Mereka Menolak Putus Asa

13 Januari 2017 7:56 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bina Tuna Daksa Pondok Bambu, Jaktim. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Siapa yang tidak ingin hidup selayaknya manusia kebanyakan? Bisa melakukan semua hal dengan bebas tanpa batasan kemampuan diri.
ADVERTISEMENT
Tapi, jelas tak semua harapan manusia terpenuhi. Bagi beberapa orang, harapan mereka memiliki tubuh selayaknya orang lain tidak bisa mereka miliki.
Menjadi difabel mungkin merupakan mimpi buruk bagi sebagian besar orang. Bahkan tidak jarang, banyak yang berakhir dengan putus asa dan menyerah, pasrah dengan keadaan tanpa ada keinginan untuk berusaha.
Apalagi, saat kondisi difabel itu diakibatkan kecelakaan yang dialami. Hancur di awalnya, sudah pasti.
Bukan hanya rasa sakit yang dirasa, bahkan beberapa dari mereka harus terbuang dari lingkungan keluarga. Orang-orang tercinta pergi menjauh.
Namun, bagi beberapa difabel ini, tidak ada kamus nelangsa dalam hidup. Perubahan dalam hidup harus dijalani, meski sakit di awal, apalagi yang bisa dilakukan selain berusaha berkarya.
ADVERTISEMENT
Di Sarana Bina Tuna Daksa Pondok Bambu, Jakarta Timur, tinggal 40 penyandang disabilitas. Sebagian besar dari mereka terlahir normal, namun kecelakaan yang dialami membuat jalan hidup mereka harus berubah.
Begitu masuk di kawasan Sarana Bina Tuna Daksa, langsung terlihat deretan tanaman hidroponik. Ada 300-an bibit kangkung, pak coy , dan bayam yang tumbuh di halaman.
Tanaman-tanaman itu adalah milik Amud (55), seorang penghuni Sarana Bina Tuna Daksa. Amud sudah 20 tahun tinggal di tempat itu.
Amud (55) difabel pelukis. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Amud terlahir dengan fungsi tubuh normal. Namun, dia pernah mengalami kecelakaan, Amud terjatuh dari pohon kelapa yang membuatnya menderita kelumpuhan.
Bagi Amud, kecelakaan itu adalah bagian dari cerita hidupnya. Kini dia tetap harus berusaha dan berkarya meski dengan berbagai keterbatasan.
ADVERTISEMENT
Sambil bercerita, Amud mengusap mata tuanya yang lelah. Sedari pagi, ia harus berkutat dengan kertas karton bergambar Masjidil Haram yang akan ia sulap menjadi lukisan tiga dimensi. Sesekali, ia berhenti memotong detail lukisan untuk memberikan arahan pada relawan yang membantunya.
Begitulah keseharian Amud, pria berusia 55 tahun ini tidak mengenal kata putus asa meskipun harus terikat dengan kursi  roda sejak usia 20 tahun. Dengan segala keterbatasannya, ia tetap berusaha untuk tidak bergantung pada orang lain.
"Prinsip saya, selama masih bisa, masih sehat, masih hidup, ya kenapa tidak berusaha sendiri?" ujarnya sambil menempelkan satu demi satu potongan gambar yang akan ia rangkai menjadi lukisan tiga dimensi.
Kerajinan lukisan tiga dimensi ini ia pelajari tahun 1996 ketika mengikuti pelatihan di Yayasan Yakum, Kaliurang, Yogyakarta. Hingga tahun 1998 ia kembali ke Jakarta, tinggal dan berkarya di Sarana Bina Tuna Daksa, Pondok Bambu, Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
Dengan tangan lincahnya, Amud merangkai satu demi satu potongan menjadi susunan lukisan yang indah. Telaten dan teliti menjadi modal utama Amud. Bagi Amud, sudah tidak ada gunanya lagi menangisi nasib, kehancuran itu sudah menjadi bagian masa lalu. Kini saatnya berkarya, menciptakan keindahan dari segala keterbatasannya.
Difable mampu berkarya. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Amud tidak hanya membuat kerajinan lukisan tiga dimensi, jika sedang tidak ada pesanan ia akan menyibukkan diri dengan mengurus tanaman dan membuat kerajinan tangan dari kain perca yang ia pelajari dari temannya.
"Seluruh tanaman di sini saya yang urus awalnya. Ini ada sumbangan 300 pack lahan hidroponik, saya juga yang urus. Baru satu minggu, masih percobaan mau menanam apa," ungkapnya sambil memamerkan deretan tanaman hidroponik yang tertata rapi di sebelah bengkelnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum kecelakaan, jatuh dari pohon kelapa, ia memang bekerja sebagai petani di kampung halamannya, Bandung Barat. 
"Dulu saya disiksa orang tua saya. Dalam artian, setelah lumpuh, mereka membelikan saya banyak pot dan memaksa saya menanam, tetap bekerja," tambahnya sambil mengusap kacamatanya yang berdebu.
Bagi Amud, tidak penting berapa penghasilannya setiap bulan. Yang lebih penying adalah dia tetap bisa berkarya, bukan hanya duduk terdiam menangisi nasib.
"Bagi saya, pendapatan itu nomor sekian. Yang penting pekerjaan. Rezeki itu mengikuti," tambahnya sambil tersenyum.
Tidak hanya Amud saja yang semangat bekerja, menghidupi diri dengan segala keterbatasan. Di bagian belakang panti, ada satu ruangan yang setiap harinya selalu ramai dipenuhi anak SD dan SMP yang menimba ilmu.
ADVERTISEMENT
Ya, ruangan itu memang dimanfaatkan oleh Budi Wibisono untuk mendirikan les mata pelajaran sejak lima tahun lalu. Pria asal Tegal ini awalnya adalah seorang pengusaha percetakan. Malang tak dapat ditolak, tahun 1987 ia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya menjadi lumpuh.
Budi Wibisono, difabel yang mengajar. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Awalnya ia masih tinggal bersama anak dan istrinya. Hingga tahun 1998, ia bercerai dan terpaksa pindah tinggal di Sarana Bina Tuna Daksa. Cobaan yang datang bertubi tidak membuatnya lantas menyerah. Awalnya ia hanya mengajar satu orang anak yang tinggal di dekat tempat tinggalnya, lama kelamaan jumlah muridnya bertambah hingga kini sudah ada 50 anak yang belajar bersamanya.
"Satu anak saya patok dengan tarif seratus ribu rupiah setiap bulannya untuk semua mata pelajaran. Mereka bisa datang kapanpun setiap minggunya," terangnya di sela-sela kegiatan mengajar. Murid yang datang selalu ramai dari pagi hingga pukul 21.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Daripada menggerutu pada nasib, memaki masa lalu dan tertunduk putus asa, Budi memilih jalan lain. Dengan mengajar, setidaknya dia bisa melukiskan harapan pada masa depan anak-anak didiknya.
Ada pula Arif Budianto beserta tiga rekannya mendirikan Akar Enam, sebuah usaha percetakan yang memproduksi mug, pin, undangan dan kartu nama. Arif dulu aktif mengikuti pengajian. Dari pengajian itulah, tercetus ide untuk membuat usaha percetakan bersama lima temannya.
"Makanya diberi nama Akar Enam. Tapi sekarang tinggal berempat. Dua orang lagi sudah bikin usaha sendiri," ujar Arif yang menjadi difabel karena kecelakaan di tempat kerja.
Suasana Sarana Bina Tuna Daksa Pondok Bambu. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Tidak hanya berwirausaha, tidak sedikit penghuni Sarana Bina Tuna Daksa yang memiliki prestasi di bidang olahraga. Bahkan, ketika ajang Paralimpik Nasional di Jawa Barat beberapa waktu yang lalu bergulir, banyak yang menyumbangkan bakatnya, membawa pulang medali emas dan perunggu di cabang bulu tangkis untuk paraplegia.
ADVERTISEMENT
"Saya biasa berlatih sehabis Isya. Alhamdulillah kemarin berhasil mendapatkan medali emas. Sayang saya tidak mewakili Jakarta atau kampung halaman saya, Bangka Belitung. Saya mewakili Banten," ungkap Muhammad Subhan, salah satu atlet bulu tangkis.
Berbeda dengan rekan-rekannya, pria asal Bangka Belitung ini memilih untuk bekerja di luar. Ia bekerja di sebuah kantor di daerah Jakarta Selatan. Ia mengaku, awalnya sulit untuk beradaptasi dari kondisi normal ke kondisi seperti saat ini. Terutama masalah mental.
Para difabel etap bersemangat. (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
"Tapi di sini, saya bertemu banyak rekan senasib. Kami saling belajar, menguatkan dan menghibur diri. Sampai hari ini, masih ada 3 hal yang sulit saya lakukan. Sabar, ikhlas dan bersyukur," ungkap Subhan yang hampir menjadi polisi sebelum mimpinya direnggut oleh kecelakaan lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Hari mulai malam, namun para penghuni Sarana Bina Tuna Daksa masih tetap ramai bercengkrama, saling bersenda gurau di depan aula. Sesekali ada yang menawarkan diri untuk membeli minum atau camilan di warung dekat sana. Tidak ada raut putus asa ataupun minder. Mereka tampak bahagia dan ikhlas, menerima apapun kondisi yang mereka miliki.
Hingga satu persatu mulai masuk kamar, mengalah dengan rasa kantuk. Bersiap masuk alam mimpi dan menjemput hari esok, waktu mereka berjuang untuk bertahan hidup, mempertahankan semangat dan mengusir jauh rasa putus asa.