Pengalaman Salat Iduladha dan Jumat di Selandia Baru dan Australia

Konten dari Pengguna
17 Maret 2019 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polisi sedang mengawal orang-orang ke luar masjid di Christchurch, Selandia Baru. Foto: AP Photo/Mark Baker
zoom-in-whitePerbesar
Polisi sedang mengawal orang-orang ke luar masjid di Christchurch, Selandia Baru. Foto: AP Photo/Mark Baker
ADVERTISEMENT
Catatan Selandia Baru atau New Zealand sebagai negeri yang bertahun-tahun menyandang gelar negeri paling nyaman dan aman di dunia, mendadak tercoreng pada Jumat siang (15/3)--atau pagi waktu di Indonesia. Dicoreng oleh aksi brutal teroris yang memberondong jemaah salat Jumat di dua masjid di Christchurch. 50 jemaah tewas, puluhan luka-luka.
ADVERTISEMENT
Tiga WNI turut jadi korban dalam aksi teroris itu. Seorang tewas, Lilik Abdul Hamid. Dua lainnya luka, yaitu Zulfirmansyah dan puteranya yang kini dirawat di RS. Satu dari empat yang diduga pelaku teror itu, Brenton Tarrat (28), telah ditangkap oleh pihak berwajib. Senin (18/3), pria warga Australia itu mulai diadili sebagai terdakwa.
Padahal, baru satu hari sebelum kejadian teror keji itu, saya kembali menulis perlakuan terpuji pemerintah dan warga Selandia Baru serta Australia yang menyediakan atau membuka tempat untuk melaksanakan ibadah bagi umat muslim, yang merupakan minoritas di dua negara bertetangga itu.
Pujian itu saya tulis di laman FB, saat berada di Bandara Tullamarine, Melbourne, untuk kembali ke Jakarta, Kamis subuh (14/3). Saya dan istri menuju bandara pukul 04.30. Di tengah jalan, istri bertanya salat subuh di mana? Gampang. Saya memastikan seluruh bandara di Australia menyediakan tempat ibadah.
ADVERTISEMENT
Jaminan saya tidak meleset. Lepas dari pemeriksaan Imigrasi, sekitar jam 05. 45 —pas saat suara azan berkumandang dari ponsel istri—langsung terlihat petunjuk tempat beribadah. Di situlah kami salat subuh.
Saya (kiri) dan Duta Besar Republik Indonesia di Selandia Baru, Tantowi Yahya (kanan) saat salat di Amesbury Hall. Foto: Dok: Ilham Bintang
Di kota Sydney dan Perth yang sering saya kunjungi juga begitu. Tersedia tempat untuk salat Jumat, termasuk di bandaranya. Setengah bulan trip saya di Australia kemarin, dua kali saya hadiri salat Jumat. Masing-masing di Abraham Mott Hall Sidney, Jumat (1/8); dan di Islamic Council of Victoria Melbourne (8/3).
Di dua tempat itu, seperti juga di tempat lain di Selandia Baru, salat Jumat dilaksanakan dua kloter. Untuk menampung jemaah dari berbagai negara. Itu cukup menjelaskan mengapa umumnya khotbah disampaikan khatib pendek. Sekitar 10-15 menit. Bahkan pernah cuma 5 menit.
ADVERTISEMENT
Saya juga beberapa kali salat Jumat di Selandia Baru.
Terakhir, 9 November 2018, bersama Dubes RI untuk Selandia Baru Tantowi Yahya dan beberapa kawan wartawan di City Mosque Brandon Street. Pengurus masjid menyambut hangat dan ramah. Bahkan kami diberi souvenir jepitan dasi. Salat Jumat di sini juga dua kloter.
Untuk diketahui tempat salat di Selandia Baru maupun di Australia memang kebanyakan dilaksanakan bukan di bangunan masjid, seperti yang kita kenal. Tetapi kebanyakan bangunan ruko dua tingkat yang disulap fungsinya menjadi masjid, tempat ibadah.
Sebelum itu saya malah pernah salat Iduladha di Wellington pada 2 September 2017, bersama Dubes RI di NZ, Tantowi Yahya. Sehari sebelumnya saya terbang dari Melbourne ke Wellington, persis hari Iduladha. Pesawat kami terbang jam 9 pagi. Salat Jumat pukul 07.00. Namun, Ruby M Thaha, kemenakan yang menetap di Melbourne, mengingatkan untuk menghitung rigit waktunya.
ADVERTISEMENT
Di Melbourne, salat tidak selalu pas waktunya dilaksanakan seperti yang diumumkan. Maklum Melbourne tidak libur di hari Iduladha seperti di Indonesia atau di negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Belum lagi kemacetan lalu lintas pagi yang harus jadi perhitungan supaya tidak ditinggal pesawat.
Dengan perasaan sedih kami turut saran kemenakan. Memutuskan berangkat ke bandara. Secara obyektif kondisi Melbourne pagi itu memang persis seperti yang digambarkan Ruby. Belum lagi antrean yang terjadi waktu check in di counter maskapai penerbangan dan imigrasi. Saya sempat menyalahkan diri sendiri kenapa lalai waktu booking pesawat tidak memilih penerbangan siang supaya bisa salat Id dulu baru berangkat. Yang menjemput kami ketika di Wellington, Duta Besar RI Tantowi Yahya.
ADVERTISEMENT
Pertama ketemu langsung saya menyampaikan ucapan selamat Iduladha. Saat itulah Pak Dubes memberitahu Iduladha di Wellington dirayakan esok tanggal 2 September. Ini betul-betul rezeki anak saleh.
Pelaksanaan salat Iduladha komunitas muslim di Wellington berlangsung ‪pukul 08.30‬ di Amesbury Hall, Sabtu (2/9).
Salat diikuti sekitar 300 jemaah muslim berbagai bangsa termasuk Dubes RI dan Ibu Dewi Handayari Yahya. Salat diorganisir oleh Al Amin, wadah komunitas muslim di Wellington yang dipimpin oleh Agam Jaya. Agam Jaya keturunan Padang-Sunda sudah 16 tahun mukim di New Zealand. Di Indonesia dulu Agam seorang jurnalis. Pernah bekerja di Majalah Hai dan di program news RCTI hingga tahun 2001.
Penentuan salad Ied Sabtu (2/9) diputuskan oleh Fianz, federasi muslim New Zealand, semacam MUI.
Suasana jemaah salat Iduladha di Amesbury Hall Foto: Dok: Ilham Bintang
Ramah tamah
ADVERTISEMENT
Selesai salat, jemaah salat Id beramah tamah sambil menikmati hidangan yang diupayakan secara kolektif oleh seluruh jemaah. Agam menginformasikan masyarakat Indonesia di Wellington sedang urunan mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid. Selama ini mereka ibadah Jumat dan salat Id dilaksanakan dengan menyewa tempat. Warga Indonesia antusias merespons gagasan tersebut.
Penghujung acara disajikan atraksi anak-anak remaja dengan segala kreasi budaya, termasuk memperagakan acara Tawaf di Ka'bah.
Dubes Tantowi merasa bangga dengan kekompakan masyarakat Indonesia di Wellington, dan pada umumnya New Zealand. Menurut Tantowi, jumlah warga Indonesia di Selandia Baru sebanyak 5500 jiwa. 1.200 di antaranya adalah mahasiswa. Dari jumlah itu 300 asal Papua.
Saya beserta keluarga dan Tantowi Yahya, Dubes Indonesia untuk Selandia Baru, saat salat Iduladha di Wellington. Foto: Dok: Ilham Bintang
Daerah Gempa
Menurut Wikipedia, Christchurch (bahasa Māori: Ōtautahi) adalah sebuah kota di pesisir timur Pulau Selatan (South Island) di Selandia Baru. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Selatan sekaligus merupakan kawasan urban terbesar di Selandia Baru setelah Auckland. Secara administratif, Christchurch merupakan ibu kota dari Region Canterbury, satu dari beberapa region di negara ini.
ADVERTISEMENT
Nama Christchurch sendiri berasal dari kolese katedral Christ Church di Universitas Oxford. Dalam bahasa Māori, Christchurch disebut juga sebagai Ōtautahi atau tempat Tautahi.
Sensus tahun 2004, penduduk Christchurch berjumlah 363.700 orang, namun dalam perkiraan pada tahun 2010, penduduk Christchurch bertambah hingga menjadi 376.700 orang.
Kota ini beberapa kali diguncang gempa bumi, yaitu pada tahun 2010, bulan Februari 2011, dan Juni 2011. Jumlah korban tewas dari 3 kali gempa bumi tersebut sebanyak 181 jiwa.
Pada 23 Desember 2011, kota ini kembali diguncang dua gempa bumi lagi yang berkekuatan 5,8 Skala Richter (SR). Pusat gempa berada di kedalaman 8 kilometer.
Di Christchurch umat Islam yang tengah melaksakan salat Jumat dibantai secara keji oleh teroris bersenjata.
ADVERTISEMENT
Semoga seluruh 50 korban tewas mendapatkan tempat sebaik-baiknya di sisi Allah SWT. Sedangkan pelaku teror itu mendapatkan hukuman setimpal setara dengan kekejiannya. Dan, semoga peristiwa Jumat kelabu itu tidak meninggalkan trauma bagi umat muslim di Selandia Baru dan Australia untuk menunaikan kewajibannya di mana pun.