satu warga yang masih tersisa. Harum kukusan lontong langsung menyeruak ke sela-sela pilar dan tembok rusun yang usang ini. Rupanya Roliyah (75) sedang memasak lontong dan kulit sapi untuk dijual kembali.
ADVERTISEMENT
Tiga anak kecil bermain di tangga rusun. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
"Ini lagi nyiapin. Saya jualnya kulit sapi, kikil, bukan ayam atau kambing. Jual netap, di sini masaknya,” kata Roliyah.
Roliyah nampaknya sudah terbiasa dengan keadaan bangunan rusun ini. "Beginilah keadaannya, rumah masih rusak semua, kalau malam masih banyak nyamuk. Bocor juga plafon ke mana-mana, kesiraman air dari atas, kompor juga basah kena air hujan," tuturnya sedih.
"Saya di sini aja, makan sehari-hari begini, jual lontong, sate dua kilo, dapet Rp 30-40 ribu dapet buat masak lagi. Makan masih nombok di warung, apalagi ngontrak, nggak punya duit saya. Ngutang di warung kalau nggak punya duit. Cucu banyak minta jajan, makan, kita mah puasa bisa bisa aja," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Nenek sedang menanti janji revitalisasi rusun. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)