August Parengkuan Masih Ke Kantor Sehari Sebelum Masuk RS

Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 19:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
August Parengkuan Foto: ilham bintang
zoom-in-whitePerbesar
August Parengkuan Foto: ilham bintang
ADVERTISEMENT
Catatan Ilham Bintang
“Tuhan sudah berkehendak, dan kita tidak ada kuasa mengelak takdirnya untuk Pak August. Memang, mendiang juga mendambakan itu. "Jika sampai waktunya tidak sampai menderita. Dan, Tuhan mengabulkan,” cerita Sonya Parengkuan, he. August meninggalkan Sonya, empat anak, dan sembilan cucu.
ADVERTISEMENT
Kepergian August termasuk mendadak. Selasa, 15 Oktober, August masih berkantor seperti biasa di Gedung Kompas. Ia tengah menyiapkan penerbitan bukunya. Rabu malam (16/10), August mengeluh sesak napas.
“Kami segera membawanya ke RS Medistra. Dokter memutuskan dirawat di ICU. Tengah malam itu saya pulang. Jam setengah enam Kamis, tadi dapat kabar duka, ternyata dia sudah tiada,” ungkap Sonya di Rumah Duka RSPAD, Kamis siang (17/10).
Jenazah mendiang baru tiba di rumah duka RSPAD, tempat mendiang akan disemayamkan hingga Senin (21/10). Sebelumnya diumumkan jenazah akan disemayamkan di kediamannya di jalan Dukuh Patra III Kuningan. Tapi kemudian diputuskan rumah duka di RSPAD. Menurut rencana pemakaman Senin siang di San Diego Hills, Kerawang, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
“Anak dan cucunya meminta di Chicago, meminta pemakaman menunggu mereka tiba di Tanah Air," cerita Sonya.
Siang itu, saya bertiga satu mobil dengan Dirut TVRI, Helmy Yahya dan Anggota Komisi I DPR-RI, Muhammad Farhan melayat ke rumah duka. Kami disambut Sonya Parengkuan. Sebelumnya kami sempat juga ke rumah duka Kuningan. Namun, jenazah sudah diberangkatkan ke RSPAD setengah jam sebelum kami tiba.
Saya bersama Dirut TVRI, Helmy Yahya dan Anggota Komisi I DPR-RI, Muhammad Farhan melayat ke rumah duka. Foto: Pribadi
Sulit dipercaya
Rasanya memang sulit saya percaya, tetapi nyata. Ada lima sumber dekat saya konfirmasi tadi pagi, semua membenarkan. August Parengkuan telah tiada. Wartawan senior, generasi pertama Harian Kompas itu mengembuskan napas terakhir pukul 05.50 WIB, Kamis ( 17/10) di RS Medistra.
"Akibat serangan jantung," kata Tri Agung salah satu pimpinan Harian Kompas, kemudian. Saya menerima kabar duka ini pertama kali dari wartawan senior Marah Sakti Siregar. Saat baru pulang jogging, Marah Sakti mengirim kabar duka itu via WhatsApp. Berita itu sekejap membuat saya terenyak. Jika sampai waktunya, tiada siapapun bisa mengelak.
ADVERTISEMENT
Masih segar dalam ingatan dua bulan lalu kami bersama-sama selama tiga hari tiga malam di Bali. Menjadi tamu undangan rangkaian acara perkawinan tokoh perfilman Nasional, Raam Punjabi. Dia hadir bersama istrinya, Sonya Parengkuan. Waktu ketemu pertama kali dalam salah satu acara siang, dia mendatangi meja tempat kami duduk. Dia secara khusus menyampaikan apresiasi atas “obituari” yang saya tulis mengenai mendiang P. Swantoro, juga mendiang pimpinan Kompas.
“Oo, Anda sempat baca yah,” saya tanya. “ Iya, obituari itu kan viral di keluarga Kompas,” ujarnya.
Meski terpaut usia 10 tahun, dan dari media yang berbeda “ideologinya” tetapi dengan August Parengkuan saya bersahabat puluhan tahun.
Mendiang August Parengkuan. Foto: Pribadi
August lahir di Surabaya, tetapi bersekolah di Pare-Pare dan di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia dibesarkan dalam kultur masyarakat Bugis Makassar. Kedekatan kultur itu juga menjadi perekat persahabatan kami. Kami tertawa terbahak-bahak ketika mengantre di ruang rias acara Bali. Mengantre dipasangi 'ubel-ubel India'.
ADVERTISEMENT
Di organisasi PWI, August aktif sejak lama. Terakhir ia sebagai penasihat. Dalam rapat-rapat di PWI itu juga kami sering berdiskusi, bertukar pikiran. Setelah purna tugas sebagai Dubes RI di Italia, kantor yang sering disambangi adalah PWI. Inilah cerita ketika bertandang ke PWI beberapa bulan lalu, yang saya khawatir itulah kunjungan terakhirnya.
Topik diskusi hari itu tentang posisi wartawan dan media yang mengalami kegamangan menghadapi penguasa justru di era kemerdekaan pers. Era yang didambakan puluhan tahun oleh para wartawan senior dan pendahulu kita. August yang selalu berpembawaan tenang, berkata-kata datar tanpa tanda seru, siang itu seperti dengan sadar menggunakan pengucapan bertanda seru.
Terasa sangat mendalam rasa kekhawatirannya terhadap pers dan media menghadapi penguasa di era milenial ini. “Dulu kita diancam-ancam penguasa untuk menuruti dia. Tapi keadaan sekarang, seperti wartawan dan medialah yang menyerahkan dirinya kepada penguasa untuk dikooptasi,” katanya lirih. Tajam.
ADVERTISEMENT
August dari dulu memang tajam. Itu sebabnya, pemerintah cq Departemen Penerangan tidak pernah memberikan rekomendasi untuknya menjabat Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Saya sudah jadi pengurus PWI ketika PWI mengeluarkan rekomendasi untuk August Parengkuan jadi Pemimpin Redaksi Kompas atas pengajuan direksi Kompas. Namun, ternyata Departemen Penerangan menolak rekomendasi itu.
Kelak sampai umur pensiun di Harian Kompas, August hanya tercatat sebagai Pelaksana Harian Pemred Kompas. Padahal, dia generasi pertama surat kabar ternama Tanah Air. Dialah sesungguhnya Putra Mahkota Jakob Oetama pendiri dan pemilik Kompas. Saya pernah menulis profil August dengan judul provokatif.
Sayang, reformasi terlambat datang. Dan, August Parengkuan salah satu korban rezim Orde Baru yang otoriter. Bayangkan untuk menjadi pemimpin redaksi saja, masa itu seseorang harus mengantongi rekomendasi dari banyak institusi. Terakhir izin dan restu dari Menteri Penerangan. Bandingkan di era reformasi sekarang. Di era kemerdekaan pers. Anytime, Anda mau terbitkan media, tidak perlu restu dan izin dari pemerintah, kecuali restu dari pemilik modal saja. Tapi itu tadi, dampak lain dari kemerdekaan pers itulah yang dikritisi oleh August Parengkuan. Kemerdekaan pers sudah di tangan, namun ada banyak wartawan dan media sibuk sendiri menawar-nawarkan agar dikooptasi penguasa.
ADVERTISEMENT
August Parengkuan memang sosok unik. Di masa Orde Baru dia amat dekat dengan Megawati. Tapi August menjadi Dubes di Italia justru diangkat oleh Presiden SBY, seteru politik Megawati.
Saat melayat ke rumah duka. Foto: pribadi
Empat tahun August menjadi Dubes di Italia. Tapi selama menunaikan tugas di sana, hanya satu kali saya ketemu dia di Eropa. Itu pun di Expo di Milan, bukan di poskonya di Roma. Padahal, dia mewanti-wanti supaya menengok dia di sana. Dia iming-iming akan menjamu dengan ikan bakar dan gulai kepala ikan kakap, kuliner kesukaannya.
Sebelum menjabat Dubes, August Parengkuan menangani pembangunan hotel milik Kompas. Kami sering ketemu di Singapore ketika membangun hotel di kawasan Bugis Street. Di sinilah kuliner ikan bakar dilanjutkan. August ketemu kedai ikan bakar yang kemudian menjadi langganannya tiap kali ke kota Singa itu.
ADVERTISEMENT
Tiada lagi August Parengkuan. Tapi semangatnya sebagai jurnalis sejati tak pernah bisa terkubur. Pernyataan kekhawatirannya terhadap nasib wartawan dan media di rapat PWI itulah legacy terbesar dia.
Selamat istirahat, sobat.